Beberapa menit tidak aku lihat tanda-tanda kepulangan Soni, aku pun mengambil ponsel, lalu turun ke bawah untuk mengunci pintu ruko seraya menghubungi Soni. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Masih tidak diangkatnya juga. Aku duduk di kursi plastik, lalu mengetik pesan untuk Soni. [Pulang jam berapa? Pintu mau dikunci.]Satu menit, dua menit, sampai lima belas menit, tapi masih tidak ada jawaban. "Apa mungkin Soni pulang ke rumah Mama, ya?" ucapku berujar seorang diri. Kulirik jam yang ada pada layar ponsel. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Soni masih belum pulang. Pesan yang kukirim pun masih tidak dibalasnya. Saat hendak menelpon Mama, terdengar deru motor yang berhenti di depan ruko. "Apa itu motor Soni?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berdiri, kemudian menghampiri pintu, tapi tidak berani membukanya. "Son, Soni! Kamu di luar?" ujarku seraya mengetuk folding gate. "Iya, Mbak. Ini aku!" Aku bisa bernapas
"Bunda, sekarang aku ke sekolah pakai apa? Masa, jalan kaki?" Aku yang tengah menuliskan nota belanjaan pengunjung, seketika menoleh pada Shanum yang berdiri di sampingku dengan seragam lengkapnya. Benar yang dikatakan putriku itu. Kini aku sudah tidak punya kendaraan, otomatis Shanum tidak ada yang antar. Dari kemarin, aku mengandalkan Soni. Tapi, entah kenapa sekarang dia sudah pergi sejak subuh. Memangnya ada, kuliah yang dimulainya pagi-pagi buta? "Bunda ...," panggil Shanum lagi seraya merengek. "Bentar, ya Sayang. Bunda bereskan ini dulu, nanti telepon kakek buat antar Shanum ke sekolah," ujarku menenangkan putriku itu. Shanum mengangguk meskipun wajahnya merengut. Aku pun segera menuliskan belanjaan yang sudah menumpuk di mejaku. Di belakang, sudah ada beberapa ibu-ibu lainnya yang antre mau membayar belanjaannya. Masya Allah .... Pagi-pagi aku sudah dibuat sibuk dengan pekerjaan dan permasalahan. "Shanum! Ayo, berangkat sekolah!"Seperti ada angin segar yang menyejukk
"Mas ....""Lain kali, lebih hati-hati lagi, yah? Mau di bawa ke depan? Biar aku bawakan sekalian. Butuh berapa dus? Dua, tiga, atau lima?" Aku menggelengkan kepala, lalu mengambil kardus dari tangan Mas Sandi, dan membawanya ke depan. Laki-laki itu pun mengikuti dari belakang dan kini dia duduk di kursi plastik yang ada di depan mejaku. "Kamu kerja sendirian, Num? Di mana anak begajulan itu?" Aku melirik Mas Sandi sebentar, lalu kembali fokus pada buku nota tanpa ingin menjawab pertanyaan Mas Sandi. Anak begajulan, dia menyebut adiknya sendiri. Sungguh tidak enak didengar, dan tidak pantas terucap dari bibir seorang kakak. "Num—""Untuk apa datang ke sini, Mas?" tanyaku tanpa ingin tahu kata yang belum selesai dia ucapkan. "Ah ... aku hanya ingin main saja, Num.""Main? Bukannya ini masih jam kantor?"Mas Sandi melihatku, kemudian pandangannya lurus ke depan. "Ngapain kerja keras, tapi tidak ada yang habisin uangku. Kalau dulu, kerja keras pun ada tujuannya. Untuk anak, istri
Dasar modus. Awas saja jika nanti sudah tidak ada Mas Sandi, akan aku balas perbuatan lancang Soni. Aku mengusap punggung tangan dia yang betumpu pada meja, lalu mencubitnya hingga matanya melotot dengan bibir yang tersenyum kaku. "Kenapa harus maen ciam-cium, hem ...?" ujarku pelan dengan mengeratkan gigi."Kelepasan, Mbak."Aku berdehem dan mencoba bersikap setenang mungkin saat Mas Sandi masuk. Di berjalan santai, lalu mengucapkan kata yang membuatku semakin naik darah. "Silahkan nikmati, Soni. Bekasku."Mas Sandi berlalu pergi ke lantai atas, dan aku menjauhkan tubuh dari Soni. Melihat perubahan rona wajahku, Soni menenangkan dengan menepuk-nepuk pundak seraya berbicara seolah tak peduli dengan ucapan yang dilontarkan kakaknya itu. "Biarin bekas, yang penting berkelas. Iya, kan Mbak?" ujarnya santai. Aku tidak menjawab. Memilih melayani pelanggan yang kembali datang. Soni pun demikian. Dia pergi ke belakang untuk mengambil beberapa kardus mie instan. Setelah beberapa saat
