เข้าสู่ระบบ“Emang kenapa?” Kenan malah balik bertanya.
Ia menghentikan makannya dan spontan berdiri menuju cermin. Ia langsung tersenyum usai melihat tampilan dirinya di pantulan cermin. Kemudian Kenan berjalan kembali ke Lea dan duduk di sampingnya.
“Kamu hilang ingatan atau bagaimana? Bukankah kamu yang membuat tanda ini?”
Lea terdiam, menatap Kenan dengan bingung. Permainan ranjang mereka memang sangat panas tadi dan entah mengapa Kenan begitu berhasrat padanya. Namun, seingat Lea dia tidak meninggalkan jejak sebesar itu di leher suaminya.
Lea terlalu konservatif untuk urusan ranjang dan tidak mau mengumbar ke publik serta menunjukkan jejaknya ke semua orang. Namun, Lea juga tidak menyangkal jika tadi begitu terlena dengan permainan Kenan. Bisa jadi dia tanpa sadar melakukannya dan meninggalkan jejak di sana.
“Sudah, jangan dipikirkan. Aku tidak akan menutupinya. Biar semua orang tahu semalam kita baru saja bermain panas.”
Lea melotot mendengar ucapan Kenan. Kenan terkekeh sambil mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lea. Kemudian setelahnya kembali berakhir dengan permainan mereka di ranjang.
Pukul delapan pagi saat alarm ponsel Kenan berdering nyaring. Lea sudah terbangun sejak tadi, tapi suaminya masih saja meringkuk di balik selimut. Sepertinya dia sangat kelelahan usai permainan mereka semalam.
“Mas, kamu gak ngantor?” tanya Lea.
Kenan memicingkan mata kemudian membuka perlahan dan tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Memangnya jam berapa sekarang?”
“Jam delapan.”
Sontak Kenan terjingkat kaget dan langsung tampak tergesa masuk ke kamar mandi.
“Kok kamu gak bangunin dari tadi, Sayang. Aku ada meeting jam sembilan.”
Lea hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Kenan. Sudah lama pemandangan ini tidak ia lihat dan dia senang pagi ini bisa menikmatinya lagi. Selang beberapa saat Kenan sudah tampak siap, tapi sayangnya dia tidak sempat sarapan.
Ia tampak tergesa keluar rumah sambil menyambar setangkup roti dan memakannya seraya mengemudi. Lea hanya melihatnya sambil menggelengkan kepala.
“Apa Kak Kenan sudah berangkat, Mbak?” tanya Lisa.
Lea menoleh dan melihat gadis itu sudah berada di ruang makan, padahal tadinya Lea akan membangunkannya.
“Sudah, barusan. Ayo, kita sarapan dulu!!”
Lisa tersenyum kemudian duduk berhadapan dengan Lea dan tampak menikmati makanannya.
“Kamu suka makanannya, Lisa?” tanya Lea berbasa basi.
Lisa mengangguk sambil tersenyum. “Iya, suka, Mbak. Terima kasih. Hanya saja ---”
Lisa menggantung kalimatnya dan Lea tampak sedang melirik ke arahnya. Gadis itu terlihat ragu untuk berkata.
“Ada apa? Katakan saja!!”
Lisa tersenyum sambil menundukkan kepala.
“Semalam aku kelaparan, Mbak. Apa tidak masalah jika aku membuat makanan di dapur?”
Lea tertawa dan langsung menganggukkan kepala.
“Tentu saja tidak masalah, Lisa. Kamu juga bisa meminta tolong pelayan di sini. Jangan sungkan, ya!!”
Lisa tersenyum meringis sambil menganggukkan kepalanya. “Iya, Mbak. Aku tidak akan sungkan.”
“Oh ya, aku akan keluar sebentar untuk melihat toko. Kamu mau ikut atau di rumah saja?”
Lea memang mempunyai toko bunga di pusat kota. Sejak dulu, Lea suka berkebun dan bahkan memiliki kebun bunga di daerah puncak. Gara-gara itu juga, dia memutuskan membuka toko bunga. Tentu saja Kenan mendukung hobby Lea dan sama sekali tidak keberatan.
