Sudarmaji Kiyosan siang itu tiba di markas. Ia meminta Matio menghubungi Matias papanya Marina. Matio duduk di hadapan Sudarmaji. Natalie membawa buah-buahan dari arah dapur. Beberapa kali Natalie bolak balik ke dapur. Ia juga membawakan minuman untuk Sudarmaji dan Matio.“Sudah jalan ke sini, Matias?” tanya Bos Sudarmaji Kiyosan pada Matio.“Lagi di jalan, Bos,” jawab Matio sambil menghisap cerutunya.Tak berapa lama setelah itu, Reimond ajudan Sudarmaji Kiyosan yang bertubuh atletis seperti seorang pasukan khusus masuk mengantarkan Matias.“Hai, gimana kabarnya?” Sudarmaji berdiri dan memeluk Matias.“Kabar baik, Bos. Bos gimana kabarnya? Gimana kondisi kesehatannya?”“Ya, yaa, kesehatan terutama jantung yang agak bermasalah. Aku mau ganti jantung saja. Mau cangkok jantung saja,” kata Sudarmaji Kiyosan duduk kembali di kursinya semula. Matias telah duduk di sebelah Matio.“Kenapa begitu, Bos?” tanya Matias. Beberapa waktu lalu katanya sudah pasang ring di jantung.“Ah, kurang bagus
Siang-siang terik Jayadi dan Marina meninjau lokasi proyek. Keduanya sama-sama menggunakan helem proyek. Mereka membangun sebuah gedung hotel satu paket dengan super mall. Milik seorang pengusaha yang juga kolega Sudarmaji Kiyosan sejak lama. Sudah satu jam Jayadi dan Marina mengamati perkembangan proyek mereka. Ada beberapa bagian yang dikerjakan perusahaan Jayadi dan ada beberapa bagian yang dikerjakan perusahaan papanya Marina yang kini mulai dipimpin oleh Marina.‘Gimana progresnya Pak Bos?” tanya Marina pada Jayadi?“Sudah cukup bagus? Menurut informasi dari Lena, beberapa waktu yang lalu ada sedikit kesalahan, tapi sudah diperbaiki lagi," kata Jayadi sambil memandang orang-orang yang sedang bekerja. Marina, Lena dan tim yang lainnya ikut memperhatikan.“Iya, itu memang ada sedikit kesalahan spesifikasi barangnya yang dipesan orang-orang ku.""Ya asal jangan terulang beberapa kali kesalahan seperti itu. Bisa mengurangi keuntungan kita," kata Jayadi memberi tekanan pentingnya keh
Jayadi sibuk dengan pikirannya. Ia memikirkan bagaimana melepaskan diri dari Lisa dan bagaimana dia bisa menikah dengan Natasya secepatnya. Sejenak dia coba mengalihkan perhatian dengan menonton berita-berita terbaru tentang perkembangan dunia ekonomi dan bisnis. Jayadi berdiri dari kursi dan melangkah ke arah jendela. Setiap dia melihat ke warung mie Bu Masna, ia selalu rindu melihat Natasya. Namun Jayadi selalu menemui angan kosong tentang sosok kesayangannya itu. Sejak Natasya tidak lagi bekerja di kantor Jayadi, dia pun tak pernah lagi terlihat membantu Bu Masna jualan mie walaupun di hari libur.Jayadi kembali ke tempat duduknya. Baru sesaat dia duduk dan menatap layar handphonenya, Lena mengetuk pintu.“Ya, masuk!”Lena melangkah dan duduk di hadapan Jayadi. “Orangnya Bu Marina barusan telepon, Pak. Ia sedang mengatur jadwal kunjungan Bapak dan Bu Marina ke proyek yang baru kita kerjasamakan.”“Iya silahkan kamu atur saja jadwalnya dengan mereka. Saya ikut saja, Lena.”“Baik, Pa
Natasya menemui Pak Kasrin jelang siang itu. "Pak, saya mau makan siang di luar memenuhi ajak kawan,” kata Natasya. Biasanya Natasya makan siang di kantin yang ada di sebelah kantor mereka. Kantin kepunyaan Bu Marni istrinya Pak Bagito salah seorang karyawan perusahaan. “Baik, Natasya,” jawab Pak Kasrin sambil duduk di kursi dan memutar-mutar kursinya. “Saya juga mohon izin kalau agak terlambat balik ke kantornya, Pak.” “Boleh, Nat.” Seperti biasa, Natasya mencium tangan lelaki umur enam puluhan yang sudah dianggapnya seperti bapak sendiri. Pak Kasrin tersenyum melihat Natasya saat gadis itu melangkah meninggalkan ruangan. Natasya turun ke lantai satu dan melihat Sapuro yang sedang asyik dengan handphone. Seperti biasa Sapuro duduk di meja piket dengan secangkir kopi. "Siang, Pak,” sapa Natasya. “Hai, siang Nat. Mau kemana?” “Mau makan siang di luar Pak. Ada kawan yang ajak dan traktir makan siang,” kata Natasya sambil tertawa pelan. “Asyik dong ditraktir,” tanggap Sapuro diiri
Jayadi benar-benar gundah karena dilanda cemburu hari itu. Ia coba menenangkan diri. Ia coba mengendalikan emosi dengan mengatur nafas seperti latihan yang biasa dilakukannya. Latihan pengendalian diri, emosi dan pikiran yang diajarkan guru-guru bela diri yang pernah ditemuinya. Ia kembali duduk di kursi eksekutifnya. Jayadi telah mulai tenang dan sudah bisa menguasai dirinya kembali. Ia lalu menelpon Lena,”Lena kemari sebentar!”"Baik, Pak." Lena bergegas masuk ke ruangan Jayadi. Lena sudah bisa menduga telah terjadi hal yang sangat tidak mengenakan. Ada dua tanda bagi Lena. Pertama melihat Gunadi yang pergi dari ruangan Jayadi tanpa sedikitpun menoleh pada Lena. Kedua, Lena melihat wajah Big Bos yang terlihat tegang. Lena bisa memperkirakan bahwa tadi Jayadi betul-betul gelisah dan marah. Lena tak ingin bertanya karena akan memancing kembali letusan kemarahan Big Bos. Lena duduk di hadapan Jayadi menunggu Jayadi berbicara.“Lena.”“Ya, Pak.” Lena memandang sepintas pada Jayadi setel
Natasya telah melaksanakan tugasnya membersihkan ruangan lantai satu dan dua pagi ini. Ia kemudian membuat beberapa cangkir kopi di pantri. Beberapa orang kini lebih senang minta dibuatkan kopi oleh Natasya. Bagi Imah hal itu menguntungkan karena mengurangi kerepotannya.Imah tersenyum sambil memandang wajah Natasya dengan pandangan menyelidiki, “jadi ya kencan dengan anaknya bos perkebunan itu?”Natasya yang mulai merasa akrab dengan Imah menjawab dengan santai, “jadi dong Mbak. Nggak enak menolak undangannya. Nanti aku dikira orang miskin yang sombong,” kata Natasya sambil tersenyum.“Eh, dimana kencan makan malamnya?” tanya Imah penasaran.“Di sebuah restoran mewah. Letaknya di puncak hotel, Mbak. Indah sekali pemandangan kota malam hari dilihat dari sana.”“Waw. Hebat,” kata Imah terkagum mendengar cerita Natasya. “Eh nanti kalau jadi istrinya, jangan lupakan aku ya. Bawa serta aku jadi pembantu di rumah saja,” kata Imah sambil cekikikan.”“Uh, Mbak ini, ada-ada saja.”“Tapi gajik