เข้าสู่ระบบRey tidak menjawab pertanyaan Anara, dia fokus pada lelaki yang tadi memukulkan botol minuman.
Rey menatap lelaki itu dengan tajam, namun ditanggapi dengan tak acuh dan omelan tak jelas. “Pak Rey, dia mabuk karena tadi minum banyak. Sepertinya dia tidak sadar siapa Anda. Tapi tolong… maafkan teman saya ini,” kata pria lain yang kini gugup dan tidak menyangka dengan kehadiran Rey. “Saya yang akan memberinya pelajaran–” Rey tidak memperpanjang masalah, kedatangannya ke sana juga bukan untuk berdebat. Jadi dia memilih untuk mengabaikan hal tadi, masih ada hal yang lebih penting harus dia bahas. “Saya ada perlu dengannya–” Rey beralih menatap Anara yang memijit pelipisnya. “Pak Rey, Anda mencariku?” Rey mengangguk lalu memintanya ikut keluar, tidak ada yang berani mencegah. Semua orang tahu jelas siapa Rey, mereka tidak mungkin berani menyinggung. Anara mengikuti langkah Rey dengan berjalan memegangi dinding. Perlahan, dia merasa banyak yang tidak beres. Selain kepalanya pusing, kakinya terasa lemas dan ada yang aneh dalam tubuhnya. ‘Sialan, apa minuman tadi juga mengandung obat? Pantas saja aku mudah sekali mabuk,’ batin Anara berdecak. “Saya ingin membahas soal donor ginjal—” Langkah Rey terhenti tepat di dekat mobil, Anara yang tidak fokus tidak sadar dengan posisi hingga menubruk punggung Rey di depannya. “Eh, maaf, Pak Rey—” Kalimat Anara terputus ketika kakinya tiba-tiba terasa seperti jelly. Gerakannya kacau, refleks kedua tangannya mencengkeram lengan Rey, dan tubuhnya menyender begitu saja di punggung lelaki itu. Dari luar, siapa pun pasti mengira dia sedang memeluk. Rey tidak bereaksi berlebihan. Wajahnya tetap tenang, sorot matanya dingin namun waspada. Dia menurunkan pandangan, melihat lengannya yang Anara cengkeram. Jemari lentik itu kuat meremasnya seolah menekan kekuatan di sana karena tidak punya tenaga untuk berdiri. Anara tidak langsung menjawab, akalnya mungkin tinggal separuh. Hidungnya justru sibuk mengendus. Tanpa sadar, dia menikmati aroma maskulin dari parfum Rey—wanginya segar, dewasa, dan entah kenapa membuat dia semakin tidak terkendali. Namun di tengah pengaruh alkohol dan obat itu Anara tetap berusaha waras. Rey membalik badan dan memegang lengan Anara yang hampir jatuh saat tidak ditopang. Anara mendongak, pipinya memerah dengan tatapan sayu. Tangannya tidak mau berhenti, bahkan sekarang berani meraba-raba dada Rey. Rasanya begitu kekar dan bidang, badan seperti ini yang Anara mau. Dia mulai memiliki fantasi gila. “Atletis sekali, mm–” gumam Anara mulai meracau. Dia tersenyum-senyum tak jelas. Rey memerhatikan, dia tahu jelas jika saat ini Anara mabuk. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Rey singkat, suaranya rendah dan terkendali. Gadis itu mungkin terkejut dengan suara Rey, namun detik berikutnya justru terpesona. Di telinganya, suara Rey terdengar serak dan sangat seksi. “Maaf–” Anara meringis kaku, dia mengepalkan tangannya agar tidak bersikap lancang lagi. “Pak Rey, aku tidak bisa mengendalikan tanganku.” “Kamu–” Rey menyipitkan mata, melihat kondisi Anara yang semakin buruk. “Pak Rey, kamu tampan sekali,” puji Anara ingin membelai wajah Rey, tapi dengan cepat tangannya kembali dicekal. “Kamu mabuk,” Rey menghela napas. Padahal dia ingin bicara serius untuk membahas soal donor ginjal, tapi kondisi Anara sangat tidak memungkinkan. Anara tidak lagi menyahut, dia malah sibuk menggesekkan dirinya ke tubuh Rey. Mencari kehangatan dan rasa nyaman. Wajahnya pun dia senderkan dan dia usap-usap ke dada Rey. Rey mulai