Ken bangun pagi itu dengan kepala pening. Perkataan Cella semalam telah membuat tidurnya tidak nyenyak. Beberapa kali mengigau dan terbangun. Alhasil sejak pukul tiga dini hari matanya tak mau terpejam.
Cella masih bergulung nyaman di bawah selimut. Kepalanya rebah di lengan Ken. Karena sudah lama dalam posisi itu, lengannya mulai kesemutan. Dengan hati – hati Ken mengangkat sedikit kepala sang pacar agar dapat membebaskan lengan dari tekanan.
Cella terbangun. Mata indah yang menghiasi wajah berkulit halus itu terbuka perlahan. Mengerjap sejenak untuk kemudian berbinar indah saat menemukan Ken. Wajah oval berpipi mulus yang dihiasi bibir mungil yang bulat, Cella menyebutnya cantik. Karena gemas, sebuah kecupan dihadiahkan di pipi Ken.
“Selamat pagi, Cheyenk!”
“Hmmm!”
“Jam berapa ini?”
Ken menoleh ke dinding lalu memberi isyarat dengan dagu. “Tuh!”
“Idiiih. Ketus amat pagi – pagi. Masih kesal karena masalah semalam?”
Ken bangun kemudian berjalan menuju kamar mandi. Melihat perilaku tidak biasa itu, Cella segera menyusul, lalu menahan tubuh jangkung kekasihnya dengan pelukan dari belakang.
“Jangan marah dong, Cheyenk. Aku sedih banget kalau kamu begini.”
Sang kekasih diam tanpa menanggapi. Ken memang bukan golongan orang yang banyak bicara. Semakin emosi, semakin sedikit kata - katanya.
“Cheyeeeeenk. Jangan diam dong? Ngomonglah sesuatu gitu.” Cella menggelayut manja pada lengan Ken walau lelaki itu sudah berada di bawah shower, siap mengguyurkan air kapan saja.
“Ken!” Cella menghentakkan kaki dengan wajah merengut maksimal. Rupanya tindakan itu berhasil membuka mulut Ken.
“Gimana nggak kesal? Elo larang gue ketemu orang tua lo. Itu maksudnya apa, Cel?”
Cella merenggangkan rengkuhan. “Maksudnya aku menjaga perasaanmu, biar enggak sakit hati kalau ditolak.”
Ken batal mandi. Ia menderap keluar lalu menatap lurus-lurus pada gadisnya. “Gue enggak ngerti. Elo mau kita jalan di tempat kayak gini terus? Gue bukan cowok kayak gitu, Cel. Elo udah kumpul sama gue, ya, berarti gue harus tanggung jawab sepenuhnya buat nikahin lo.”
“Aku juga sayang sama kamu, Ken. Tapi aku belum siap menikah dalam waktu dekat.”
Ken menangkupkan tangan pada pipi kekasihnya. “Elo nyaman apa sama hubungan kayak gini? Setiap kali kita harus merasa insecure, dikit - dikit takut ada orang yang memergoki kita. Elo seneng?”
“Kita kan udah rapi banget nutupin ini. Aman aja, Ken. Kamu nggak usah terlalu parno.”
Ken masih berusaha membujuk dengan lembut. “Cel, bukan soal parno atau enggak. Gue tuh paham, bukan kayak gini hidup yang gue mau. Gue mau saat ngelakuin itu, gue nggak terbeban sama hati nurani.”
“Udah biasa kali hidup kayak gini. Orang lain ngejalaninya santai aja. Kamu kok gelisah sendiri?”
“Ya itu orang lain. Gue nggak mau gitu. Gue mau yang sah, Cel.”
Cella hanya berkedip memandang Ken. Mata indah itu terlihat redup. Ken mulai mencemaskan reaksi tidak wajar itu. Hatinya menjadi ragu dengan arah hubungan mereka. Apakah akan berlanjut ke pelaminan atau berakhir sampai di sini saja.
Oh, tidak bisa!
Ken terlalu sayang pada Cella. Mana mungkin kehilangan si kucing manja ini?
“Kok diem? Elo nggak kepingin nikah? Elo nolak gue?”
“Ya pingin. Siapa yang enggak kepingin punya keluarga?”
“Trus? Elo nggak mau melawan ortu? Elo nggak selamanya tinggal sama mereka. Kita punya hak untuk bahagia dan hidup sesuai pilihan kita.”
“Kamu enak. Orang tuamu pengertian, nggak kasih target kriteria menantu.”
Ken menelisik melalui mata Cella. Ingin tahu apa yang mengganjal gadis ini.
“Jujur aja, sebenernya elo ragu sama gue, Cel? Elo udah nyerah sama hubungan kita? Elo udah nggak sayang gue lagi?”
Mata Cella membulat, menatap lurus pada kekasihnya. “Ken, aku enggak ragu sama kamu. Sama sekali enggak. Aku sayang banget sama kamu.”
“Ya kalau gitu, ayo kita urus nikahannya. Gue siap ngadepin nyokap bokap lo.”
Cella meneguk liur. Masalahnya bukan soal berani atau tidak berani. Yang mengalir dalam darah Ken itulah penyebab utamanya.
“Percuma. Papa dan Mama enggak akan kasih restu kalau kamu bukan cowok berdarah Batak.”
“Kita bisa nikah tanpa restu kalau emang kepaksa. Kalau lo mau nunggu, gue bisa pendekatan sama mereka. Gue ini tipe sabar, bisa ngelakuin apa aja selama itu dibutuhkan.”
