Share

Bab 4

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2025-12-15 15:23:20

Setelah meminum obat dari Rey, Anara tertidur selama beberapa jam.

Dia terbangun dengan kaget dan linglung. Dipikirnya dia ketiduran di club, namun saat otaknya mengingat kembali satu per satu yang dia lewati semalam, Anara pun berdecak frustasi.

“Astaga, apa yang sudah kulakuan–”

Anara baru teringat sudah bertindak tak sopan pada Rey. Dia begitu berani ingin mencium, bahkan memeluk dan meraba-raba dada lelaki itu. Sungguh biadab, untung Rey tahu Anara sedang dalam kondisi mabuk. Kalau tidak, bisa kena pasal pelecehan!

Anara memindai sekeliling, dia berada di kamar mewah yang asing, namun dia bisa menembak jika itu bukan kamar hotel tapi mungkin rumah Rey.

Anara melihat jam yang menunjuk pukul setengah empat, di luar masih gelap. Namun Anara tidak bisa kembali tidur. Kepalanya masih sedikit pusing tapi tidak terlalu parah, dia memilih ke kamar mandi dan membersihkan diri agar lebih segar.

***

Saat keluar kamar, Anara mendengar suara anak menangis dan meracau lalu suara Rey yang sedang menenangkan.

Anara mendongak, melihat ke arah tangga di mana Rey sedang berjalan sambil menggendong Zavi yang terbangun.

“Suuut, tidak apa-apa. Ada Ayah–” Rey coba menenangkan anaknya yang menangis sambil menyandarkan dagunya di pundak Rey.

Anara mendekat, dia menunggu tepat di bawah tangga. “Dia terbangun? Ini masih jam empat pagi–”

“Dia sering begini,” jawab Rey yang membuat tangis Zavi makin keras karena tidak suka ada yang bicara.

Anak itu terus terisak-isak namun tidak ada satu pun kata yang dia ucapkan. Rey menggendong sambil menepuk-nepuk punggung anak itu pelan.

“Apa aku boleh menggendongnya?” Anara mengulurkan tangan, secara naluriah sebagai seorang wanita, dia mungkin tergugah ingin menenangkan anak itu.

Rey ragu, tapi saat Anara coba memegang tangan anak itu, Zavi tidak menolak. Pelan-pelan Rey memindahkan Zavi dalam dekapan Anara.

Tubuh Zavi terbilang kecil dan kurus, tidak sulit untuk digendong meski sudah lima tahun.

Zavi menggeliat, dia kembali meraung ingin lepas, namun Anara erat memeganginya agar tidak jatuh lalu membisikinya pelan.

“Sayang, ayo tidur lagi. Kamu enggak sendiri, aku temenin kamu tidur ya–” ucapnya pelan dan lembut. Tangan Anara juga mengusap-usap kepala Zavi.

Zavi yang tadi memberontak ingin turun, kini melemaskan tubuhnya dalam gendongan Anara. Meski masih terisak, dia tidak menolaknya.

Anara berjalan mondar-mandir hanya untuk membuat Zavi kembali tertidur dalam gendongan karena nyanyiannya.

Sejak tadi, Rey masih di sana. Dia duduk di sofa sambil mengamati dan mendengar lagu penghantar tidur yang Anara nyanyikan. Suaranya memang merdu, terdengar halus juga lembut.

Anara berhasil menidurkan Zavi kembali. Anak itu pulas dan nyaman dalam dekapannya.

“Pak Rey, di mana kamar Zavi?” tanya Anara dengan suara pelan, namun Rey terlihat masih melamun.

“Pak Rey—” ulangnya yang membuat Rey terkejut, dia menatap Anara dan buru-buru berdeham.

“Apa yang kamu butuhkan?” tanyanya sedikit gugup.

Anara tersenyum tipis. “Di mana kamar Zavi? Aku akan membaringkannya.”

Rey segera bangkit.

“Ada di atas.” Rey menunjuk ke arah tangga. “Mari saya tunjukkan.”

