Amarahnya meredam sedikit setelah mengumpat. Diana duduk di atas kloset. Dia kembali membaca artikel yang tadi sedang dibaca sebelum pelayan sial itu mengganggunya.
Berita ini baru dikeluarkan pagi ini. Meliput mengenai Angga yang tertangkap kamera masuk ke dalam lingkup apartemen milik Anggun dan tidak keluar sampai pagi.
Melihat kasur sebelahnya yang kosong, itu menjelaskan kemana Angga pergi. Dasar tukang selingkuh. Tidak ada lelaki yang benar di sekeliling 'Diana'.
Tidak lagi berminat mencari tahu mengenai kehidupan 'Diana' atau pun suaminya, ponsel itu pun di taruh di atas wastafel.
Diana mencari sikat gigi yang baru dan membuang sikat giginya yang lama. Hanya ada satu sikat gigi yang tersimpan dan itu berwarna merah muda.
Diana yakin itu milik dirinya yang lain tapi Diana enggan memakainya. Membuang satu sikat gigi tidak akan membuat keluarga ini jatuh miskin.
Semuanya dilakukan dengan cepat dari membersihkan diri sampai mengeringkan rambut. Diana keluar dengan wajah lebih segar dan dari sudut matanya dia melihat pelayan tadi sedang membersihkan kasur.
Setidaknya dia melakukan pekerjaannya dengan, batin Diana sambil berjalan menuju deretan lemari yang menyimpan baju-baju milik 'Diana'. Ada berbagai macam merk pakaian di dalam lemari itu dan Diana yakin kalau semua pasti dari brand ternama.
Tapi sulit sekali menemukan pakaian yang sesuai dengan gaya yang disukai Diana. Semua baju yang ada di dalam sana tidak modis, jika tidak sangat sederhana maka warna atau coraknya akan sangat norak hingga menyakitkan mata.
Diana membolak-balik baju-baju yang tergantung hingga dia menemukan atasan yang menurutnya memberikan kesan vintage. Kemeja berwarna putih berlengan panjang dengan model bishop yang bagian lehernya berbentuk v.
Kemeja dengan bahan satin itu sepertinya cocok kalau dipadukan dengan celana panjang berwarna coklat, diana sengaja tidak memilih yang hitam agar tidak terlalu basic. Tapi matanya tertuju pada sebuah rok berwarna putih tulang dengan motif bunga bermodel span dan mengikuti bentuk tubuh di bagian pinggang hingga pinggul.
"Ini jauh lebih baik!" gumamnya yang segera mengenakan pakaian itu. Sehabis pakaian, sekarang Diana berjalan menuju meja rias. Niatnya ingin sedikit memoles wajah tapi mata Diana tertuju pada aksesoris yang ada di sana.
Tangannya mengambil sepasang anting dengan berlian berwarna merah muda dan juga kalung dengan satu bandul berlian kecil. Kedua aksesoris itu segera Diana pasang dan untuk pertama kalinya dia merasa bersyukur karena bisa menikmati hal ini. Hak khusus orang kaya.
Pindahnya Diana ke sini bukan hal yang dia inginkan atau pun dambakan tapi untuk bisa memilih pakaian di lemari besar juga mencocokan perhiasan dan lainnya seperti sekarang ini adalah salah satu dari impian Diana. Dia benar-benar merasa seperti orang kaya.
Tanpa perlu memoles dirinya terlalu lama —karena memang wajahnya saat ini sudah sangat cantik jadi hanya perlu skincare, sedikit foundation, bedak lalu liptint sudah sempurna— Diana berjalan memilih sepatu hak lima centimeter dengan warna pink sangat muda untuk menyesuaikan dengan perhiasannya.
Diana sangat puas dengan penampilannya di kaca. Dia terlihat elegan romantik, gaya kesukaannya. Sempurna. Keluar dari area pakaian, Diana melikir pelayan tidak sopan tadi yang mendengus melihat Diana sebelum kembali merapikan kasur.
Sudahlah. Pelayan itu tidak penting. Diana meninggalkan kamar untuk menuju ruang makan, tapi baru saja keluar kamar dan berjalan lima langkah di lorong seorang pria dengan pakaian rapi, kemeja putih jas dan celana hitam serta sepatu pantofel menghampirinya.
"Selamat pagi, Nyonya muda." ujar lelaki yang Diana duga berumur empat puluhan. Diana mengangguk tanpa memberikan jawaban. Lelaki itu mengerutkan dahi melihat Diana tidak menjawab tapi ekspresinya segera berubah datar.
"Nyonya, Nona muda dan Tuan muda Dirga sudah menunggu anda untuk sarapan bersama. Mari saya antar."
Diana tidak menjawab lagi. Dia hanya mengangguk seperti tadi lalu menunggu lelaki yang Diana yakini sebagai pelayan lainnya itu jalan lebih dahulu. Lelaki itu masih saja kaget melihat reaksi Diana tapi dengan cepat melakukan pekerjaannya.