“Ken, kita urus nikahnya setelah aku pulang dari New York aja, ya? Takutnya ntar malah Papa dan Mama ngelarang aku berangkat ke sana.”
Ken sontak melengos mendengarnya. “Nah, kan? Gue udah duga. Semua ujung – ujungnya karir. Cuma karir yang paling utama di hidup lo, kan, Cel?”
“Nggak gitu juga kali, Ken. Aku merasa mumpung masih muda gini, apa salahnya mencari pengalaman sebanyak mungkin? Lagian cuma setahun. Kenapa kamu nggak sabar nunggu? Kamu sayang aku nggak sih, Ken?” Cella balik menuntut.
Hati Ken seperti ditampar dengan sandal. “Kok malah ngebahas gue? Jawab dulu pertanyaan ini, gue ini sebagai apa di hidup lo?” Suara Ken terdengar pilu.
Cella langsung bungkam, tidak menyangka orang pragmatis seperti Ken akan melontarkan pertanyaan yang dalam. Melihat kekasihnya terdiam, Ken mendengkus lalu berlalu ke kamar mandi.
“Ken, tunggu! Aku belum selesai bicara!” Cella hendak menyusul ke kamar mandi seperti biasa. Ternyata pintunya dikunci. Nyali Cella kontan menciut. Ken benar- benar kecewa.
“Keeen!” Tangan Cella menggedor pintu kamar mandi beberapa kali. “Ken, jangan ngambek gitu, dong?”
Tak ada jawaban.
“Keeen! Kamu nyebelin kalau udah gini!”
Masih saja tak ada jawaban. Dari kamar mandi terdengar bunyi guyuran air. Cella mendesah seorang diri. Alamat, sesudah ini Ken akan mogok bicara seharian.
“Ken, jangan kayak anak kecil ngambekan! Kalau ada masalah tuh kita harus ngomong, bukannya mendiamkan!” Cella kembali menggedor pintu seraya berteriak agar suaranya didengar oleh orang yang tengah berada di dalam kamar mandi.
“Keeeeennnnn! Kamu masih bisa dengar apa enggak siiiih?”
Seperti dugaan Cella, tak terdengar jawaban apa pun.
Sabar, Cel, sabar. Untung ganteng. Kalau enggak udah aku tendang kamu!
“Aku ke dapur. Kamu mau dibikinin apa? Mi atau nasi goreng?”
Ken tetaplah Ken si pengambek. Sampai Cella selesai menyiapkan nasi goreng, lelaki itu masih bungkam. Namun herannya, jatah nasi gorengnya dilahap sampai tandas.
“Enak?” Cella mencibir saat mengambil piring Ken yang telah kosong. “Ih, diem aja. Dikira aku takut?”
Ken melirik sekilas, lalu meneguk jus jeruk. Tindakan itu membuat Cella gemas bukan kepalang. Diletakkannya piring, lalu menghambur ke pangkuan Ken. Si kucing manis segera beraksi. Memberikan gesekan -gesekan hangat ke seluruh tubuh sang kekasih. Hasilnya segera terlihat. Selangkangan Ken mengeras dan ia tak sanggup mempertahankan aksi ngambeknya.
Ken segera membalas hingga keduanya memanas di kursi. Tak lama kemudian, Ken menggendong Cella ke sofa ruang tengah dan melucuti baju gadis itu, lalu menghujaninya dengan sentuhan - sentuhan yang membuat Cella terhanyut.
Dengan cepat, Cella telah merayap menuju puncak. Namun hal yang tak diharapkan terjadi. Ken menarik diri. Cella seketika kehilangan sesuatu. Bagian bawah tubuhnya berdenyut keras, meronta, minta dipuaskan. Ia seperti anak kucing yang ditelantarkan majikan, menggeliat gelisah dengan tangan menggapai - gapai.
Ken berdiri di samping sofa, memandang ke bawah dengan tangan terlipat di depan dada. “Bilang dulu, elo mau gue lamar.”
“Aaaah?” Cella tak sanggup berkata - kata. Lehernya sudah panas karena dahaga asmara.
“Kalau mau, kita lanjutkan. Kalau nggak, sebaiknya kita enggak usah ketemuan lagi.”
“Jahaaat! Ayo sini!” Cella memelas sekali.
Ken tetap berdiri tegak, menantang dengan tatapan dingin pada perempuan yang telah terbuka tanpa busana.
“Keeen, ah! Ayo siniiiiii!” Tangan Cella kembali menggapai, namun dengan sigap Ken menepisnya.
“Bilang 'ya' dulu!”
Cella sudah hilang akal. “Iya.” Jawaban itu lirih, semacam desahan.
“Apa? Enggak denger gue. Elo mau gue lamar?”
“Iya.”
“Yang keras, dong!”
“Ya! Iya, Ken! Iya!”
“Nah gitu, dong!” Ken berdiri lalu menjauh dari sofa menuju meja makan. Dari atas meja, diambilnya ponsel Cella.
“Telepon bokap lo, bilang gue mau datang.” Walau diucapkan dengan lembut, perintah itu tidak untuk dibantah. Lagipula, dengan hormon yang tengah meledak, otak Cella tidak sanggup berpikir dan terpaksa menuruti. Dibuatnya janji temu dengan sang ayah secepat mungkin sebab dadanya telah naik turun dan denyut jantungnya telah memburu akibat hasrat yang tertunda.
“Udah nih. Besok malam!”
Ken tersenyum puas. Belum sempat menjawab, ia telah ditarik oleh Cella hingga rebah ke sofa kembali.
—- Bersambung —-
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,