“Siapa dia?”
Mata Leandra Nafisah membola saat melihat wanita tak dikenal yang tiba-tiba datang bersama sang Suami ke rumah. Hampir dua bulan suaminya pergi keluar kota untuk urusan kerja. Tentu saja Lea terkejut saat melihatnya datang bersama seorang wanita. Apalagi penampilan wanita itu terlihat seksi dan berani mengenakan baju yang sedikit terbuka.
“Sayang … Lea … dengerin Mas dulu. Aku akan menjelaskan semuanya.”
Kenan Husein, pria yang sudah empat tahun ini dinikahinya tampak menatap Lea penuh harap. Pria berwajah menarik itu terlihat sedang memohon agar Lea bersabar.
Lea menarik napas panjang, menatap tajam ke arah Kenan, kemudian menganggukkan kepala. Ia sudah lama menunggu kedatangan suaminya dan sangat shock saat melihatnya tiba-tiba datang bersama seorang wanita.
Namun, Lea juga harus mendengar penjelasan Kenan. Ia sangat mengenal suaminya dan tahu jika suaminya tidak akan berbuat aneh-aneh di luar sana.
Kenan menarik tangan Lea dan mengajaknya duduk di sofa. Wanita tak dikenal itu juga duduk di sana sambil sesekali melirik mereka berdua.
“Dia Lisa. Dia adik sahabatku. Dia sedang hamil dan suaminya seorang tentara yang sedang tugas negara. Untuk sementara dia akan tinggal di sini, Lea.”
Lea tampak terkejut, menatap Lisa sekilas. Wanita itu masih sangat muda, Lea menafsir usianya mungkin kisaran awal 20-an. Tidak diduga ternyata dia sudah menikah.
“Lalu ke mana keluarganya? Apa tidak ada yang bersedia menampungnya?”
Kenan menarik napas panjang sambil mengelus lembut tangan Lea.
“Sayang … Lisa itu yatim piatu. Kakaknya sedang sakit. Untuk biaya berobat saja dia kesulitan, bagaimana hendak menampung adiknya juga. Jadi apa salahnya kita menampung dia di sini?”
Lea terdiam, menelan saliva sambil kembali melirik Lisa. Lisa tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala. Namun, entah mengapa Lea merasa ada yang disembunyikan wanita muda ini.
“Apa benar seperti itu?” tanya Lea kemudian.
Lisa mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Mbak. Maaf, kalau merepotkan. Hanya Kak Kenan yang saya kenal. Jadi tidak ada tempat lain lagi untuk berlindung.”
Lea menghela napas sambil kembali melihat Kenan. Kenan tersenyum, mengelus tangan Lea sambil menatapnya dengan sendu.
“Memangnya berapa usia kandunganmu?” tanya Lea.
“Baru tiga minggu, Mbak.”
Lea menarik napas sambil melirik perut Lisa. Memang perut wanita itu tidak terlihat begitu besar. Namun, segitu saja sudah membuat Lea meradang.
Sudah empat tahun ia menikah dengan Kenan dan hingga kini belum ada tanda-tanda mengenai kehamilannya. Kadang Lea merasa sedih, apalagi jika ia mendengar ucapan mertuanya.
Kenan anak tunggal dan kedua orang tua Kenan selalu menuntut cucu darinya. Kalau sudah begitu, Kenan akan menghibur dan membesarkan hatinya. Kenan sangat perhatian pada Lea dan begitu besar mencintainya. Bahkan dulu Kenan yang jatuh cinta padanya lebih dulu dan berusaha mati-matian untuk mendapatkan Lea.
“Ya sudah … kalau begitu biar aku minta tolong Bibi siapkan kamar. Kamu pasti lelah, kan?”
Lisa mengangguk sambil tersenyum. Lea segera memanggil salah satu asisten rumah tangga dan tak lama sudah mengantar Lisa ke kamarnya. Tinggal Kenan dan Lea di ruang tamu.
Kenan tersenyum sambil menatap dengan penuh hasrat ke istrinya. Lea hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Apa kamu tidak merindukan aku, Sayang?” tanya Kenan.
Lea tersenyum sambil menatap wajah rupawan Kenan. Meski Kenan keluar kota, dia selalu pulang seminggu sekali. Lalu dia juga tak lupa selalu menelepon Lea setiap malam. Hal seperti itu selalu dilakukannya sepanjang dua bulan ini dan Lea yakin tidak ada yang berubah dengan Kenan.
“Apa kamu tidak akan keluar kota lagi?” Bukan jawaban yang dilontarkan Lea malah sebuah pertanyaan.
Kenan tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Tentu tidak, Sayang. Aku sudah menyelesaikan urusanku di kantor cabang. Semua sudah beres di sana. Selanjutnya aku bisa pantau dari sini saja.”
Lea tersenyum sambil menganggukkan kepala. Keluarga Kenan merupakan salah satu pemilik perusahaan terbesar di kota ini. Mereka memiliki bisnis di berbagai bidang. Kemarin adalah pembukaan kantor cabang baru dan Kenan perlu merapikannya agar bisa berjalan dengan baik serta bisa dipantau dari kantor pusat.
“Sudah omong-omongnya, kita lanjut di dalam, ya?”