“Eng … aku di rumah saja, Mbak. Awal kehamilan gini, aku suka pusing dan mual.”
Lea terdiam sejenak sambil menatap penuh iri ke Lisa. Sepertinya Lisa melihat reaksi Lea.
“Maaf, Mbak. Apa ucapanku salah, ya?”
Lea menggeleng dengan cepat. “Enggak. Sama sekali gak salah, kok.”
Lisa terdiam sesaat begitu juga Lea. Suasana terlihat hening untuk beberapa saat hingga tiba-tiba Lisa bersuara.
“Aku doakan supaya Mbak segera diberi momongan, ya?”
Lea tersenyum lega sambil menatap Lisa dengan sendu. Ia tidak menduga gadis muda ini sangat perhatian padanya. Bisa jadi Lea akan menjadikan adik saja nantinya. Bukankah Lea juga anak tunggal dan yatim piatu, tidak ada salahnya jika dia mendapat saudara secara tak terduga.
Pukul satu siang, Lea masih sibuk di toko bunganya. Hari ini banyak sekali customer yang datang sehingga membuat dia sibuk dan sedikit mengabaikan beberapa panggilan. Bahkan ia tidak menyadari jika ada panggilan dari Kenan.
Baru saat Kenan datang ke toko bunganya, Lea terkejut.
“Mas, kok kamu gak bilang kalau mau ke sini?”
Kenan tersenyum sambil menjentik hidung Lea dengan gemas.
“Sayang … aku sejak dari tadi meneleponmu dan ingin mengajakmu makan siang.”
Lea tersenyum senang sambil menatap penuh cinta ke arah Kenan. Dari dulu perhatian Kenan padanya memang tak pernah berubah. Pria itu begitu mencintainya bahkan rela melakukan apa saja demi membuat Lea bahagia.
Dulu saat pacaran, Kenan pernah mengantri sejak subuh hanya untuk mendapatkan kue kesukaan Lea. Bahkan tidak hanya itu saja. Ia rela membatalkan meeting begitu tahu Lea sakit. Lalu sepanjang hari, Kenan akan menemaninya sambil menggenggam tangannya seraya menangis tersedu.
Belum lagi saat Lea harus menjalani operasi usus buntu. Kenan seperti orang mati. Wajahnya pucat dan tanpa ekspresi terus menatap Lea sepanjang hari. Ia khawatir Lea kesakitan. Lea jadi tertawa sendiri jika mengingat tingkah bucin suaminya.
“Gimana? Bisa kita keluar untuk makan siang?”
Lea mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah berpamitan ke karyawannya kemudian berjalan melenggang sambil bergelayut manja di lengan Kenan.
Mereka langsung masuk ke dalam mobil dan menuju kafe terdekat dengan toko bunga Lea. Tak lama Kenan dan Lea sudah duduk di salah satu sudut kafe sambil memesan aneka macam menu.
“Mas, banyak banget pesananmu?” protes Lea.
“Ini kan makanan kesukaanmu semua, Sayang.”
Lea cemberut sambil melirik Kenan yang duduk di depannya. Menu yang dipesan memang kesukaan Lea, tapi tidak mungkin juga Lea menghabiskan semuanya.
“Kamu pengen aku gendut?” Lea bertanya sambil menggembungkan pipinya.
Kenan tertawa seraya menjentik pipi Lea. “Biar gendut tetap cantik, kok. Sudah, makanlah!!”
Lea mengangguk, kemudian mulai menikmati makanannya. Namun, baru beberapa suap ponsel Kenan berdering. Ia terdiam sejenak saat melihat layar di ponselnya. Wajahnya menunjukkan kecemasan.
“Aku terima telepon dulu, ya!!”
Tanpa menunggu jawaban Lea, Kenan sudah berlalu pergi. Lea hanya diam sambil menikmati makanannya. Cukup lama ia menunggu Kenan kembali, pada akhirnya dia malah hanya mendapat pesan dari Kenan, kalau Kenan harus kembali ke kantor.
