Share

Bagian 7 Rencana gila.

Esoknya Nadin merasakan nyeri hampir di seluruh tubuhnya, ia bangun dan merasakan kepalanya pening, setelah memeriksa keadaan tubuhnya sendiri, sepertinya ia demam. Ia ingin kembali berbaring di tempat tidurnya tapi dering ponsel membuatnya urung.

"Halo!" ia menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya.

"Saya Selfi, kenapa sudah jam segini tapi anda belum ke kantor?" ucap Selfi di seberang sana.

"Maaf Bu, saya sedang sakit demam" ucap Nadin terdengar lemah.

"Jangan banyak alasan, segera datang ke kantor, sekarang juga" suara di seberang berubah, ia tahu itu Ronald.

"Tapi saya sedang sakit, Pak. Bolehkah saya...." Ucapan Nadin terpotong.

"Saya tidak akan menerima alasan apapun." ucapnya sarkas, bunyi Tut tiga kali mengakhiri obrolannya.

Dengan terpaksa ia pergi ke kantor, sebelum berangkat ia memaksakan diri menelan beberapa suap makanan untuk sarapan lalu dalam perjalanan ia mampir ke apotek untuk membeli beberapa butir obat penurun panas dan pereda nyeri

Tiba di pelataran kantor, ia kembali memandang gedung yang menjulang tinggi di depannya, rasa kagum seperti sebelumnya sudah mati, kini ia merasa akan memasuki neraka.

Ia menyeret kakinya menuju pintu utama, tidak lupa ia menyapa satpam yang menjaga di sana, hari ini ia tidak lagi membutuhkan bantuan sekuriti karena ia sudah memiliki id card-nya sendiri. Ia menuju lift yang terlihat sangat jauh di matanya, padahal hanya berjarak lima meter saja, mungkin efek dari sakitnya.

"Kamu pikir, hukumanmu sudah selesai?" Gertak Ronald dengan angkuhnya, begitu melihat Nadin memasuki ruangannya, tapi saat melihat kondisi Nadin ada sedikit rasa iba yang membuatnya sedikit berkompromi.

"Maaf, Pak. Saya sedang kurang sehat karena itu saya terlambat." Ucapnya lemah. Ronald tidak melanjutkan untuk menghakimi keterlambatannya lagi.

"Aku tidak peduli, tunggu di luar sampai aku memberi perintah" ucapnya sedikit menurunkan suaranua, ia lalu menekuri layar ponselnya. Nadin menurutinya. Untungnya di luar ada sofa empuk milik sultan, ia mengistirahatkan tubuhnya disana.

Beberapa saat kemudian tubuhnya menjadi lebih baik, mungkin efek dari obatnya sudah bekerja. Ia mendapat telpon dari ibunya, ia buru-buru ke toilet agar bisa berbicara dengan nyaman.

"Halo Bu!" Ucapnya setelah menyentuh ikon berwarna hijau dilayar ponselnya.

"Bagaimana kabarmu, Nad?" Ucap Bu Sinta terdengar khawatir.

"Aku baik-baik saja Bu, aku sedang menikmati kemewahan kantor Bramasta" ucapnya tidak ingin membuat ibunya khawatir.

"Kamu di toilet ya, Nad?" selidik Bu Sinta, ia mengamati ruangan di belakang Nadin.

"Iya, Bu. Nadin takut mengganggu yang lain, kalau Nadin mengangkat telpon di meja kerja" ucap Nadin berbohong.

"Kenapa kamu kelihatan pucat? kamu sedang sakit, Nad?" Bu Sinta menyadari keadaan Nadin, dengan cepat Nadin menggeleng, ia sengaja tidak memakai apa-apa di bibirnya agar Ronald memberinya keringanan, dan itu berhasil.

"Tidak, Bu. Nadin baik-baik saja, mungkin karena Nadin tidak memakai make up, makanya kelihatan pucat" Nadin membuat alasan seadanya, yang penting ibunya percaya.

"Oh begitu? Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa, tapi kau harus tetap berhati-hati ya, Nad. Jangan sampai ketahuan keluarga ayahmu" ucap Bu Sinta.

"Iya, Bu. Nadin akan berhati-hati, Nadin bisa jamin tidak akan bertemu dengan keluarga ayah.." ucap Nadin, ingin meyakinkan ibunya, ia tidak akan bercerita tentang Ronald, lagi pula ibunya tidak mengenal Ronald.

"Ya sudah, nanti ibu telpon lagi" ucap Bu Sinta ingin mengakhiri obrolannya.

