Share

Dijemput Paksa

Siapa yang Menghamili Muridku

 

Bab 6 : Dijemput Paksa

 

Tiga hari sudah Sandiyya menginap di rumahku dan selama itu pula Mas Bilal terus mendesak untuk segera mengantarnya pulang.

 

"Mas, tolonglah ... biarkan Sandiyya tetap di sini beberapa hari lagi," bujukku sambil mengelus punggung pria berotot itu.

 

"Dek, baik sama orang itu boleh saja tapi jangan terlalu memasuki ranah kehidupan pribadi seseorang. Mas gak mau kebaikan kamu malah disalahgunakan dan nanti akan menimbulkan masalah baru."

 

"Maksud Mas gimana?"

 

"Intinya Mas sangat tidak mendukung keputusan kamu menampung Sandiyya di sini. Dia masih punya ibu, orang yang lebih berhak atas kehidupannya!" tegasnya lagi.

 

"Ibunya itu kejam, Mas. Endang takut Sandiyya makin tertekan kalau diantar pulang. Kasihan bayinya kalau sang ibu terlalu stres," ucapku dengan nada memelas, berharap Mas berkumis itu luluh.

 

"Bisa jadi panti sosial rumah ini kalau setiap siswamu yang hamil dibawa pulang," lirihnya sambil berjalan menuju kamar mandi.

 

Ah, Mas Bilal marah deh. Aku jadi dilema. Bukannya tak mau menuruti perintah suami, tapi di satu sisi ... nurani ini tak tega membiarkan Sandiyya makin terpuruk.

 

Baru saja aku hendak menyisir rambut, terdengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Entah siapa yang mau bertamu pagi buta begini. Kubuka pintu kamar dan berjalan menuju pintu utama.

 

"Bu Endang, itu seperti suara Ibu .... " Sandiyya keluar dari kamar dengan tampang khawatir.

 

"Siapa, Dek?" Mas Bilal buru-buru keluar dari kamar dan menghampiriku.

 

Melihat kedatangan Mas Bilal, Sandiyya langsung bersembunyi di belakangku. Ah, aku sedikit heran melihat tingkahnya, ia takut dengan suara ibunya di luar sana atau takut dengan sosok Mas Bilal yang tampangnya seram ini?

 

"Biar Mas yang buka pintu, kurang ajar sekali main gedor rumah orang sembaranagan!" Mas Bilal terlihat berang, tingkat keseraman di wajahnya semakin naik level.

 

"Mas, mungkin itu Ibunya Sandiyya .... " Aku mengejarnya dari belakang, sedang Sandiyya malah berlari masuk ke kamarnya.

 

Ternyata benar dugaan Sandiyya, ketika Mas Bilal membuka pintu, Suryati menyambut kami dengan tatapan nyalang. Ia datang bersama seorang pria pemilik toko batu kecubung di dekat pasar, mungkinkah mereka bersaudara?

 

"Mana Sandiyya? Aku ingin menjemputnya pulang!" ucap Suryati ketus.

 

"Bertamu itu yang sopan ya, jangan main gedor rumah orang begini! Jaga kesopanan anda!" Mas Bilal menunjuk wajah Suryati dengan tak kalah garang.

 

Astaga, bisa terjadi baku hantam kalau begini. Mas Bilal cepat emosi kalau ada orang lain yang mengganggu kenyamanan hidupnya.

 

"Ah, ya sudah, jangan banyak bacot! Sebelum kami geledah rumah anda, cepat suruh Sandiyya keluar!" ujar Suryati dengan berkacak pinggang.

 

Kupegang dada bidang Mas Bilal yang terlihat naik turun menahan emosi.

 

"Dek, cepat suruh anak muridmu itu keluar sebelum terjadi hal yang tak diinginkan!" perintahnya dengan mengepalkan tinju.

 

"Tapi, Mas .... " Kupandang pria berkumis itu lalu beralih kepada wanita kurus tinggi yang bernama Suryati itu.

 

Mas Bilal memberi isyrat dengan mata, agar aku menuruti perintahnya. Dengan menarik napas panjang, aku masuk ke dalam dan memberitahukan perihal Suryati kepada Sandiyya yang sedang menangis di pojok kamar.

 

"Pulanglah, Nak! Ibukmu sudah menjemput, nanti Bu Endang bakalan sering nengokin kamu kok," bujukku.

 

Sandiyya mengangguk dan mengelap air matanya, "Makasih, Bu, sudah baik banget sama Diyya." Ia memelukku.

 

Kugandeng Sandiyya ke depan pintu, Mas Bilal langsung masuk menuju dapur melihat kehadiran kami. Suryati langsung menarik tangan Sandiyya dengan kasar.

 

"Bu Suryati, saya mohon jangan perlakukan Sandiyya dengan semena-mena lagi! Dia memang bersalah, tapi jangan terus menghakiminya!" ucapku kala melihat Sandiyya meringis oleh cengkraman ibunya.

 

"Sandiyya anak saya, jadi jangan ajari saya lagi cara memperlakukannya! Terima kasih sudah bersedia menampungnya beberapa hari ini," jawabnya sambil tersenyum sinis.

 

"Saya sudah menemukan solusi untuk permasalahan Sandiyya. Minggu depan dia akan saya nikahkan dengan Juragan Yahya, juragan batu kecubung terkaya di Kampung Banjar. Jadi, Bu Guru tak usah bimbang lagi," sambung wanita berjilbab hitam itu sambil menepuk pundak pria di sampingnya.

 

Astaga, jadi Suryati akan menikahkan Sandiyya dengan bandot tua yang sudah beristri tiga itu. Tanpa permisi lagi, mereka membawa Sandiyya menuju mobil hitam di depan pagar.

 

Kupegangi dada yang mendadak terasa sesak karena menahan tangis, namun ketika melihat wajah Sandiyya menoleh ke arahku sambil meneteskan air mata, aku langsung teringat susu ibu hamil miliknya yang tertinggal di kulkas. Aku langsung berlari masuk dan mengambilnya, lalu berlari mengejar mobil yang sudah hampir berjalan itu.

 

"Tunggu!" jeritku sambil membawa plastik hitam berisi susu itu, tapi mobil sudah menjauh pergi.

 

Aku berdiri mematung di pinggir jalan, hati ini begitu pilu melihat kepulangan Sandiyya. Apalagi ia akan dinikahkan dengan pria tukang kawin itu. Air mataku jatuh tak tertahan. Mas Bilal menghampiri tubuh lunglaiku, rasanya ada sesuatu yang sangat berharga telah hilang dari hidup ini.

 

"Dek, ayo masuk!" Mas Bilal menggandengku masuk.

 

"Mas, ayo kita susul ke rumah Sandiyya! Susu ibu haminya ketinggalan," ucapku sambil terinsak.

 

"Ya sudahlah, Dek! Biarkan muridmu itu diurus sama ibunya," ucap Mas Bilal sambil ngeloyor menuju dapur.

 

Aku masih meratapi ketidakberdayaanku melarang Suryati membawa Sandiyya pulang. Air mata kian deras mengalir membayangkan muridku itu bakal bersanding dengan Yahya dan menjadi istri keempatnya. Apa jadinya Sandiyya yang sedang hamil enam bulan dan dinikahi pria yang terkenal mesum itu? Aduh, kepalaku jadi sakit memikirkannya.

 

Bersambung ....

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status