Lea memakluminya dan tidak masalah dengan alasan Kenan. Mungkin ada sesuatu hal penting yang harus ia kerjakan. Lea kembali menikmati makanannya, tapi segera terinterupsi lagi oleh sebuah pesan masuk.
Lea mengerjapkan mata saat melihat nama pengirim pesan adalah salah satu sahabatnya.
“Ghea, tumben banget dia kirim pesan. Padahal tadi pagi juga sudah ketemu,” gumam Lea.
Namun, meski demikian Lea gegas membuka pesan dan membacanya. Mata Lea terdiam menatap foto yang baru saja dikirim Ghea. Di sana ada foto Kenan dan Lisa tampak sedang duduk berdua di sebuah kafe sambil menikmati makan siang.
Tepat di bawah foto ada sebuah caption dari Ghea.
“Aku melihat suamimu bersama wanita lain, Lea. Siapa dia? Apa selingkuhan suamimu?”
“Berarti Nenek juga yang menyuruh Anthony menculik Arifin tempo hari?” kini Lea yang bertanya. Nyonya Danira tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sementara Anthony dengan sigap menjawab. “Saya terpaksa melakukannya agar Nona Deasy tidak curiga. Toh, pada akhirnya Tommy berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Harusnya Tommy pasti curiga, karena saya tidak menempatkan banyak penjaga di sana.” Tommy terdiam dan ia jadi teringat saat menemukan lokasi penyekapan Arifin tempo hari. Ia menemukan di tempat yang sama saat Kenan menyekap keluarga Ghea. Selain itu, di sana hanya ditempatkan seorang penjaga saja yang mudah dilumpuhkan Tommy. Tommy tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia baru tahu, kenapa begitu mudah saat menemukan Arifin tempo hari. “Lalu setelah itu Anda menemukan semua bukti itu, Pak?” tanya Lea. Anthony tersenyum sambil mengangguk. “Sebelumnya Nyonya Emilia sepertinya sudah curiga, sehingga beliau mempersempit ruang gerak saya. Bahkan Nyonya Emilia juga mempeker
Tak berapa lama Ghalib sudah kembali ke mobil. Ia melihat Lea sudah berada di dalam sana. Istri cantiknya itu hanya diam sambil menundukkan kepala.Lea baru saja mendapat penjelasan mengenai semua yang dilakukan Nyonya Emilia pada orang tuanya dari Tommy. Ia sangat shock, tapi tidak tahu harus berbuat apa.Ghalib membuka pintu mobil, kemudian langsung duduk di samping Lea. Untuk beberapa saat mereka saling diam. Hingga tiba-tiba Ghalib menarik Lea masuk dalam pelukannya. Lea tidak menolak dan membalas pelukan Ghalib.“Maafkan aku, Babe. Aku benar-benar tidak tahu jika Nenek yang membunuh orang tuamu. Aku tidak tahu.”Ghalib berkata sambil berurai air mata. Hal yang sama juga terjadi pada Lea. Ia menangis sesenggukan dalam pelukan Ghalib.“Entah aku harus melakukan apa untuk menebus semua kesalahan Nenek pada keluargamu. Aku benar-benar tidak tahu.”Lea hanya terdiam menganggukkan kepala sambil mengelus punggung Ghalib