Tanpa menunggu jawaban Lea, Kenan langsung menggendong tubuh Lea membawanya masuk ke dalam kamar. Terang saja Lea tersenyum kesenangan dibuatnya. Sudah lama dia merindukan belaian suaminya dan rasanya malam ini dia akan melalui malam panas dengan Kenan.
Entah berapa kali mereka melakukannya, yang pasti Lea sangat kelelahan dan sudah terlelap. Ia terbangun saat panggilan alam mengganggunya. Lea mengerjapkan mata sambil meraih jubah tidurnya. Ia membungkus asal tubuh polosnya dan berlarian ke kamar mandi.
Cukup lama Lea menghabiskan waktu di kamar mandi. Usai bercinta tadi, Lea langsung terpulas dan lupa belum membersihkan diri. Jadi sekalian saja ia membersihkan diri kali ini. Namun, saat keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke kasur Lea baru sadar jika tidak ada Kenan di sana.
“Mas Kenan ke mana? Dia gak ada di kamar mandi. Terus ke mana?”
Lea merapikan jubah tidurnya, membuka pintu kamar dan berjalan mengendap-endap keluar kamar. Seluruh ruangan di rumah sudah temaram. Salah satu kebiasaannya memang mematikan semua lampu di rumah jika sudah terlelap.
Lea berjalan sambil berpegangan ke dinding seraya memicingkan mata. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari suaminya. Kemudian matanya tiba-tiba melihat sekilas bayangan melintas keluar dari kamar tamu, tempat Lisa beristirahat.
“Siapa itu? Apa Lisa yang keluar?” batin Lea.
Ia mempercepat langkahnya hendak mengejar sosok bayangan tadi. Ia takut kalau itu Lisa yang keluar kamar. Bisa jadi Lisa haus dan lupa membawa minum. Sedangkan tadi, ia lupa menunjukkan dapur.
Lea berdecak sambil menghela napas saat melihat kamar Lisa tertutup rapat dan bayangan yang dilihatnya tadi sudah menghilang.
“Kayaknya aku salah lihat, deh.”
Lea menghela napas dan bersiap membalikkan badan kembali ke kamar. Namun, dia langsung dikejutkan oleh sebuah tepukan yang singgah di bahunya. Lea hampir menjerit kalau tidak melihat wajah Kenan tadi.
“Mas!! Kamu ngagetin aku aja!!” semprot Lea.
Kenan hanya tersenyum sambil mengerjapkan matanya.
“Kamu dari mana? Aku mencarimu tadi.”
“Aku dari dapur, bikin mie instan. Kamu juga aku bikini, sudah aku bawa ke kamar.”
Lea tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia hampir lupa dengan kebiasaan Kenan yang suka makan mie instan usai pergulatan panas mereka.
Tak lama, mereka sudah kembali ke kamar menghadap mie instan yang asapnya masih mengepul.
“Hmm … enak banget. Udah lama gak makan mie instan bikinanmu, Mas.”
Lea tersenyum kesenangan sambil terus menikmati mie instannya. Kenan yang duduk di sampingnya ikut senang sambil sesekali menganggukkan kepala. Kemudian tiba-tiba perhatian Lea teralihkan ke leher Kenan. Ada lingkaran merah tertera jelas di leher putih mulusnya.
Lea terdiam sejenak, menghentikan makannya dan langsung mengulurkan tangan menyentuh leher suaminya.
“Lehermu kenapa, Mas?”
Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang
“Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena
“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke
“Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.
“Terima kasih, Tuan,” cicit Handoko.Pria berkacamata yang yang tak lain Arifin itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak lama ia sudah memberi kode ke anak buahnya agar membawa Handoko pergi dari sana.Pukul delapan pagi saat Ghalib melihat ada panggilan di ponselnya. Kali ini kembali Arifin yang melakukan panggilan.“Ada apa?”“Tuan, saya sudah menemukan Tuan Handoko.”Ghalib tersenyum lebar saat mendengar jawaban Arifin.“Di mana dia?”“Dia di tempat yang aman. Apa Anda ingin bertemu langsung dengannya?”Ghalib terdiam sejenak sambil melihat Lea yang masih terbaring di brankarnya. Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir Ghalib.“Beri tahu lokasimu. Aku ke sana sebentar lagi.”Arifin mengangguk, mengakhiri panggilan kemudian tak lama sudah mengirim pesan ke Ghalib. Ghalib membaca sekilas dengan sebuah senyuman di wa
“Baik, Tuan.”Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponsel sambil melirik sekilas Lea yang sedang terlelap.“Gak akan kubiarkan kamu melukainya, Lisa. Gak akan kubiarkan,” geram Ghalib tertahan.Sementara itu Lisa tampak berjalan mondar mandir di apartemennya. Sesekali ia remas jemarinya sambil mengerat bibir. Tak jarang pula, mata Lisa melirik ke arah jam di dinding ruangan, seolah dia sedang menantikan sesuatu di sana.“Sialan!! Kenapa belum ada kabar juga dari dia? Apa wanita berengsek itu masih hidup atau sudah mati?”Sejak tadi siang, Lisa belum mendapat kabar berita dari pamannya. Ia khawatir jika Handoko gagal dengan rencananya. Padahal dia sudah menaruh harapan penuh pada pria paruh baya itu.Lisa terjingkat kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Lisa langsung menjawabnya.“Gimana? Apa dia sudah mati?”“Siapa yang m