Share

Ide Gila

Siapa yang Menghamili Muridku

 

 Bab 7 : Ide Gila

 

Mas Bilal kembali dari dapur sambil membawa dua piring makanan, pria brewokan itu hobi memasak pas hari minggu begini.

 

"Mas bikin bakso bakar, Sayang, ayo makan!" ucapnya sambil meletakkan piring berisi bulatan bakso yang sudah ditusuk seperti sate.

 

Baunya enak sekali, Kalau Diyya masih ada di sini, pasti bakalan senang dia. Aku hanya diam. Pikiran masih berkecamuk, melayang ke mana-mana, masih mencari cara untuk menghindari pernikahan paksa itu.

 

"Mas .... " panggilku pada pria berotot itu.

 

"Hemmm .... " Dia menatapku sekilas.

 

"Sandiyya mau dinikahkan ibunya sama pria yang tadi, Mas," lirihku sambil menyeka air mata.

 

"Bagus dong, berarti kamu gak perlu berpikir keras lagi. Masalah sudah beres," jawabnya sambil mengunyah.

 

"Tapi, Mas ... pria itu mesum, tukang kawin ... pokoknya gak benarlah ..... "

 

"Itu sudah keputusan ibunya, dia yang paling berhak menentukan nasib anaknya."

 

"Kasihan Sandiyya, Mas. Dalam keadaan hamil besar begitu ia harus melayani pria bandot tukang mesum .... "

 

"Ah, jangan terlalu lebay dan baper gitu, Dek!" ucapnya sambil memaksaku membuka mulut lalu menyuapkan secara paksa bakso bakar itu.

 

Kukunyah perlahan bakso itu, sambil menatapnya penuh harap. Kutarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk meminta pria hitam manis itu melakukan sesuatu hal yang mungkin akan membuatnya berang.

 

"Mas ... gimana kalau Mas Bilal saja yang menikahi Sandiyya?" ucapku sambil menelan ludah dengan tak mengalihkan pandangan darinya.

 

Mas Bilal melotot, kemudian terbatuk-batuk. Bakso yang sudah masuk ke dalam mulutnya, otomatis keluar lagi. Matanya memerah lalu dengan cepat meraih segelas air putih dan menenggaknya hingga tak bersisa. Mas brewok keselek pentol bakar, aku meringis ngeri melihatnya.

 

"Gila kamu, Dek!" ucapnya dengan mata yang masih memerah.

 

"Endang mohon, Mas," balasku dengan mata yang berkaca-kaca.

 

Biasanya pria berwajah seram ini selalu luluh jika sudah melihat air mataku. Hanya luarnya saja yang tampak sangar, namun hatinya selembut salju.

 

"Cuma menikahi saja, Mas. Biar anak Sandiyya terlahir gak tanpa ayah, sesuai keinginan ibunya," bujukku dengan sambil mengelus dada bidang pria berkumis tebal itu.

 

"Tidak, Dek!" hardiknya dengan nada tinggi dan beranjak berdiri.

 

"Mas .... "

 

"Endang Setiawati, S.Pd, sadarlah! Kebaikan kamu sudah melewati batas, sampai suami pun mau dibagi," lirihnya dengan nada kesal.

 

"Endang mohon .... "

 

"Apa kamu rela melakukan ini karena sudah diiming-imingi bayi yang ada dalam kandungan anak muridmu itu, hah?!" Mas Bilal menatapku dengan berang.

 

"Nggak, Mas ... Bukan seperti itu .... "

 

"Lalu apa?! Sehingga kamu tega mengorbankan suamimu ini. Dek, jangan rendahkan harga diriku seperti ini! Jangan mencoba mengubah prinsipku dan jangan pernah permainkan sebuah ikatan pernikahan!" Mas Bilal melempar gelas di tangannya ke dinding dengan geram dan kesal.

 

Gelas itu jatuh berderai sama dengan perasaanku saat ini. Mas Bilal keluar dari rumah dengan marah. Ketika aku mengejarnya ke depan pintu, mobilnya sudah melaju dengan kecepatan tinggi.

 

Aku kembali ke ruangan tengah dan menangis sejadi-jadinya, tak menyangka kalau permintaan gila ini akan melukai hati lelakiku. Pria yang sudah enam tahun hidup bersamaku tanpa banyak tuntutan. Aku merasa bersalah sekali. Maafkan aku, Mas, maafkan kebodohan istrimu ini. Rasa prihatin yang melebihi batas telah mengalahkan akal sehatku.