Anara membuntut langkah Rey ke lantai dua. Kamar Zavi berada tepat di samping kamar ayahnya. Biasanya anak itu tidur sendiri meski ada babysitter yang menjaganya.

“Pak Rey, soal semalam… aku minta maaf,” ucap Anara di tengah langkahnya. Dia merasa sangat tidak enak hati.

“Lupakan saja, saya tahu kamu mabuk.” Rey seolah enggan membahasnya lagi. Anara pun tersenyum lega.

Anara membungkukkan badan untuk menurunkan Zavi ke kasur, namun tangan mungilnya justru memeluk leher Anara erat-erat seakan enggan melepas.

Rey yang melihat respon anaknya, merasa kasihan.

“Kamu bisa temani dia tidur? Toh, sebentar lagi pagi–”

Permintaan Rey, sesuai apa yang Anara rasakan. Dia juga tidak ingin memaksa Zavi melepaskan tangannya dan ingin menemani anak itu tidur.

“Baiklah, tidak masalah. Aku akan berjaga di sini,” ujar Anara tidak keberatan.

Dia ikut naik ke ranjang lalu tidur di sebelah Zavi yang masih terus memeluknya seperti anak monyet yang menempel dalam gendongan induknya.

“Tidur lagi ya, Sayang–” bisik Anara sambil memiringkan badannya dan menepuk-nepuk pelan pundak anak itu.

Zavi terlelap, dia merasakan kehangatan dan rasa nyaman yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Sementara Anara pun kembali ikut tidur.

Meski bar-bar begitu, dia punya sisi keibuan, dan tahu bagaimana caranya memperlakukan anak kecil karena dia punya beberapa adik.

Rey tidak keberatan, dia biarkan putranya tidur dengan wanita penghibur itu. Mungkin kedekatan mereka untuk beberapa saat ini akan baik untuk keberlangsungan operasi yang akan segera dilakukan. Ginjal Anara cocok untuk Zavi.

***

Zavi menggeliat, tangan kecil yang tadi memeluk Anara erat-erat kini terlepas. Anak itu mengerjap, ketika menyadari siapa yang tidur di sampingnya, mata bulatnya terpaku.

Anak itu menatap Anara lekat-lekat namun tidak bicara apa pun. Dia diam dengan sikap yang tenang, meski samar-samar ingat dengan kejadian semalam di mana dia menangis dan digendong Anara.

“Mmm, kamu sudah bangun?” tanya Anara lembut, dia membuka mata dengan senyum hangat.

Sikap Zavi yang diam saja sambil menatap Anara membuat gadis itu terkekeh.

“Kenapa? Kamu bingung kenapa aku tidur di sini? Tadi waktu kamu kebangun kan Kakak yang gendong, loh,” kata Anara setengah meledek.

“Kamu yang menahanku untuk tetap di sini. Jadi aku temani kamu tidur.” Anara menjelaskan dengan sikapnya yang selalu riang.

“Benarkah? Kurasa bukan aku, tapi Kak Nara yang sengaja ingin tidur di kasur empukku kan? Buktinya tangan Kak Nara terus memelukku,” elak Zavi dengan sikapnya yang tak acuh.

Anara tidak kesal, dia malah tertawa kecil dengan sikap dan jawaban anak itu. Menggemaskan. Memang mulutnya pedas, tapi wajahnya terlalu imut untuk dimarahi.

“Oh astaga, bocah ini pintar sekali–” Tangan Anara memang masih berada di pinggang kecil Zavi. “Kamu lucu, Kakak suka.”

Bukannya tersinggung dengan sikap jual mahal Zavi, Anara semakin suka meledeknya. Dia bahkan sengaja mengeratkan pelukan dan menempelkan tubuhnya, lalu mengusap-usap hidungnya ke pipi Zavi.

Anak itu kegelian, namun tidak marah. Tanpa sadar, justru Zavi tertawa kecil. Tawa yang membuat lelaki di ambang pintu merasa kaget.