"Mbak, aku pergi dulu, ya? Pintu akan aku kunci dari luar, biar Mbak tidak harus membukakan pintu jika aku pulang malam lagi," ujar Soni seraya menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan dia pun pergi hingga nanti pulang tengah malam. Aku tidak bicara. Hanya mengangguk karena percuma bertanya, dia pun tidak akan menjawab. Hal seperti ini terus terulang hingga tak terasa aku dan dia sudah tinggal satu bulan di tempat ini. Namun, aku belum juga tahu pekerjaan Soni. "Om Soni, mau ke mana? Kerja kelompok lagi?" tebak Shanum yang langsung dijawab Soni seraya mengacak rambut putriku. Dia pun turun dari lantai dua dengan membawa tasnya. Ke mana pun, di mana pun, Soni tidak pernah meninggalkan tas itu. Ransel hitam yang selalu menjadi teman dalam keadaan apa pun. Yang aku tahu, ransel itu berisikan laptop dan buku-buku kuliahnya. Namun, sekarang ini aku sedang mencurigai ada barang lain di sana. Dia sangat tidak mengizinkan
Jadi ini jawaban dari pertanyaanku tentang uang recehan itu? "Soni ...." Kembali aku mengucapkan nama itu. Mataku fokus tertuju pada pria yang mengucapkan alhamdulillah setelah diberikan upah. Tidak berhenti di satu mobil, Soni pun menghampiri mobil lainnya dan melakukan hal yang sama. Memang tidak hanya ada Soni di sana. Ada pria lainnya yang menjadi kuli panggul untuk mendapatkan upah bagi keluarganya. "Eh." Aku hampir berteriak ketika melihat Soni tersandung dengan beban berat di pundaknya. Namun, tidak dengan pria itu. Dia malah tertawa lebar bersama pria lain merutuki diri yang hampir jatuh tersungkur ke tanah. Tidak tahan menyaksikan dia yang bekerja keras untuk suatu pembuktian, aku kembali pulang dengan perasaan bersalah. Bersalah karena telah berpikiran buruk pada dia tentang uang yang didapatkannya. Rasa kasihan juga hadir ketika membayangkan beban yang begitu berat, dia pikul sendiri. Sesampainya di rumah, aku duduk merenung di kursi belakang meja. Menyangga dagu d
Soni langsung berdiri, lalu pergi tanpa ada niat untuk berkata jujur padaku. Aku gemas sendiri dibuatnya, ingin menarik bajunya dan memintanya berkata jujur. Namun, itu hanya ada dalam khayalan. Meskipun sudah tahu pekerjaan dia, rasanya belum puas jika tidak mendengarnya langsung. Dan aku belum berhasil membuatnya berkata jujur. Hari semakin siang, aku sudah kembali melakukan aktivitas rutin di setiap harinya. Shanum dan Soni sudah tidak ada di rumah, mereka pergi ke sekolahnya masing-masing. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eh, Ibu? Sini, masuk, Bu." Wanita yang telah melahirkanku itu masuk. Aku menyuruhnya duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. "Gimana dengan tokomu, Num?" tanya Ibu."Alhamdulillah, Bu. Semakin hari semakin rame.""Soni masih kuliah?" tanya Ibu lagi. Ada yang tidak biasa dari Ibu. Tidak kulihat wajah masam dan kata-kata pedas yang kudengar dari bibirnya saat mengatakan nama suamiku. Apa sekarang hati Ibu sudah luluh? "Kuliah, Bu. Setiap pagi dia
"Kenapa tidak kuliah?" "Maaf, Mbak.""Aku nanya, Son. Bukan menyuruhmu minta maaf."Terdengar helaan napas dari pria yang saat ini sedang duduk di depanku. Masih di tempat yang sama, aku meminta penjelasan dari dia yang rela meninggalkan kuliahnya demi untuk bekerja. Shanum aku titipkan terlebih dahulu pada Safira, yang kini tengah bermain di taman, tepat di seberang kedai kopi ini. "Soni."Pria itu melihatku, lalu menunduk kembali. "Kenapa harus bolos?" tanyaku untuk kesekian kalinya. "Maaf, jika aku sudah membuatmu kecewa, Mbak. Tapi, ini pilihanku. Aku ... aku, berhenti kuliah."Aku memundurkan tubuh ke belakang, menatap dia dengan perasaan kecewa. Berhenti dia bilang. Itu artinya, dia tidak menyelesaikan kuliahnya? Hanya untuk bekerja? "Apa, Son?" tanyaku lagi. Dia menganggukkan kepala, lalu kembali bicara seperti tadi. "Kenapa?" "Aku ingin bekerja, Mbak.""Bukannya dari kemarin pun kamu sudah bekerja? Apa kuli panggul di pasar, itu bukan pekerjaan?"Kini giliran Soni