Ken datang ke rumah orang tua Cella pada malam yang dijanjikan. Seperti kebiasaan, ia datang lima menit sebelum waktunya. Cella membukakan pintu dan berdebar melihat seraut wajah innocent yang memiliki bibir mungil membulat dan berwarna kemerahan. Kemeja putih dan celana khaki membuat wajah itu semakin terlihat segar.
Ken masuk dengan anggun kemudian duduk dengan tenang di kursi tamu. Ia tampil santai tanpa terlihat gelisah. Barangkali karena sering mengalami kegagalan usaha dan kerap berjumpa banyak orang dengan berbagai macam karakter, Ken tidak terlalu resah dengan reaksi orang lain terhadap dirinya. Mungkin pula fisik dan latar belakang yang bagus membuat kepercayaan diri lelaki itu tebal.
“Papa dan Mama baru selesai makan. Tunggu sebentar.” Cella duduk dengan gelisah. Tapi Ken malah menatapnya lurus-lurus sehingga debaran dadanya semakin kuat. Satu karena takut reaksi papanya tidak bagus. Kedua karena menahan diri agar tidak lari ke pelukan lelaki ini.
Ken menjawab dengan anggukan kecil kemudian menyandarkan tubuh dengan santai. Kalau melihat sikap Ken yang seperti ini, semua orang pasti mengira ia lelaki yang pendiam dan santun. Wajah baby face itu membuatnya terlihat tanpa noda. Tapi jangan salah sangka. Otak Ken sama sekali tidak innocent.
“Kamu enggak apa-pa?” tanya Cella. “Kenapa lihat aku kayak gitu?”
Ken masih memandang dengan penuh cinta. “Menurut lo?”
Cella berdecak. “Mikir apa sih?”
Ken tersenyum dengan manis, kemudian menjawab dengan lembut, “Mikir ntar malem mau cobain posisi apa.”
Pahanya langsung digempur cubitan bertubi oleh kekasihnya.
“Mesum selalu isi otakmu!” pekik Cella. “Awas, jangan ngomong apa pun yang bikin Papa dan Mama curiga kalau kita pernah ….”
“Tenang aja.”
“Kalau Papa nanyain orang tuamu, jawab aja mereka udah bercerai. Papa itu orang kolot, produk masa lalu. Kamu paham, kan?”
Ken diam karena hatinya kecewa. Memang benar, kedua orang tuanya tidak pernah menikah. Ibunya keturunan Tionghoa Indonesia dan ayahnya Inggris-Manado. Mereka tinggal lama di London sehingga mengadopsi kebiasaan setempat dengan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan.
“Papa dan mamaku saling cinta, Cel. Mereka enggak berpisah sampai saat ini.”
“Duh! Masa kita harus berdebat lagi? Cuma sekali ini aja, buat memuluskan urusan kita. Kamu masih mau mendapat restu, kan?”
Ken terpaksa mengangguk.
“Terus kalau nanti kamu ditanya soal agama, jawab aja sesuai KTP-mu.”
Kali ini Ken bergeming. Enggan menanggapi.
“Ken?”
Ken hanya menoleh sekilas, lalu membuang muka ke tempat lain. “Aku harus mengaku apa?”
“Ya Kristen, sesuai KTP-mu!”
Karena Ken tidak menjawab, Cella menjadi gelisah. “Ken, cuma kali ini juga. Selanjutnya terserah kamu!”
Hampir setengah jam Ken menunggu barulah ayah dan ibu Cella muncul. Mantan hakim Mahkamah Agung itu berdehem tanpa mengulas senyum.
Ken berdiri dan mengulurkan tangan dengan hormat. “Kenalkan, saya Ken.”
Ibu Cella menyambut dengan senyum ramah yang meneduhkan hati. Sebaliknya, ayah Cella menyambut jabatan tangan Ken dengan wajah sedingin gedebog pisang. Padahal ibu Cella itu cantik sekali. Rambutnya pirang dan memiliki mata biru yang menawan. Akan tetapi kehadirannya tertutup oleh aura gelap sang mantan hakim.
“Ehm. Berto. Duduk!”
“Ah, terima kasih.” Ken duduk dengan menegakkan tubuh. Kemudian memandang bergantian antara ayah dan ibu Cella. Ia ingin memulai pembicaraan, namun setelah melihat tanggapan dingin itu, menunggu adalah pilihan paling bijak.
“Siapa kau ini?” Pertanyaan Berto menggema di ruang tamu yang luas dan temaram.
Ken sontak kebingungan. Bukankah tadi sudah memperkenalkan diri? “Saya Ken, Pak.”
“Ehm.”
Seketika sunyi seisi ruang. Baik Cella maupun ibunya seperti menyaksikan pertempuran antara dua kubu.
“Saya tanya sekali lagi, siapa kau ini?”
Ken menelan ludah. Dari berpuluh orang aneh yang pernah ditemui, rasanya tidak ada yang sealien ini. Benarkah dia ayah kandung Cella? Mengapa hanya wajahnya saja yang mirip sedangkan tingkah lakunya sangat berbeda?
“Saya Kendrick William. Anak dari Kenneth William dan Widya Tantawi. Saya sekarang mengelola perusahaan sepatu handmade merek Kenwill Shoes. Bapak pasti sudah tahu karena merek itu cukup terkenal di kalangan artis, pejabat, dan pengusaha papan atas.”
“Hmmm!”
Ken menatap dengan hati-hati, masih berusaha mencerna situasi.