“APA!!!??”Serta merta Lea, Ghalib dan Tuan Fandi berseru secara berbarengan. Ketiga orang itu tampak terkejut mendengar jawaban Nyonya Danira.“Untuk apa, Nek? Untuk apa Nenek melaporkan Nyonya Emilia?” tanya Lea.Ia yang mewakili tanya di benak Ghalib dan Tuan Fandi.Nyonya Danira tidak menjawab hanya diam sambil menatap kosong ke depan. Kemudian setelah terdiam beberapa saat, ia bersuara tanpa melihat ke arah mereka.“Kalau kalian ingin tahu jawabannya, tanya saja langsung ke dia!!!”Usai berkata seperti itu, Nyonya Danira langsung berlalu pergi diikuti Tommy dan Anthony. Bahkan ketiga orang itu tidak menghiraukan panggilan Lea.Lea tampak panik. Ia melihat Ghalib dengan penuh rasa bersalah.“Sayang … aku yakin ini salah paham. Nanti biar aku tanya lebih jelas ke Nenek.”Ghalib menghela napas sambil menggelengkan kepala.“Gak usah, Babe. Aku yakin nen
“Kamu tahu??? Kenapa tidak mengatakannya padaku?”Nyonya Emilia sangat kesal. Selama ini ia terus mencari tahu keberadaan Tania Wijaya, tapi Anthony yang tahu malah diam saja dan tidak memberinya informasi sedikit pun.“Bukankah semua sudah berlalu, Nyonya. Anda dan Nyonya Danira memilih kehidupan masing-masing. Kalian sudah tidak saling bersinggungan dan tidak punya kepentingan.”“Itu sebabnya, saya tidak mengatakannya pada Anda.”Nyonya Emilia terdiam. Ia tertegun mendengar ucapan Anthony. Semua yang diucapkan asistennya itu benar. Selama ini hanya dia yang bingung sendiri dengan keberadaan Tania Wijaya.Ia takut suatu saat wanita itu akan kembali dan membuat Tuan Kevin berpaling darinya. Ia tidak mau kalah oleh wanita itu. Padahal jelas-jelas Nyonya Danira sama sekali sudah tidak peduli dengan kehidupan Nyonya Emilia saat itu.“Lalu … apa menurutmu ia tahu apa yang telah aku lakukan pada pu
“Nyonya Danira!!” seru Tommy.Ia sangat terkejut saat melihat wanita anggun itu sudah berdiri tegak di depannya. Nyonya Danira tersenyum sambil menganggukkan kepala seolah memberi isyarat agar Tommy mengizinkan Anthony menemuinya.Akhirnya Tommy mengalah dan menyilakan Anthony menemui Nyonya Danira. Mereka sudah berada di ruang kerja Nyonya Danira dengan Tommy berada mengawasinya.Anthony berdecak sambil melirik pria yang selalu berpenampilan rapi itu dengan kesal. Nyonya Danira tersenyum kemudian melihat Tommy.“Tinggalkan kami berdua, Tom!!”Tommy terkejut. “Tapi, Nyonya ---”“Aku akan baik-baik saja. Percayalah!!” Nyonya Danira lebih dulu bersuara sebelum Tommy meneruskan kalimatnya.Tommy menghela napas panjang kemudian sudah membalikkan badan dan berlalu pergi dari sana.“Katakan!!!”“Aku sudah berhasil menemukan apa yang kamu minta.”Ant
“Bagaimana keponakan saya, Dok?” tanya Tuan Kris.Pada akhirnya Tuan Kris yang menerima panggilan saat Kenan mengalami kecelakaan. Hampir pagi saat pria paruh baya itu datang ke rumah sakit.Wajahnya pucat dengan ekspresi tegang dan khawatir terlihat di raut paruh bayanya. Meski ia sempat tidak mau tahu segala urusan Kenan, tapi tetap saja ia gelisah dengan keadaannya.“Dokter masih mengusahakan yang terbaik untuk keponakan Anda, Tuan. Tunggu saja.”Tuan Kris hanya diam, menganggukkan kepala. Ia tidak tahu kenapa Kenan malah mengalami hal seperti ini. Harusnya pria itu bisa menjalani kehidupan keduanya ini dengan lebih baik. Namun, dia sendiri malah merusak kesempatan itu.Selang beberapa jam kemudian, Tuan Kris sudah berada di sebuah ruangan. Ada seorang pria mengenakan jas putih sedang duduk di depannya.“Bagaimana Kenan, Dok? Dia bisa tertolong, kan?”Dokter paruh baya itu mengangguk sambil terse







