Share

Vonis

Ken tidak ragu mengungkapkan diri walau Berto memandang dengan tatapan mengerikan. Lelaki itu pasti syok mendengar putrinya berhubungan dengan seorang lelaki yang tidak percaya pada agama. Dalam hati Ken mencela. Belum tahu saja bagaimana kelakuan sang putri bila tengah berkunjung ke apartemennya. Bisa – bisa lelaki lanjut usia itu langsung terkena serangan jantung jika ia membuka kartu Cella.

“Pulang kau!” Berto kembali menghardik, kesal karena orang yang diusir malah mematung.

“Papa, sabar ya,” pinta istrinya. Cella tak mau ketinggalan.

“Pa, Ken cuma bercanda. Iya, kan, Ken?” Dengan isyarat kedipan mata Cella meminta Ken untuk mengangguk.

Ken tersenyum kecut. Ia tidak mau mengangguk. Tulang keringnya segera ditendang oleh Cella.

Rupanya aksi diam Ken itu semakin memicu kemarahan Berto. “Pokoknya, sampai ayam berkokok di kutub utara, Papa tidak akan serahkan kamu ke lelaki aneh ini! Paham kau Cel?!”

Vonis sudah dijatuhkan. Sang hakim sudah memberikan penolakan. Nasib hubungan Ken dan Cella kini berada di persimpangan.

“Paaa, jangan gitu – gitu amat. Ken tuh sebenarnya Kristen. Orang tuanya juga.” Cella masih berusaha membela kekasihnya.

“Ah, banyak mulut kau!” Sesudah berkata begitu, Berto bangkit dan masuk ke dalam rumah.

Kini ganti Cella memelototi kekasihnya.

“Aduh, Ken! Kenapa pula kamu ini memicu kemarahan Papa? Jadi orang muda tuh mengalah sedikit kenapa, sih?”

Ken hanya mendengkus, kemudian ikut berdiri dan bersiap pergi.

“Aku pulang,” ujarnya dengan nada datar. “Tante, saya pamit.”

Lelaki itu menyalami mama Cella kemudian berjalan keluar. Mama Cella mengantarkan hingga ke pintu.

“Ken, Tante minta maaf atas sikap Papa tadi. Dia memang keras, kamu jangan kaget. Tapi sebenarnya hatinya lembut.”

Mama Cella terlihat serba salah. Ia tahu Ken tidak boleh diperlakukan kasar, tetapi tidak bisa menghalangi suaminya. Ken tersenyum untuk menenangkan mama Cella.

“Saya mengerti, Tante. Saya juga minta maaf karena membuat Om marah. Mohon disampaikan permintaan maaf saya ini.”

“Pasti Tante sampaikan. Tetap semangat, ya, Ken. Mama sih mendukung kalian.” Wanita cantik itu menepuk tangan Ken sebelum melepasnya pergi. “Jangan menyerah. Tadi sebenarnya Papa sudah mulai suka saat kamu bilang pintar memasak. Jadi masih ada kesempatan buatmu. Kamu harus sabar buat pendekatan. Pelan - pelan nanti Papa pasti akan luluh.”

“Iya, Tante. Saya akan berusaha.” Ken mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan menuju mobil.

“Cel, kamu tidak antar Ken pulang?” Mama Cella sengaja memberi peluang bagi kedua orang itu untuk berbincang lebih leluasa.

“Iya, Ma. Ken, aku ikut!” Cella menyusul dan langsung naik dari sisi yang lain.

Ken sebenarnya ingin pulang sendiri karena tahu sebentar lagi Cella akan berceramah. Akan tetapi, tidak menghalangi Cella. Sebenarnya ia pun tidak marah terhadap Berto. Baginya, perbedaan pendapat itu sudah biasa. Bila lawan bicara menjadi emosi, itu urusan yang bersangkutan. Memangnya siapa yang rugi karena marah-marah? Bukan orang yang dimarahi, melainkan si pelaku sendiri. Ia lupa bahwa dirinya pun sering ngambek pada Cella.

Lain dengan Ken yang menyetir dengan wajah datar, Cella sungguh kesal karena kekasihnya tidak mau memuluskan pertemuan itu dengan sedikit berbohong. Apakah salah tidak mengatakan seluruhnya pada saat perjumpaan pertama?