“Saya tanya, kau itu siapa?!” Lagi – lagi sang mantan hakim melontarkan pertanyaan yang sama.
Ken mulai berpikir keras. Pertanyaan aneh itu jangan dicari jawabannya secara lurus dan lempeng. Mendadak otaknya memutar sebuah film lama yang dibintangi oleh Leonardo Dicaprio.
“Saya hanyalah lelaki biasa yang mencintai putri Anda, Pak.” Ada nada merendah dalam suara itu, namun Ken sengaja menyusupkan ketegasan yang kental. Wajah innocent dan mata yang melebar karena mendamba itu sukses membuat meleleh Cella dan ibunya.
“Aaaah! Mama suka sekali, Ken. You’re so romantic!” Mama Cella spontan menyahut.
Ternyata sang mantan hakim tersentuh jiwa melankolisnya. Wajahnya melunak seketika. "Hmmm, boleh juga."
Akan tetapi perjuangan Ken belum berakhir.
“Marga apa kau?”
“William.”
“Hmmm, bukan dari Sumatra Utara.”
“Ayah saya campuran Inggris-Manado dan ibu saya keturunan Jawa-Tionghoa.”
Berto terang – terangan mengamati Ken lekat – lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ken membiarkan saja dirinya diselidiki sedemikian rupa. Bila bukan calon mertua, pasti ia sudah mencak – mencak karena tindakan tidak sopan itu.
“Campuran macam- macam. Semoga kelakuanmu tidak macam- macam.”
“Iya, Pak.” Dalam hati Ken menggerutu. Siapa yang macam – macam? Ternyata benar kata orang bijak. Akhlak seseorang tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan dan jabatan, tidak pula oleh luasnya pengalaman dalam bidang yang digeluti.
“Selain bisnis, apa kegiatan kau?”
Nah, ini mudah. “Saya olahraga dan melakukan hobi, Pak.”
“Hmmm. Apa hobi kau?”
“Memasak.” Ken menjawab dengan polos. Mau berbohong bagaimana lagi? Memang itulah hobinya.
Mama Cella langsung terkikik, begitu pula putrinya.
“Hobi masak?!” Walau menghardik, seulas senyum tipis terulas di wajah garang Berto. “Lelaki macam apa kau? Pantas aja muka kau kayak perempuan!”
“Pa, chef – chef terkenal itu kebanyakan laki – laki.” Cella segera membela kekasihnya.
“Hei! Dia bukan chef! Dia tukang sepatu!” Berto menyanggah dengan mendelik. Matanya semakin lebar saja. Namun, bukannya semakin menyeramkan, wajah berbentuk segi empat itu justru terlihat jenaka. Barangkali paduan wajah bayi Ken dan hobi memasak itu menimbulkan sensasi tertentu yang menyentuh hatinya.
“Benar, Pak. Saya tukang sepatu yang masakannya enak.” Ken menambahkan dengan mantap.
“Ah! Mana mungkin masakan kau enak!”
“Oh, kapan – kapan saya masakkan, Pak. Bapak mau apa? Arsik?”
“Heeeh! Tahu juga orang blasteran Inggris-Manado-Jawa-Tionghoa ini soal arsik!” Wajah Berto telah melunak dan senyumnya mulai lebar.
“Paham sekali, Pak. Boleh dicoba sesekali.” Ken menawarkan dengan lembut.
“Boleh – boleh. Datang lagi kau nanti hari Minggu. Kita adu masakan kau dengan masakan Papa.” Berto menantang calon menantu.
Ken mengangguk dengan antusias. “Siap!”
“Kalau gitu datangnya pagi – pagi. Kita ke gereja sama - sama.”
Mata Ken langsung membulat mendengar itu.
“Kenapa mendelik kau? Apa gerejamu?”
Ken menegakkan tubuh dan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Saya tidak punya gereja.”
Berto terdiam. Cella mendelik kepada kekasihnya. Diam – diam kakinya menendang tungkai Ken. Namun lelaki itu bergeming.
“Apa maksudnya tidak punya gereja? Kau kan Kristen?” Berto tampak kebingungan.
Cella menunduk sembari mengusap kening. Kenapa juga sang kekasih tidak mau mengalah sekali ini saja? Semoga Ken tidak salah menjawab.
“Bilang Kristen aja,” ujar Cella dengan gerak bibir secara tersembunyi agar tidak diketahui sang ayah. Ken hanya melirik sekilas.
“Bukan, Pak. Saya bukan penganut Kristen.” Suara Ken yang biasanya lembut kini terdengar tegas.
“Hah? Lalu apa agamamu? Katolik? Islam? Hindu? Budha? Konghuchu?”
Ken mulai kesal dengan cara bertanya yang menurutnya keterlaluan. Baginya, agama dan spiritualitas adalah urusan pribadi kepada Tuhan. Tidak perlu diungkit-ungkit apalagi dipertentangkan. “Tidak semuanya, Pak.”
Berto menegakkan punggung dan berkacak pinggang. “Lantas apa kau? Atheis?”
“Bukan juga.”
“Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa?”
“Bukan juga, Pak.”
“Lalu?”
“Agnostik.”
“Apa?!”
Cukup lama Berto berdiam diri, kembali menelisik Ken dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ruangan itu berubah menjadi mencekam.
“Baiklah. Kalau begitu tak usah datang lagi ke sini. Pulang kau segera! Putriku hanya akan menikah dengan orang seagama dan sesuku. Paham kau?!”
Setelah berkata begitu, Berto masuk, meninggalkan tiga orang yang tercenung di ruang tamu.
--- Bersambung ---
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,