Lea terdiam, tidak membalas pesan Ghea, malah langsung menyimpan ponselnya. Dadanya tanpa diminta bergemuruh dengan hebat dan entah mengapa Lea tidak rela jika ada wanita lain yang mendapat perhatian dari Kenan.
Awalnya dia tidak jatuh cinta ke Kenan, tapi karena kegigihan pria itu berhasil meluluhkannya dan membuatnya jatuh cinta juga. Wajar jika Lea merasa cemburu seperti saat ini. Namun, Lea percaya seratus persen ke Kenan. Bisa jadi tadi Kenan bertemu dengan Lisa secara tidak sengaja.
Masih asyik dengan benaknya, tiba-tiba dering ponsel Lea menginterupsi lamunannya. Lea melirik ada nama Kenan di sana. Lea menarik napas panjang sebelum menjawab panggilannya.
“Sayang … apa kamu sudah selesai makannya? Aku mau ke sana lagi sekarang.”
Lea menelan ludah sambil menatap makanan yang masih utuh di atas meja.
“Iya, aku masih di sini.”
Kenan tersenyum lebar sambil merapikan rambutnya. “Baik, tunggu aku, ya!!”
Tanpa menunggu jawaban Lea, Kenan sudah mengakhiri panggilannya. Selang beberapa menit kemudian, Kenan datang dengan wajah berseri-seri.
“Maaf ya, Sayang. Tadi asistenku butuh tanda tanganku,” ujarnya.
Lea hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia tidak bertanya mengenai foto yang baru saja dikirim Ghea tadi. Lea ingin Kenan yang mengatakannya sendiri. Selama ini Kenan selalu setia dan tidak pernah mengkhianatinya. Lea yakin Kenan masih sama seperti yang dulu.
Lea mengabaikan pesan Ghea dan kembali menikmati hari-harinya. Apalagi sejak Kenan kembali, ia semakin perhatian bahkan tak sedetik pun melepaskan Lea dari pandangannya. Hingga di suatu malam, Lea terjaga dari tidurnya.
Ia meraba ke kasur sebelah dan terkejut saat tidak melihat Kenan di sana. Lea mengerjapkan mata berulang sambil mengedarkan pandangannya. Ia berpikir Kenan sedang berada di kamar mandi dan terbangun untuk memeriksanya.
Baru saja Lea hendak ke kamar mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan dan Lea melihat Kenan berjalan masuk sambil mengendap-endap. Lea mengernyitkan alis melihat ulahnya. Lampu kamar mereka memang temaram dan Kenan tidak tahu jika Lea sedang memperhatikannya.
“Kamu dari mana, Mas?”
Sontak Kenan terjingkat dan menoleh ke arah suara. Ia melihat Lea sedang berdiri di depan pintu kamar mandi. Kenan terdiam sejenak, meski temaram, Lea bisa melihat jelas jika reaksi Kenan beda dari biasanya.
“Aku habis minum. Haus, Sayang,” jawabnya.
Lea terdiam, tapi matanya kini melirik ke arah nakas dan di sana ada segelas air minum milik Kenan yang masih utuh bahkan masih tertutup rapat. Pria itu memang selalu menyiapkan air minum di samping tempat tidurnya setiap sebelum tidur. Lalu kenapa dia berbohong kali ini?
Sepertinya Kenan melihat saat mata Lea melirik ke arah nakas. Kenan tersenyum, berjalan mendekat ke Lea sambil merengkuh pinggulnya.
“Aku pengen minum air dingin, Sayang. Panas banget udaranya.”
Lea tidak menjawab hanya satu alisnya yang terangkat menatap Kenan penuh selidik. Padahal air conditioner di kamar mereka sudah menyala di suhu terendah, tapi mengapa Kenan merasa panas.
“Udah, Sayang. Bobok, yuk!!”
Kenan mendekatkan wajahnya ke tengkuk Lea sambil mendaratkan beberapa kecupan di sana. Tak ayal Lea bergidik geli karena ulah Kenan.
“Mas … aku lagi halangan. Jangan sekarang.”
Kenan menghela napas kemudian menatap Lea penuh cinta sambil menganggukkan kepala.
“Ya sudah, kita tidur saja.”
Lea mengangguk. Mereka langsung naik ke atas kasur dan siap terpejam. Namun, lagi-lagi pandangan Lea terinterupsi pada tanda merah yang membekas di leher Kenan. Sama dengan tanda merah yang tempo hari Lea lihat.
Sebenarnya itu tanda apa? Apa Kenan alergi? Tapi, kenapa hanya bagian itu saja yang membekas merah yang lainnya tidak?
Keesokan harinya, Lea sama sekali tidak membahas tanda merah di leher Kenan dan melupakan semua yang terjadi tadi malam. Bahkan sikap Kenan semakin mesra ke Lea. Ia juga tak sungkan mengumbar kemesraan saat ada Lisa. Tentu saja Lisa yang melihat, buru-buru menyingkir dari hadapan mereka.
Semua terlihat wajar dan baik-baik saja hingga seminggu kemudian Ghea datang ke toko bunga Lea.
“Lea, kenapa kamu gak membalas pesanku?” semprot Ghea.
Lea hanya tersenyum sambil melirik Ghea. Dia tahu apa tujuan sahabatnya ke sini.