merasa geli dan risih. Dia mendorong kepala gadis itu. “Berhenti bersikap tidak jelas. Kamu sedang memancing saya?” Tidak ada jawaban, Anara melepaskan tangannya dari cekalan Rey dan ganti memeluknya erat-erat. Bahkan bibirnya tidak berhenti mengecup-ngecup. Dia sungguh berubah jadi gadis gila. “Ck!” Rey berdecak frustasi. Sepertinya tidak ada harapan Anara tersadar. “Pak Yanto, bantu saya–” Rey lalu memberi perintah pada supir untuk membantunya melepaskan Anara dan memasukkannya ke mobil. Anara dipaksa duduk di kursi penumpang mobil Rey. Gadis itu awalnya terlihat anteng dengan menyenderkan kepalanya ke pintu. “Nara, saya ingin membahas soal–” Rey ikut masuk ke mobilnya. Duduk di kursi bersebelahan dengan Anara, namun saat dia melihatnya, tangan Anara sedang bergerak liar, meraba leher, dada, perut, dan hampir menyingkap roknya. Rey melotot kaget, detik berikutnya buru-buru Rey mencekal tangan gadis itu. “Lepas–” Anara berontak. “Pak Rey, cium aku!” pintanya tanpa malu memajukan bibir. Rey yang berusaha menghindar sampai kepalanya terbentur-bentur. “Pak Rey, Anda butuh bantuan?” Supir yang tadi sudah duduk di kursi kemudi hendak keluar namun Rey mencegahnya. “Jalan saja, Pak. Saya bisa mengatasinya.” Rey yang tidak nyaman melihat gadis itu bergerak seperti cacing kepanasan langsung mengamankannya. Dia memasangkan seat belt, lalu mengikat kaki dan tangan Anara. Bibirnya yang terus menjilat tak jelas juga Rey jajali dengan permen. “Mmmh–” Anara tidak bisa lagi berontak. Dia menatap Rey dengan mata berkaca-kaca penuh harap, namun Rey membalasnya dengan senyum mencibir dan napas lega. “Lebih baik kamu tidur,” kata Rey, menepukkan tangannya yang sudah sukses mengikat tangan dan kaki Anara dengan ikatan seadanya. Sekarang Rey bisa duduk dengan tenang. Dia bahkan menyumpal telinganya dengan earbuds dan mendengarkan musik, tidak lagi peduli dengan gadis di sampingnya yang sudah persis seperti korban penculikan. “Kita pulang saja,” titah Rey pada supir yang tadi bertanya hendak membawa Anara ke mana. “Dia bisa menginap di rumah–”“Oh, tidak masalah. Dia justru unik dan lucu,” sahut Anara dengan senyum cerah. “Mmm, baiklah, kamu bisa turun untuk sarapan lebih dulu.” Rey mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh Anara untuk turun sementara dia menyusul Zavi. “Oke!”Rey lihat, gadis itu terlihat sangat percaya diri dan mempunyai aura positif yang kuat. Selain ramah, dia juga selalu ceria, padahal Rey yakin ada banyak beban hidupnya sampai harus bekerja keras bahkan rela menjual ginjal. *** “Ginjal kami cocok?” Anara berbinar senang saat Rey memberitahu tentang hasil pemeriksaan kemarin. Anara hampir saja meloncat kegirangan. Akhirnya dia punya kesempatan besar bisa melunasi hutang! Euforia membuat ekspresi Anara tidak terkendali. Anara jadi canggung ketika ditatap oleh dua lelaki berbeda usia itu dengan tatapan yang aneh. Buru-buru dia berdeham dan memperbaiki posisi duduknya. “Mmm, syukurlah. Karena cocok, berarti operasi bisa cepat dilakukan kan? Zavi harus cepat sehat,” ucap Anara perhatian. Zavi justru m
