Share

BAB 05

Siapa Sebenarnya Suamiku

BAB 05

Ketika aku membuka mata. Orang yang pertama kali Ku lihat adalah Vivi.

Ku edarkan pandanganku keseluruh ruangan, namun tak Ku temukan sosok Mas Herman.

Vivi yang melihatku sadar langsung mendekat.

"Bu, Sudah sadar."ucapnya sopan.

"Dimana Bapak?"tanyaku.

"Bapak sedang mengejar orang yang sudah melukai Ibu."jawabnya.

"Cepat hubungi Bapak, katakan jika Saya sudah sadar."ucapku padanya.

Vivi mengangguk dan langsung menghubungi Bobi.

Satu jam kemudian Mas Herman datang dengan wajah cemas.

"Sayang, Bagaimana kondisimu??"ucapnya sambil memeluk tubuhku.

"Aku sudah lebih baik."Jawabku tak ingin membuatnya semakin cemas.

"Mas, Siapa mereka?"tanyaku serius.

"Sudahlah Dek. Itu biar menjadi urusan Mas."jawabnya dengan lembut.

"Tapi Mas, Aku harus tahu sebenarnya ada apa ini?"ucapku lagi dengan nada kesal.

"Sudah! Mas malas berdebat"ucap Mas Herman dengan nada sedikit ditekan.

Mas Herman menemui Dokter yang merawatku.

Setelah satu jam berlalu, Mas Herman kembali bersama Bobi dengan mendorong kursi roda.

"Mas untuk apa kursi roda itu?"tanyaku heran.

"Adek akan dirawat dirumah, Mas sudah udah menyiapkan Dokter dan perawat."ucap Mas Herman sedikit tegas.

"Mas. Apa harus seextra ini? harus dijaga?"tanyaku sedih.

"Dek, Mas tidak ingin kecolongan lagi!"ucapnya tegas. Jika Mas Herman sudah begitu aku tidak berani lagi membantahnya.

Kami pun keluar dari rumah sakit dengan pengawalan yang ketat. Tapi tidak mencolok. Bobi sangat pintar mengaturnya sehingga tidak menjadi pusat perhatian.

Mobil telah siap dan Kami pun melaju dengan beriringan.

Kali ini perjalanannya sangat jauh entah sudah berapa jam Kami berkendara namun belum juga sampai tujuan.

Ketika Kami sampai sudah tengah malam.

Kami memasuki sebuah rumah yang sangat besar namun sederhana.

Mas Herman menggendongku hingga kekamar. Mas Herman tidak mengijinkan bodyguardnya menyentuhku.

Ketika didalam kamar, Ku lihat Mas Herman sedang menatapku.

"Mas, Istirahat sudah malam."ucapku lembut.

"Adek tidur saja duluan. Mas masih ada urusan dengan Bobi."ucapnya sambil mengecup keningku dan berlalu keluar kamar.

Karena sudah sangat capek dan pengaruh obat aku pun tertidur.

Keesokan paginya mataku dikejutkan dengan sebuah benda, bentuknya seperti pistol ada diatas meja. Ku beranikan diri untuk beranjak dari kasur menuju meja itu untuk menyakinkan pengelihatanku.

Dan benar saja. Itu sebuah pistol, jantungku berdegup kencang, Untuk apa Mas Herman memiliki benda seperti ini?

Ketika mendengar suara langkah kaki menuju kamar. Aku segera kembali berbaring diatas kasur seolah belum bangun.

"Dek,,, Bangun sudah pagi."ucap Mas Herman dengan lembut ditelingaku. Aku menggeliat berpura-pura seolah baru bangun.

"Mas,,, Tangan Adek sakit sekali,"keluhku. Mas Herman terlihat sedikit panik.

"Perlu Mas panggilkan Dokter?"tanyanya sambil mengusap rambutku.

"Gak perlu Mas. Nanti habis minum obat sakitnya juga hilang."jawabku sambil mataku melirik kearah meja tadi. Namun sudah tak Ku temukan lagi benda itu, Mungkin Mas Herman langsung menyimpannya ketika membangunkan aku tadi.

Tidak berselang lama. Mbok Sannah masuk membawa sarapan untukku. Aku terkejut dengan kehadiran Mbok Sannah dirumah ini.

"Lho,,, Mbok kok ada disini?"tanyaku penasaran.

"Iya, Bu, ketika mendengar Ibu tertembak. Pak Bobi langsung menyuruh Mbok untuk berkemas dan ikut mengurus Ibu selama disini." jawabnya dan setelah itu Mbok Sannah menyuapiku.

Air mataku menetes, teringat akan Ibuku, ketika aku sakit Ibu akan menyuapiku seperti ini agar aku mau makan.

Mbok Sannah yang melihatku menangis terlihat cemas namun tidak berani untuk bertanya.

πŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸΌπŸ‘ŒπŸΌπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘Œ

Sore hari. Aku meminta Mbok untuk menemaniku duduk diteras depan.