Sikap profesional itu membuat kesan pertama Diana untuk lelaki ini bagus. Jika dia orang kaya dan mempunyai pelayan tentunya Diana ingin pelayannya tidak banyak berkomentar dan melakukan saja apa yang seharusnya mereka lakukan.
"Apa kakek suda di ruang makan?"
"Tuan besar belum turun."
"Kalau Ayah?"
"Tuan sudah berangkat karena sepertinya ada masalah di kantor." ujar sang pelayan dengan ujung mata melirik Diana. "Apa Nyonya muda ingin berangkat lebih cepat ke kantor?" Diana mengerutkan dahinya atas pertanyaan itu.
"Kenapa?"
"Karena Nyonya muda adalah salah satu petinggi disana, 'kan?"
"Ah, itu. Kau benar. Hahaha."
Diana mengusap tengkuk lehernya, canggung. Dia lupa kalau dirinya disini bekerja juga. Untungnya mereka sampai di ruang makan sehingga Diana tidak perlu menghadapi kecanggungan lebih lama.
"Sepertinya ada yang sudah besar kepala karena sudah menjadi bagian dari keluarga ini sampai membuat Mama harus menunggu untuk sarapan." ucapan sinis itu keluar dari perempuan yang terlihat jelas masih di umur dua puluhan.
Diana yakin kalau perempuan itu belum sampai di akhir dua puluh, umurnya tidak mungkin lebih dari dua puluh lima tahun. Dari penampilannya, Diana tahu kalau dia gadis manja yang sudah lahir dengan sendok emas.
Dari apa yang Diana baca tadi, suami bangsatnya itu mempunya satu adik perempuan dan laki-laki. Ini pasti adik perempuannya. "Apa yang kau lakukan?! Cepat duduk! Apa kau mau membuat kami mati kelaparan?"
"Kakek belum ada disini. Aku duduk sekarang atau nanti juga selama Kakek belum disini kita akan makan."
"K-kau! Berani melawanku?! Ma! Lihat tuh kelakuannya!!"
Ibu mertua Diana yang sedari tadi diam dan memilih mengabaikan keberadaan Diana kini menatapnya tajam. Bukan tatapan sinis seperti adik iparnya itu, ada yang berbeda dari tatapan ibu mertuanya. Ada sebuah amarah di dalam tatapan itu.
"Duduk." Ibu mertuanya mengeluarkan kata singkat namun penuh penekanan. Diana tahu kalau dia tidak punya pilihan untuk melawan. Diana pun duduk di kursi yang sudah di tarikan oleh pelayan.
Bisa dia lihat kalau adik iparnya itu tersenyum penuh kemenangan. "Kau jangan berlagak disini. Rumah ini tidak akan pernah menerimamu. Dasar penjilat!" usai kalimat itu terucap sebuah gebrakan keras terdengar dari arah pintu ke ruang makan.
"Kanya! Jaga ucapanmu!"
"K-kakek...,"
Kedua saudara itu panik melihat nenek mereka menangis. “Nenek hanya terharu. Sudah lama sekali sejak melihat kalian seperti itu. Kalian sudah tumbuh besar.” Diana dan Reza tentu saja mengerti maksud nenek. Sejak Kakek meninggal, Diana dan Mama tidak pernah datang lagi ke sini. Bahkan saat pernikahan Diana, mereka hanya bertemu sebentar. Keluarga mereka sudah terpecah begitu lama jadi Nenek terharu bisa melihat kedua cucunya bergurai lagi. “Aku akan sering-sering ke sini.” ujar Diana sambil merengkuh pundak Nenek. Pelukannya itu dibalas usapan pada pundak Diana. “Datanglah kapan saja. Nenek senang kalau kau datang.” “Dan aku yang bosan melihatnya, Nek.” Suasana haru itu dihancurkan oleh ucapan mengolok penuh canada dari Reza. Diana yang mendengar itu langsung mengadu kepada Neneknya. Dia memandang Nenek dengan tatapan terluka yang membuat Nenek memukul Reza. “Jangan menggoda adikmu!” Reza hanya terkekeh mendengar ucapan Nenek. “Jadi, kau sudah mengundurkan diri?” Melihat suas
“Diana, maaf nenek ganggu saat kamu lagi kerja tapi apa siang ini bisa makan bareng nenek?”“Nggak ganggu sama sekali kok, Nek. Aku malah seneng nenek ajak makan. Kita makan dimana nek?”“Di rumah aja. Tante kamu mengundang teman-temannya, jadi nenek bikin soto kudus terus inget kamu suka banget sama soto kudus.”Diana tersenyum mendengar ucapan neneknya itu. Dia tidak mengerti kenapa ‘Diana’ bisa menyianyiakan nenek sebaik ini.“Kalau gitu aku kesana sekarang ya. Kebetulan aku lagi diluar kantor.”Setelah bertukar beberapa kalimat lagi, telepon ditutup dan Diana seger