"Iya Bu" Balas Nadin.

"Oke Sayang!" Bu Sinta melambai sebelum wajahnya menghilang dari layar ponsel Nadin.

Selama Nadin melakukan panggilan dengan ibunya melalui video call, ia tidak tahu ada yang memperhatikan dan menguping pembicaraannya.

"Jadi kamu tidak ingin membuat ibumu khawatir? Sayang sekali, rasanya tidak seru kalau pemeran utama tidak merasakan hukuman juga" Gumam Ronald menyeringai tajam, ia tidak puas hanya menyiksa Nadin, ibunya juga harus merasakan penderitaan, karena kesalahan sebenarnya disebabkan oleh Bu Sinta, juga Pak Dion, Nadin hanyalah korban.

"Dari mana saja kamu? Bukannya sudah kubilang tunggu sampai aku memberi perintah?" tanya Ronald, pada kenyataannya itu hanya basa basi, ia sedang berdiri sambil melipat tangan di depan pintu ruangannya. Sebenarnya itu pemandangan yang sangat bagus, tapi mengingat perlakuannya yang tidak manusianya membuat Nadin lebih baik mengutuk orang itu dari pada memujinya.

"Saya habis dari toilet, Pak" ucap Nadin.

"Ikut saya" titah Ronald, sambil melangkah masuk ke ruangannya, Nadin mengekor di belakangnya, ia memandang punggung Ronald yang kokoh dengan tatapan bengis.

Ronald melangkah melewati mejanya, ia berhenti tepat di depan beberapa brankas besar yang berisi dokumen lama.

"Di dalam brankas ini adalah dokumen-dokumen lama, isinya cukup brantakan, aku mau kamu menyortirnya dan susun kembali sesuai tahun bulan dan tanggalnya, paham? Semuanya merupakan dokumen penting, jadi cukup lihat sampulnya saja di situ sudah tertera tanggal hingga tahunnya." Jelas Ronald, Nadin melongo dibuatnya, ia menghitung dalam hati, di depannya ada 12 brangkas. Ronald menyerahkan semua kunci brankas padanya, Nadin menerima itu dan mencoba membuka satu brankas, beberapa isinya berjatuhan ke lantai.

"Itu yang aku maksud, rapikan semuanya. Aku memberimu pekerjaan yang cukup ringan hari ini, karena aku tau kamu sedang sakit" ucapnya tampak menjengkelkan di mata Nadin.

"Ringan katamu? Semoga kau mati disambar petir" ucap Nadin, tentu saja dalam hati.

"Ada apa, cepat kerjakan" seru Ronald, kemudian melangkah ke mejanya, ia duduk lalu bersantai dengan ponselnya. Nadin ingin sekali benar-benar berteriak menyumpahinya.

Sebenarnya Ronald tidak benar-benar memainkan ponselnya, ia sedang memikirkan cara untuk menghukum orang tua Nadin.

Waktu terus berputar, Nadin masih setia dengan tugasnya, sementara Ronald terlihat masih santai, beberapa kali Selfi masuk mengantar dokumen untuk ditanda tangani olehnya, atau Selfi datang karena ada laporan penting yang harus ia sampaikan, begitu terus hingga waktu berlalu begitu saja, sampai tiba waktunya makan siang, Selfi datang lagi, kali ini ia menghampiri Nadin yang sedang sibuk di antara tumpukan kertas yang sebagian Sudah tertata rapi, ia membawa jatah makan siang untuk Nadin.

"Makanlah, aku sengaja meminta Selfi mengantarkan makan siangmu karena kamu sedang sakit. Oh iya, jangan lupa selesaikan tugasmu setelah makan" ucap Ronald tersenyum mengejek. Nadin ingin sekali menimpuknya dengan gulungan kertas.

"Baik, Pak. Terima kasih" ucap Nadin sambil tersenyum palsu. Ronald melihat itu, senyuman Nadin membuatnya kembali memikirkan Tari, ia melihat Tari di wajah Nadin, tapi itu wajar karena mereka adalah saudara,

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya.

"Nadin, menikahlah denganku" Ucap Ronald tiab-tiba, ia terdengar serius, Nadin terlongo bingung dibuatnya. Ronald akan menikahi Nadin untuk menggantikan Tari, ia akan menjadikan Nadin sebagai umpan untuk membalas orang tuanya.

"Anda baik-baik saja, Pak?" Tanya Nadin memastikan keadaan Ronald. Bahkan Selfi yang masih berada di ruangan itu terheran-heran dibuatnya.

"Aku serius, menikahlah denganku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status