Sudah sangat lama, Rey tidak pernah melihat putranya tertawa ceria bersama orang lain. Dia pikir putranya yang genius itu kehilangan kemampuan untuk bermanja dan bersikap layaknya anak-anak.

Ehem!

Rey berdeham, mengagetkan keduanya yang tadi masih asyik bercanda dan saling gelitik.

“Pak Rey?”

“Ayah?”

Wajah Zavi yang semula tertawa kini kembali datar. “Kak Nara sangat kekanakan. Pagi-pagi sudah berulah. Wanita memang banyak tingkah.”

Bibir Anara sampai terbuka lebar begitu mendengar ucapan sok dewasa dari anak di sebelahnya. Tadi Zavi begitu riang bercanda bersamanya, kini sikapnya berubah begitu cepat.

“Hm, oh ya? Tapi Ayah lihat kamu suka bercanda dengannya–” Rey bersedekap di pintu, menatap putranya dengan senyum geli.

“Tidak, mana mungkin–” Anak itu turun dari ranjang. “Aku ingin mandi–”

Dengan sangat mandiri Zavi berjalan ke kamar mandi. Dia sengaja menghindar hanya untuk menutupi rasa malunya.

Rey melihat Anara yang masih bengong di atas ranjang. Sorot matanya terus mengikuti ke mana bocah itu pergi.

“Zavi jarang bersikap hangat dengan orang lain. Jangan tersinggung, begitu memang sifatnya–”

Rey bicara sambil membenarkan kacamatanya. Terdengar seperti orang tua yang tidak enak hati dengan sikap putranya. Atau seseorang yang coba menjelaskan agar gadis itu tidak terlalu banyak berpikir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Siasat Menggoda Duda Kaya   Bab 5

    “Oh, tidak masalah. Dia justru unik dan lucu,” sahut Anara dengan senyum cerah. “Mmm, baiklah, kamu bisa turun untuk sarapan lebih dulu.” Rey mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh Anara untuk turun sementara dia menyusul Zavi. “Oke!”Rey lihat, gadis itu terlihat sangat percaya diri dan mempunyai aura positif yang kuat. Selain ramah, dia juga selalu ceria, padahal Rey yakin ada banyak beban hidupnya sampai harus bekerja keras bahkan rela menjual ginjal. *** “Ginjal kami cocok?” Anara berbinar senang saat Rey memberitahu tentang hasil pemeriksaan kemarin. Anara hampir saja meloncat kegirangan. Akhirnya dia punya kesempatan besar bisa melunasi hutang! Euforia membuat ekspresi Anara tidak terkendali. Anara jadi canggung ketika ditatap oleh dua lelaki berbeda usia itu dengan tatapan yang aneh. Buru-buru dia berdeham dan memperbaiki posisi duduknya. “Mmm, syukurlah. Karena cocok, berarti operasi bisa cepat dilakukan kan? Zavi harus cepat sehat,” ucap Anara perhatian. Zavi justru m

  • Siasat Menggoda Duda Kaya   Bab 4

    Setelah meminum obat dari Rey, Anara tertidur selama beberapa jam. Dia terbangun dengan kaget dan linglung. Dipikirnya dia ketiduran di club, namun saat otaknya mengingat kembali satu per satu yang dia lewati semalam, Anara pun berdecak frustasi. “Astaga, apa yang sudah kulakuan–” Anara baru teringat sudah bertindak tak sopan pada Rey. Dia begitu berani ingin mencium, bahkan memeluk dan meraba-raba dada lelaki itu. Sungguh biadab, untung Rey tahu Anara sedang dalam kondisi mabuk. Kalau tidak, bisa kena pasal pelecehan! Anara memindai sekeliling, dia berada di kamar mewah yang asing, namun dia bisa menembak jika itu bukan kamar hotel tapi mungkin rumah Rey. Anara melihat jam yang menunjuk pukul setengah empat, di luar masih gelap. Namun Anara tidak bisa kembali tidur. Kepalanya masih sedikit pusing tapi tidak terlalu parah, dia memilih ke kamar mandi dan membersihkan diri agar lebih segar. ***Saat keluar kamar, Anara mendengar suara anak menangis dan meracau lalu suara Rey yang

