Jonathan telah menghilang bersama mobilnya. Ken masih termangu di serambi ruko sambil memegang sepatu lelaki itu. Bayangan perilaku sang seleb membuatnya bertanya-tanya. Terus terang, sodokan jagoan kecil Jonathan tadi membuatnya merinding. Ken pun menepis jauh-jauh pikiran melenceng itu agar tidak menuduh orang sembarangan. Sambil melangkah masuk ke kantor, dipanggilnya bagian sekuriti.
“Parno, nih lu simpen sepatu Jonathan. Mana tahu besok-besok dia ambil.”
Parno menerima sepatu dengan menegakkan tubuh untuk memberi hormat. “Siap, Bos!”
“Jangan sampai hilang atau kotor. Nanti yang punya ngamuk.”
“Siap!”
“Ya udah, gue ke atas.”
“Bos mau pulang ke apartemen atau menginap di sini?” tanya Parno.
“Mau tahu aja lu! Gue di sini aja.”
“Oh, iya maaf, saya lupa. Tadi ada Neng Cella.” Parno langsung cungar-cungir penuh arti.
“Diem lu!” sergah Ken. “Jangan ada yang gangguin, ya!”
“Siap, Bos!”
Ken berlalu menaiki tangga. Pikirannya langsung membayangkan Cella yang berendam tanpa busana.
Hmmm! Si kucing meong minta digosok? Siapa takut?
Sampai di lantai empat, napasnya lumayan memburu. Tapi ia senang. Naik tangga empat lantai membuat jantung selalu sehat dan kuat. Apalagi ditambah olahraga yang lain sebentar lagi. Oh! Ada orang pintar zaman dulu mengatakan bahwa kesehatan lelaki tergantung tiga hal yaitu uang, kekuasaan, dan seks. Ken bisa merasakan kebenaran kata-kata itu saat ini.
Berbeda dengan dua lantai terbawah, penataan ruang lantai empat cukup cantik. Ada sofa besar, televisi, pantry, dan tentu saja kasur berbentuk bulat. Yang paling menyenangkan adalah kamar mandi yang luas dengan bathtub setengah lingkaran yang lega untuk dua orang.
Ken berjalan perlahan menuju kamar mandi. Sembari melangkah, tangannya membuka kancing kemeja, kemudian melepasnya. Satu demi satu pakaian ditanggalkan. Semakin mendekat ke pintu kamar mandi, kulit kuning terangnya semakin terbuka. Saat tangannya mencapai handel, di tubuhnya hanya tersisa celana boxer saja.
Keindahan sosok jangkung yang ramping itu kini terlihat nyata. Ken tidak terlalu atletis, namun memiliki otot yang cukup untuk memanjakan mata kaum hawa seperti Cella. Kulitnya halus dan minim bulu. Cella sangat menyukai lelaki seperti itu.
“Keen?” Si kucing manja memanggil dari dalam kamar mandi.
Tubuh Ken seperti dialiri energi yang membubungkan hasrat. Karena selangkangannya mulai berdenyut, ia tidak menjawab, langsung membuka pintu dan menderap ke bathtub. Tanpa merasa perlu melepaskan celana, lelaki tampan itu menceburkan diri, membuat cipratan besar ke segala arah, termasuk mengenai wajah kekasihnya.
“Ken! Iiiihhh! Air sabunnya masuk ke mataku!” cella sontak mengucek mata.
“Ooooh, kasihaaan! Sini gue obatin biar nggak pedes!”
Tent saja yang dimaksud dengan ‘obat’ itu adalah ciuman mesra yang lama di mata gadis itu.
“Keeen! Mataku main pedes, tahu!”
Cella mengerjap-ngerjap seraya meraih shower. Dengan air hangat gadis itu berusaha membasuh wajah untuk mengurangi rasa perih. Ken mengamati dengan badan memanas. Pemandangan apa lagi yang lebih indah dari ini? Gemas sekali! Tanpa menunggu, Ken mendorong tubuh merapat. Dihujaninya sang pacar dengan ciuman mesra.
“Ken!”
Ken tidak menjawab. Cella pun tidak bicara lagi karena bibirnya telah dikunci oleh bibir Ken. Dan seperti yang sudah – sudah, permainan itu pun berlanjut hingga keduanya larut dalam kenikmatan.
***
“Aduh! Mienya dingin,” keluh Cella saat meletakkan mi yang dibeli sebelum datang tadi ke dalam piring. “Padahal kalau panas enak sekali.”
“Jangan khawatir. Sini gue panasin.”
“Boleh.” Cella mengamati kekasihnya mengambil kedua piring lalu membawanya ke dapur. Tangan berkulit terang itu terampil sekali menggunakan peralatan dapur, membuat Cella semakin cinta saja.
“Punya elu mau ditambahin cabe nggak, Say?”
“Enggak! Cukup itu aja.”
“Ya udah.” Tak lama kemudian, Ken datang dengan dua piring mi yang mengepul.
“Hmmm, kalau panas-panas begini baru nikmat.” Cella menyendok. Sebelum memasukkan ke mulut, mi itu ditiup beberapa kali.
“Elu kagak ada bosennya sama mi, Yong.” Yong adalah singkatan dari Meong, panggilan sayang Ken untuk Cella.
“Mumpung masih bisa makan yang rasanya kayak gini.” Cella menjawab dengan santai.
Kalimat itu sukses membuat Ken menghentikan kunyahan. “Maksud lu?”