Setelah meminum obat dari Rey, Anara tertidur selama beberapa jam. Dia terbangun dengan kaget dan linglung. Dipikirnya dia ketiduran di club, namun saat otaknya mengingat kembali satu per satu yang dia lewati semalam, Anara pun berdecak frustasi. “Astaga, apa yang sudah kulakuan–” Anara baru teringat sudah bertindak tak sopan pada Rey. Dia begitu berani ingin mencium, bahkan memeluk dan meraba-raba dada lelaki itu. Sungguh biadab, untung Rey tahu Anara sedang dalam kondisi mabuk. Kalau tidak, bisa kena pasal pelecehan! Anara memindai sekeliling, dia berada di kamar mewah yang asing, namun dia bisa menembak jika itu bukan kamar hotel tapi mungkin rumah Rey. Anara melihat jam yang menunjuk pukul setengah empat, di luar masih gelap. Namun Anara tidak bisa kembali tidur. Kepalanya masih sedikit pusing tapi tidak terlalu parah, dia memilih ke kamar mandi dan membersihkan diri agar lebih segar. ***Saat keluar kamar, Anara mendengar suara anak menangis dan meracau lalu suara Rey yang
Rey tidak menjawab pertanyaan Anara, dia fokus pada lelaki yang tadi memukulkan botol minuman. Rey menatap lelaki itu dengan tajam, namun ditanggapi dengan tak acuh dan omelan tak jelas. “Pak Rey, dia mabuk karena tadi minum banyak. Sepertinya dia tidak sadar siapa Anda. Tapi tolong… maafkan teman saya ini,” kata pria lain yang kini gugup dan tidak menyangka dengan kehadiran Rey. “Saya yang akan memberinya pelajaran–” Rey tidak memperpanjang masalah, kedatangannya ke sana juga bukan untuk berdebat. Jadi dia memilih untuk mengabaikan hal tadi, masih ada hal yang lebih penting harus dia bahas. “Saya ada perlu dengannya–” Rey beralih menatap Anara yang memijit pelipisnya. “Pak Rey, Anda mencariku?”Rey mengangguk lalu memintanya ikut keluar, tidak ada yang berani mencegah. Semua orang tahu jelas siapa Rey, mereka tidak mungkin berani menyinggung. Anara mengikuti langkah Rey dengan berjalan memegangi dinding. Perlahan, dia merasa banyak yang tidak beres. Selain kepalanya pusing, kak
“Kamu salah paham, dia memang bekerja di club. Tapi aku membawanya kemari karena dia berniat menolongmu. Bukankah kamu belum dapat pendonor ginjal untuk Zavi?”Rey yang tadinya tak acuh kini berjalan mendekat. Dia menyambut Erik dan Anara untuk duduk lalu bicara serius. “Kamu sungguh ingin melakukannya?” Anara mengangguk yakin. “Benar, Pak Rey. Saya sehat, saya yakin bisa jadi pendonor untuk putra Anda. Semoga saja ginjal kami cocok,” ucap Anara dengan sesopan mungkin. Rey tampak berpikir, dia menimang sambil memperhatikan penampilan Anara. “Baiklah, besok kita cek dulu ke rumah sakit. Kalau cocok, saya ingin operasinya segera dilakukan–”Rey sedikit ragu karena penampilan Anara yang sangat mencolok, namun masalah kesehatan putranya bukan sesuatu yang bisa diulur. Jadi dia memilih untuk mencoba menerima niat baik dari wanita itu.“Tidak masalah, saya siap–” Anara bicara dengan senyum meringis. “Asal, soal uang itu… ““Saya pasti akan memberinya–” sahut Rey tanpa perlu Anara menega
“Denda dua ratus juta? Bapak serius?”Anara menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya sampai gemetar. Dia dituduh merusak barang di galeri tempatnya bekerja--sebuah patung antik peninggalan jaman kuno yang harganya fantastis. Bosnya menagih uang denda untuk sesuatu yang bahkan tidak Anara lakukan. Jumlah sebanyak itu, bahkan jika Anara bekerja tanpa henti selama setahun ini pun tidak akan mungkin mendapatkan sebanyak itu. “Kamu sudah bekerja cukup lama di tempat galeri barang antik ini. Kamu tahu jelas harga patung itu tidak murah–” Patung itu kecil, hanya seukuran dua puluh senti. Namun terbuat dari porselen putih gading berusia ratusan tahun. Berbentuk patung wanita oriental dengan kimono sederhana yang dihiasi goresan warna biru dan merah yang mulai pudar. Kilau glasirnya tampak lembut di bawah lampu galeri, dan stempel dinasti di bagian bawah menjadi bukti keaslian yang membuat nilai patung mungil dan rapuh itu mencapai ratusan juta rupiah.“Ta--tapi… Aku bahkan tidak pernah me