 

***

 

Hingga sore, Mas Bilal belum kembali juga. Marah sekalikah ia padaku? Biasanya hari minggu begini akan kami habisan dengan berduan sepanjang waktu. Maklum, dari senin sampai sabtu, aku hanya bisa bertemu dengannya pas malam hari saja.

 

Kuraih ponselku dan mengirim pesan W******p padanya.

 

[Mas, Endang minta maaf. Pulang, Sayang, kangen kumismu.]

 

Kukirim pesan itu padanya, namun hanya dibaca dan tak dibalas. Biasanya ia akan langsung menelepon kalau kukirim pesan seperti itu. Air mataku luruh lagi. Ke mana perginya pria brewok kesayanganku itu? Tadi waktu kutelepon ke rumah ibu mertua, Mas Bilal tidak ada di sana katanya.

 

Sudah kutelepon berkali-kali tapi tidak  diangkat. Kuketik kembali pesan padanya.

 

[Mas, balas dong! Endang minta maaf, pulang ya!]

 

[Tapi cabut dulu permintaan gilamu itu!] Akhirnya dibalas juga.

 

Kugigit bibir sambil memutar bola mata. Baiklah, Mas, kuakui ide menyuruhmu menikahi Sandiyya memang gila. Baiklah, aku tak akan melibatkanmu lagi dengan urusan muridku itu. Akan kucari jalan keluar yang lain.

 

[Iya, Mas. Sekali lagi maafkan istrimu ini.]

 

[Syukurlah kalau begitu. Jangan meminta hal diluar batas kemampuan suamimu ini lagi ya! Bagiku, menikah cukup sekali seumur hidup dan istri cukup satu saja sebab hati ini hanya milikmu, Dek. Aku tak mengapa hidup tanpa anak juga, sebab bersamamu saja aku sudah bahagia. Kalau kamu ingin anak, kita bisa adopsi dari panti asuhan.]

 

Aku menarik napas panjang setelah membaca pesan mengharukan dari suamiku yang menyeramkan itu, dari wajah hingga kemarahannya.

 

[I love you, Mas.]

 

[Sudah, jangan dibalas lagi! Mas udah di depan rumah.]

 

Aku tersenyum senang dan langsung berlari menuju pintu, membukakan pintu untuknya.

 

********

 

Beberapa hari kemudian, aku sudah kembali rukun dengan Mas Bilal. Dia memintaku untuk melupakan masalah Sandiyya dan tak membahasnya lagi. Kuiyakan perintahnya, namun tak bisa kupungkiri, saat sendiri ... bayangan penderitaannya selalu saja berputar di otakku.

 

Siang itu, setelah pulang dari sekolah, sengaja kubelokan sepeda motor ke arah rumah Sandiyya. Karena tak kuasa melihat kemarahan ibunya kalau melihat kedatanganku, aku sengaja duduk-duduk saja sambil membeli es tebu di warung depan rumahnya. Ada beberapa ibu-ibu yang sedang mengobrol sambil makan gorengan di sini.

 

"Eh, menurut lo kenapa ya Juragan Yahya mau menikahi bocah yang sudah tekdung gede gitu?" tanya seorang ibu-ibu sambil mencomot bakwan dari tangannya.

 

"Lah ... dia, kan, emang tukang kawin. Yang pasti langsung maulah pas dimintai tolong ama Suryati. Kucing garong mana yang bisa nolak ketika dikasih ikan di depan mulutnya .... " jawab ibu-ibu yang sambil gendong anaknya.

 

"Iya juga sih. Habislah Sandiyya ... mana lagi bunting lagi," jawab ibu-ibu yang rambutnya disanggul sambil menyedot teh es.

 

"Eh, betewe ... dua hari lagi, kan acaranya?"

 

"Iya, kita sekampung diundang kok. Tenang saja, Juragan Yahya, kan, rada pongah .... "

 

Begitulah obrolan ibu-ibu rempong di warung, topik omongannya hanya sekitar Sandiyya. Telinga ini panas juga mendengarnya. Setelah membayar es dan gorengan yang kumakan, segera kupacu kembali motor menuju pulang.

 

"Aku harus menyelamatkan Sanddiya," batinku penuh tekad.

 

Bersambung ....

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status