Cella tersenyum lebar. Sederet gigi putih nan rapi terlihat sangat manis menghiasi wajah oval berhidung mancung. Ya, Cella berdarah campuran Batak dan Inggris. Ayahnya asli Batak Toba, bermarga Simanjuntak. Ibu berdarah Inggris. Tapi sang ibu bukan warga negara Inggris, melainkan Singapura. Mereka berjumpa saat keduanya kuliah di N****ng University. Tak heran bila wajah Cella sangat eksotis, perpaduan barat dan timur. Belum lagi tubuh tinggi semampai yang mengukuhkan kesan aristokrat. Karena itu Cella belum lama ini terpilih sebagai model sabun L*x yang selalu menggunakan model papan atas yang elegan.
“Aku dapat kontrak gede!” mata Cella membulat saat mengucapkan itu. Binarnya begitu cemerlang sehingga membuat Kern silau dan menjadi insecure.
“Kontrak apaan?”
“Modelling! Mau tahu di mana?”
Ken memutar memori. Rasanya sekali waktu dulu Cella pernah mengatakan tentang rencana besar itu. “Hah? Jangan bilang kalau itu rencana lu yang ke New York!”
Cella mencibir. “Kok gitu tanggapannya? Nggak seneng aku go international?”
“Ya seneng. Congratz ….” Nada suara Ken datar, bukan seperti orang yang berbahagia mendapat kabar gembira.
Cella meletakkan sendok dengan kasar. “Tuh, kaaaan! Kamu nggak setuju, ya?”
Ken ikut meletakkan sendok dengan kasar. “Trus lu mau kita LDR-an?!”
Cella kaget, tak menyangka sang kekasih membalas dengan sekeras itu. “Kamu setuju enggak, sih?!”
Ken mendengkus sambil membuang muka. Hilang sudah selera makan. “Enggak! Gue enggak suka LDR-an!”
“Ya ampun, Cheyenk! Enggak selamanya juga aku di sana. Cuma setahun doang. Masa enggak dibolehin? Kamu jahat, deh!”
Cella mulai merajuk.
“Ntar kalo gue kangen gimana? Masa pelampiasan sama bantal dan guling?”
“Egois! Ngeres isi otak kamu.”
“Eh? Elu enggak kangen apa sama gue kalau pisah selama itu? Atau jangan – jangan lu udah punya gebetan baru, ha?”
“Sembarangan!”
“Trus kenapa ngotot ke sana segala? Apa kurang berhasil di Indo?”
“Ken! Ini kesempatan emas. Aku nggak akan melewatkan gitu aja. Tolong ngerti dong?”
Ken melanjutkan makan tanpa menanggapi perkataan Cella. Gadis itu menjadi sangat gemas. Didekatinya lelaki itu, kemudian mulai mendaratkan bibir di lekuk leher dan telinga. Ken menggelinjang kegelian, namun sekaligus menjadi bergairah.
“Kucing nakal! Sini, gue hukum lu!”
Ken meninggalkan meja makan lalu dengan gerakan gesit mengangkat tubuh Cella dan membawanya ke kasur.
“Aaaah! Aku belum selesai makan, Ken!”
“Anggap aja udahan! Sekarang elu harus makan yang lain, paham?!”
Lalu terulanglah apa yang mereka lakukan di kamar mandi.
Selesai ronde kedua itu, Cella kembali merajuk. “Ken. Boleh ya, aku ke NY?”
Mata kucing gadis itu membulat sempurna. Ken yang masih terengah karena berolahraga dua kali hanya bisa menatap hampa.
“Kalau gue bilang enggak, kamu bakal ngapain?”
“Ya, aku bakal … mmm … nangis sampai mukaku bengap dan mataku bengkak. Kalau kamu, bakal ngapain kalau kutinggal?”
“Enggak tahu. Kali aja nyari boneka atau pacar baru.”
Dada Ken langsung dihujani pukulan. “Jahaaaat! Kalau kamu cari pacar baru, awas!”
Ken iba juga pada gadis yang mulai memerah matanya. Ia tahu perjuangan Cella untuk mendapatkan posisi saat ini. Kesempatan berkarir di Amerika Serikat adalah impian bagi sebagian besar pekerja industri entertainment. Akhirnya Ken terpaksa mengalah. “Gue kasih izin tapi dengan satu syarat.”
Cella menarik tubuh. Hatinya melonjak girang. “Apa syaratnya?”
“Kita nikah sebelum kamu berangkat.”
Cella terduduk. “Harus banget nikah dulu?”
“Loh, gue emang niat serius sama elu, Cel! Tapi kalau lihat kamu kayak gini, gue udah patah hati duluan, nih. Elu tuh seserius gue apa kagak?”
“Ya … aku sayang kamu, mau nikah sama kamu.”
“Wah, bau – baunya enggak enak nih. Apa tapinya?”
“Tapi … kamu berani enggak melamar ke orang tua aku?”
“Hooooh! Siapa takut?”
“Kamu bakalan langsung ditolak.”
“Hah? Kenapa gitu? Gue enggak layak jadi suami lu? Kurang apa gue?”
“Kamu sempurna, Ken. Ganteng iya, gagah iya, pendidikan bolehlah, orang tua baik – baik, uang juga enggak masalah.” Cella terlihat sedih. Jemarinya saling bergelut di atas pangkuan.
“Ya lalu kenapa orang tua elu enggak mau nikahi elu sama gue, Cel?”
“Karena namamu enggak ada marga Bataknya.” Cella langsung menggigit bibir setelah mengucapkan itu.
--- bersambung ---
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,