“Mau balas apa? Percaya jika Mas Kenan selingkuh?”
Ghea berdecak sambil menepuk bahu Lea dengan sebal.
“Asal kamu tahu. Aku gak sekali melihat mereka, Lea.”
Lea tersenyum dan mengangguk. “Aku juga setiap hari melihat mereka. Dia itu Lisa, adik sahabatnya Mas Kenan. Dia sudah punya suami dan sengaja berada di sini hingga suaminya pulang berdinas.”
Ghea terdiam, melipat tangan di depan dada sambil menatap Lea dengan penuh selidik.
“Beneran dia punya suami?”
Lea mengangguk. “Iya. Dia juga sedang hamil anak pertama. Ngapain juga aku harus cemburu padanya.”
Ghea mendengkus sambil menggelengkan kepala.
“Entahlah, aku kok curiga ada sesuatu sedang terjadi di antara mereka.” Lea hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Sedangkan Ghea tampak serius melihat ke arahnya.
“Kamu yakin hubunganmu dengan Kenan baik-baik saja, kan?”
Lea tersenyum sambil menepuk bahu Ghea.
“Aku baik-baik saja, Ghea. Bahkan Mas Kenan belakangan ini makin mesra. Masa minta gituan mulu tiap hari.”
Lea sudah mengalihkan topik pembicaraan dan sepertinya itu mengalihkan perhatian Ghea juga. Akhirnya mereka malah sibuk membicarakan hal random dan melupakan dugaan Ghea tadi.
Hari itu, Lea pulang terlambat dia harus membantu karyawannya menyelesaikan pesanan untuk acara pernikahan besok pagi. Hari ini juga pembantu di rumah Lea sedang pulang kampung.
Lea pikir Kenan belum pulang, karena dia bilang akan pulang malam juga. Lea inisiatif membeli makanan untuk Lisa. Ibu hamil pasti gampang lapar dan Lea kasihan jika Lisa mengalaminya.
Sengaja Lea tidak mengendarai mobilnya kali ini. Ia sangat lelah sekaligus mengantuk. Lea takut akan membahayakan dirinya jika dipaksa mengemudi.
Perlahan Lea membuka kunci rumahnya dan dia terkejut saat mendapati rumah tidak terkunci. Lea berjalan masuk perlahan dan langsung meletakkan makanan di dapur. Ia ingin memanggil Lisa dan mengajaknya makan bersama.
Lea menitih tangga menuju lantai dua, tapi matanya tiba-tiba tertuju pada beberapa baju yang berceceran sepanjang lantai dua hingga menuju ke ruang baca. Tidak hanya itu, Lea melihat sofa di ruang baca itu bergoyang hebat dengan bunyi derit yang dashyat.
“Apa yang terjadi?” batin Lea.
Ia ingin mendekat dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di sana. Namun, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara yang akrab di telinganya. Dari jauh dengan penerangan yang temaram.
Lea melihat Lisa sedang tersenyum, menyibakkan rambutnya sambil duduk di atas tubuh Kenan seraya menggoyangkan pinggulnya. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat tanpa sehelai pakaian pun menempel di sana dan tentu saja penampilannya begitu menggoda. Bahkan Lea melihat tangan suaminya meraba dada wanita itu dan bermain dengan sesuatu yang indah di sana.
Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang
“Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena
“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke
“Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.
“Terima kasih, Tuan,” cicit Handoko.Pria berkacamata yang yang tak lain Arifin itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak lama ia sudah memberi kode ke anak buahnya agar membawa Handoko pergi dari sana.Pukul delapan pagi saat Ghalib melihat ada panggilan di ponselnya. Kali ini kembali Arifin yang melakukan panggilan.“Ada apa?”“Tuan, saya sudah menemukan Tuan Handoko.”Ghalib tersenyum lebar saat mendengar jawaban Arifin.“Di mana dia?”“Dia di tempat yang aman. Apa Anda ingin bertemu langsung dengannya?”Ghalib terdiam sejenak sambil melihat Lea yang masih terbaring di brankarnya. Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir Ghalib.“Beri tahu lokasimu. Aku ke sana sebentar lagi.”Arifin mengangguk, mengakhiri panggilan kemudian tak lama sudah mengirim pesan ke Ghalib. Ghalib membaca sekilas dengan sebuah senyuman di wa
“Baik, Tuan.”Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponsel sambil melirik sekilas Lea yang sedang terlelap.“Gak akan kubiarkan kamu melukainya, Lisa. Gak akan kubiarkan,” geram Ghalib tertahan.Sementara itu Lisa tampak berjalan mondar mandir di apartemennya. Sesekali ia remas jemarinya sambil mengerat bibir. Tak jarang pula, mata Lisa melirik ke arah jam di dinding ruangan, seolah dia sedang menantikan sesuatu di sana.“Sialan!! Kenapa belum ada kabar juga dari dia? Apa wanita berengsek itu masih hidup atau sudah mati?”Sejak tadi siang, Lisa belum mendapat kabar berita dari pamannya. Ia khawatir jika Handoko gagal dengan rencananya. Padahal dia sudah menaruh harapan penuh pada pria paruh baya itu.Lisa terjingkat kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Lisa langsung menjawabnya.“Gimana? Apa dia sudah mati?”“Siapa yang m