Selama ini Dirga tahu betul kalau kakaknya itu waspada terhadapnya. Dirga sendiri tidak tahu kenapa tetapi hubungan mereka memang agak rumit. Tidak seperti anak bungsu lainnya, Dirga tidak pernah dimanja. Perlakuan ayah dan ibunya juga biasa saja. Seolah dia ada atau tidak bukan sesuatu hal yang penting. Terkadang dia sendiri merasa dirinya seperti orang asing dalam keluarga sendiri. Itu sebabnya Dirga jarang dirumah dan setelah menginjak bangku SMA dia semakin jauh dengan keluarganya. Satu-satunya orang di keluarga ini yang masih memperhatikannya hanya kakek. Kepala keluarga itu sering memperhatikan Dirga dalam diam. “Tenang saja. Aku belum punya kekasih.” jawab Dirga dengan pasti dan Angga mengangguk percaya dengan ucapan adiknya. Dirga akhirnya pamit. Ketika sudah di mobil Dirga menghela nafas lega. Dia tahu betul kalau kakaknya tadi itu sedang mengujinya. Jika Angga merasa ada yang aneh dari dirinya, Dirga yakin kalau Angga akan menyuruh orang untuk mengawasinya. Dirg
Angga melihat istrinya yang baru saja masuk memandangnya tidak suka. Dia menaikan satu alisnya. “Apa yang salah dengan aku disini? Ini kamarku.” Jawaban itu membuat Diana mendelik. Memang benar ini kamarnya yang menjadi kamar mereka berdua. Semenjak Diana pindah ke rumah ini Angga tidak pernah menginjakan kaki di kamar ini. Angga lebih memilih untuk tidur di kamar tidur tamu dibandingkan satu kamar dengan Diana. Jadi wajar saja bagi Diana untuk terkejut melihat Angga berada di kamar ini. Yang tadi pun, ketika Angga mandi di sini juga sebuah kejanggalan. TIdak mau pusing dan melakukan interaksi lebih banyak dengan tukang selingkuh ini, Diana berjalan masuk tanpa menjawab pertanyaan Angga. Dia mengambil ponsel yang berada di atas nakas lalu berjalan keluar dari kamar. Angga yang tadinya diam melihat itu semua pun terheran. “Kau mau kemana?” Diana berbalik, “Tidur. Apa lagi?” “Lalu kenapa keluar?”“Aku tidur di kamar tamu.”Mendengar itu, Angga mengerutkan dahi. Dia yang biasanya
Ketika selesai mandi Diana tidak merasakan ada orang lain di dalam kamar. Melihat bagaimana kasur tetap rapi dan tidak ada barang yang berantakan selain bagian lemari Angga, Diana rasa lelaki itu tidak lama di sini. Baguslah. Diana kira rencananya untuk berbicara dengan Kakek Tanuraja harus ditunda karena kehadiran Angga dan Anggun tapi sepertinya itu tidak perlu. Selesai dengan kegiatan sehabis mandinya, Diana segera keluar dari kamar. Ruang kerja Kakek Tanuraja berada di lantai satu. Dulu kamar dan ruang kerjanya berada di lantai dua. Tapi karena lutut Kakek semakin memburuk, semuanya dipindahkan ke lantai satu agar memudahkan Kakek untuk beraktifitas. Diana berjalan menuruni tangga dan berhenti saat menyadari dia harus melewati ruang tempat Ibu mertua, suami dan adik Diana sedang bercanda ria. Dia harus melewati ruangan itu untuk berjalan ke lorong yang akan membawanya ke ruang kerja Kakek Tanuraja. Ugh, mau bagaimana lagi. Diana berjalan melewati ruangan itu tanpa menoleh yang
Hari keduanya menjadi Diana si istri lelaki konglomerat tidak seheboh hari pertama. Tidak ada teriakan dan ujaran angkuh dari adik iparnya tapi ada tambahan mata yang menatapnya tajam selain ibu mertuanya. Diana tidak ambil pusing dengan itu. Di kantor Tika juga tidak banyak bertingkah. Walau masih dengan wajah masam setiap kali harus melakukan sesuatu atas perintah Diana tapi Tika melakukannya. Proyek yang sedang dilakukan oleh divisinya juga berjalan lancar. Diana sudah mulai bisa mengikuti alur kerjanya juga aturan-aturan yang perlu diperhatikan. Pekerjaan memang bukan hal yang Diana khawatirkan. Soal Mama, masih belum ada kabar. Biar sajalah. Diana juga tidak terburu-buru untuk hal itu. Selagi ada kesempatan, Diana ingin menikmati rasanya menjadi anak keluarga kaya yang hidupnya santai tanpa perlu khawatir soal uang. Siapa sih yang tidak mau hidup sebagai anak sultan? Diana sih mau sekali. Apalagi setelah bertahun-tahun menjadi budak korporat yang hanya tahu berangkat kerja