  • Siasat Menggoda Duda Kaya   Bab 3

    Rey tidak menjawab pertanyaan Anara, dia fokus pada lelaki yang tadi memukulkan botol minuman. Rey menatap lelaki itu dengan tajam, namun ditanggapi dengan tak acuh dan omelan tak jelas. “Pak Rey, dia mabuk karena tadi minum banyak. Sepertinya dia tidak sadar siapa Anda. Tapi tolong… maafkan teman saya ini,” kata pria lain yang kini gugup dan tidak menyangka dengan kehadiran Rey. “Saya yang akan memberinya pelajaran–” Rey tidak memperpanjang masalah, kedatangannya ke sana juga bukan untuk berdebat. Jadi dia memilih untuk mengabaikan hal tadi, masih ada hal yang lebih penting harus dia bahas. “Saya ada perlu dengannya–” Rey beralih menatap Anara yang memijit pelipisnya. “Pak Rey, Anda mencariku?”Rey mengangguk lalu memintanya ikut keluar, tidak ada yang berani mencegah. Semua orang tahu jelas siapa Rey, mereka tidak mungkin berani menyinggung. Anara mengikuti langkah Rey dengan berjalan memegangi dinding. Perlahan, dia merasa banyak yang tidak beres. Selain kepalanya pusing, kak

  • Siasat Menggoda Duda Kaya   Bab 2

    “Kamu salah paham, dia memang bekerja di club. Tapi aku membawanya kemari karena dia berniat menolongmu. Bukankah kamu belum dapat pendonor ginjal untuk Zavi?”Rey yang tadinya tak acuh kini berjalan mendekat. Dia menyambut Erik dan Anara untuk duduk lalu bicara serius. “Kamu sungguh ingin melakukannya?” Anara mengangguk yakin. “Benar, Pak Rey. Saya sehat, saya yakin bisa jadi pendonor untuk putra Anda. Semoga saja ginjal kami cocok,” ucap Anara dengan sesopan mungkin. Rey tampak berpikir, dia menimang sambil memperhatikan penampilan Anara. “Baiklah, besok kita cek dulu ke rumah sakit. Kalau cocok, saya ingin operasinya segera dilakukan–”Rey sedikit ragu karena penampilan Anara yang sangat mencolok, namun masalah kesehatan putranya bukan sesuatu yang bisa diulur. Jadi dia memilih untuk mencoba menerima niat baik dari wanita itu.“Tidak masalah, saya siap–” Anara bicara dengan senyum meringis. “Asal, soal uang itu… ““Saya pasti akan memberinya–” sahut Rey tanpa perlu Anara menega

  • Siasat Menggoda Duda Kaya   Bab 1 Menjadi Wanita Penghibur

    “Denda dua ratus juta? Bapak serius?”Anara menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya sampai gemetar. Dia dituduh merusak barang di galeri tempatnya bekerja--sebuah patung antik peninggalan jaman kuno yang harganya fantastis. Bosnya menagih uang denda untuk sesuatu yang bahkan tidak Anara lakukan. Jumlah sebanyak itu, bahkan jika Anara bekerja tanpa henti selama setahun ini pun tidak akan mungkin mendapatkan sebanyak itu. “Kamu sudah bekerja cukup lama di tempat galeri barang antik ini. Kamu tahu jelas harga patung itu tidak murah–” Patung itu kecil, hanya seukuran dua puluh senti. Namun terbuat dari porselen putih gading berusia ratusan tahun. Berbentuk patung wanita oriental dengan kimono sederhana yang dihiasi goresan warna biru dan merah yang mulai pudar. Kilau glasirnya tampak lembut di bawah lampu galeri, dan stempel dinasti di bagian bawah menjadi bukti keaslian yang membuat nilai patung mungil dan rapuh itu mencapai ratusan juta rupiah.“Ta--tapi… Aku bahkan tidak pernah me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status