"Mbok. Disini enak ya?"ucapku.

"Iya, Bu disini masih asri dan jauh dari polusi udara."jawab mbok sumringah.

"Ini rumah siapa Mbok?"tanyaku penasaran.

"Ini salah satu rumah keluarga besar Bapak."jawabnya.

"Rumah Bapak banyak sekali Mbok."ucapku

"Iya Bu."jawabnya singkat dan sopan.

Vivi ikut bergabung bersama kami.

Banyak warga kampung yang berlalu lalang dan melihat Kami dengan senyum ramah.

Malam hari Mas Herman datang entah darimana.

"Sudah makan Mas?"tanyaku.

"Sudah Dek. Tadi dijalan."ucapnya singkat.

Mas Herman lalu bergegas mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Gawai Mas Herman berbunyi menandakan jika ada yang menghubungi. Ku lihat Mas Herman masih lama mandinya. Ku beranikan diri untuk melihat siapa yang menghubungi Mas Herman.

Setelah Ku lihat hanya sebuah nomor yang tidak ada nama. Ku beranikan diri untuk mengangkat panggilan itu.

Dengan tangan gemetar. Ku angkat gawai itu dan Ku tekan tombol terima. Aku diam tak bersuara.

Terdengar suara pria diujung telpon.

"Bos. Sudah Kami eksekusi dengan aman."ucapnya. Setelah mendengar hal itu langsung kumatikan panggilan itu.

Jantungku berdegup kencang, apa maksud dari kata-kata itu? Dan siapa yang mereka eksekusi? Semua pertanyaan penuh didalam otakku. Aku tidak boleh diam. Aku harus mendapat jawaban.

"Mas!!"Panggilku dengan lantang. Ketika Ku lihat Mas Herman keluar dari kamar mandi.

Mas Herman terkejut mendengarku memanggilnya dengan suara tinggi.

"Ada apa Dek?"tanyanya bingung.

"Siapa yang Mas eksekusi?"Tanyaku gemetar.

Kamu itu ngomong apa Dek? Mas tidak mengerti."ucapnya lembut.

"Sudah! Mas jujur sekarang! Sebenarnya ada apa?"ucapku sambil menangis.

"Tidak ada apa-apa Dek. Dan adek dengar darimana tentang hal eksekusi itu?"tanyanya sambil berjalan mendekat kearahku.

"Aku dengar sendiri Mas! Tadi ada yang menghubungi Mas dan Pria itu yang ngomong."ucapku dengan nada tinggi sambil menangis, Mas Herman sangat terkejut mendengar penuturanku wajahnya langsung berubah memerah.

"Jangan sekali-kali adek berani pegang gawai Mas"ucapnya sedikit menekan omongannya.

Mas Herman berlalu pergi dengan menahan amarah.

Aku semakin yakin jika banyak rahasia yang Mas Herman sembunyikan dariku. Aku harus bisa mencari tahu tentang siapa sebenarnya Mas Herman, ini tidak boleh ditunda lagi. Semakin cepat semakin baik.

Selepas Mas Herman pergi, aku masih merenung, sebenarnya pria seperti apa yang aku nikahi ini? Bapak, Ibu andai kalian masih ada pasti nasibku tidak akan seperti ini.

Aku tertidur entah berapa lama, ketika aku terbangun. Ku lihat Mas Herman sudah berbaring disampingku.

Keesokan paginya Mas Herman sudah siap dengan pakaian kantornya.

"Mas, Mau kemana,"Tanyaku heran.

"Mas, Harus kerja sayang,"ucapnya lembut, sepertinya Mas Herman sudah tidak marah.

"Tapikan Mas, Tempat ini jauh dari kantor?"Tanyaku curiga.

"Sudahlah Dek! jangan mulai lagi, Mas berangkat dulu"ucapnya sambil berlalu pergi tanpa mengecup keningku.

Selepas kepergian Mas Herman. Aku mulai mencari sesuatu yang ada diruang kerja Mas Herman.

Ku coba buka satu persatu tumpukkan map-map itu, namun nihil tak Ku temukan apapun, lalu aku coba membuka laci-laci yang ada diruangan itu.

Satu persatu Ku buka laci-laci itu tak kutemukan sesuatu yang membuatku curiga.

Aku duduk dikursi dengan perasaan putus asa.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna emas yang ada diatas pintu. Ku coba untuk meraihnya dengan naik diatas kursi.

Dengan susah payah akhirnya aku dapat meraihnya, dengan tangan gemetar aku mencoba untuk membuka kotak itu. Namun sudah berbagai cara Ku lakukan kotak itu belum bisa terbuka.

Aku semakin penasaran dengan isi kotak ini, Karena aku yakin pasti ada rahasia besar didalam kotak ini. Aku ambil gawaiku dan mengambil gambar kotak itu.

Aku akan menyuruh Vivi untuk mencarikan kotak yang sama persis seperti ini, Agar Mas Herman tidak curiga jika kotak yang asli ada padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status