“Papa itu penganut Kristen garis keras, Ken. Ngapain kamu mengaku-ngaku agnostik segala?” Cella menggerutu berkali-kali.

“Gue bukan mengaku-ngaku. Gue ngomong jujur apa adanya.”

Cella semakin kesal karena dibantah. “Jujur itu ada tempatnya kali.”

Ken berdecak. Sudah pasti ia tidak setuju. “Soal lain boleh begitu. Tapi soal prinsip, gue nggak mau tawar-menawar.”

“Kenapa nanggung cuma agnostik? Enggak sekalian aja mengaku atheis?!” Cella semakin sengit.

Ken tidak menoleh, pun tidak menjawab. Cella tidak habis pikir. Lelaki yang selama ini dikenal lembut, ternyata bisa mengotot untuk hal – hal tertentu yang tak terduga.

“Kenapa sih kamu sensi banget kalau soal agama?” tanya Cella. “KTP-mu aja udah tertulis Kristen. Bohong juga kan itu?”

“Gue udah nggak nyaman soal KTP. Gue nggak mau yang lain juga ikutan nekan,” ujar Ken tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

“Tapi kan kamu udah bohong juga. Apa salahnya bohong sekali lagi demi kelancaran hubungan kita?”

Ken tetap membisu, seperti kebiasaannya bila kesal.

“Ken?”

“Karena itu urusan gue yang paling pribadi.”

“Iya, aku tahu itu urusan pribadi. Tapi saat ini kita butuh persetujuan Papa. Masa kamu tidak mau berkompromi sedikitpun?”

Ken tidak menjawab. Ia sudah berkompromi dengan banyak hal. Untuk masalah satu ini, ia tidak mau diusik. Bahkan oleh Cella sekali pun.

“Itu hak gue untuk mempercayai sesuatu.”

Cella mendengkus. “Katamu mau menikah cepat, kalau begini gimana mau cepat?”

Ken kembali tidak menanggapi.

“Apa yang gue percayai nggak merugikan atau mengganggu orang lain. Kenapa orang resek?” Sebuah embusan napas kasar keluar hari hidung Ken.

“Karena kita nggak hidup seorang diri, Cheyenk.”

“Bener, kita emang enggak hidup seorang diri. Tapi ada hal – hal yang nggak bisa dibagi.”

“Itulah kenapa aku enggak mau buru - buru bawa kamu ketemu Papa. Aku tuh tahu kalau bakalan kayak gini. Kamu enggak bakalan mau mengalah.”

“Gue mau cepat kan gegara lo juga, Cel. Siapa coba yang kebelet mau pergi ke NY?”

“Kok malah nyalahin aku?”

Ken semakin sengit. “Kalau gue bohong sekarang sama bokap lo, selanjutnya apa, Cel? Pasti bokap lo bakalan ngajakin ibadah lah, maksain sembahyang lah. Nggak akan ada habisnya. Lo tahu rasanya ngejalanin sesuatu yang enggak sesuai dengan hati? Gue bakal tersiksa selamanya, Cel!”

Cella kembali menghela napas panjang. Kadang berbicara dengan Ken harus dengan kesabaran tinggi. Mereka sudah berdebat panjang tentang pilihan keyakinan dan tidak menemukan titik terang. Biarpun begitu, Cella masih berharap mereka akan melanjutkan hubungan. Mau bagaimana lagi? Hatinya sudah terlanjur sayang pada pemilik seraut wajah yang lembut dan menggemaskan ini.

“Ya udah, lalu rencana ke depannya gimana?”

Ken mengangkat bahu. “Sekarang terserah elo. Mau pergi ke Amrik silakan. Mau tetep sama gue silakan.”

“Aku boleh ke New York enggak pakai nikah dulu?”

Ken terpaksa mengangguk. Beginilah hidup. Harus ada kompromi. Bila ingin lurus untuk satu hal, hal yang lain perlu dibengkokkan. Kali ini ia memilih merelakan Cella mengejar karir. Bukankah Cella juga berhak untuk menentukan jalan hidupnya?

“Gue tahu karir lo itu penting banget buat hidup lo. Gue enggak mungkin jadi penghalang buat lo.”

Seharusnya Cella gembira mendapat restu dari Ken. Tapi karena Ken mengucapkannya dengan ekspresi wajah yang dingin, kalimatnya tadi lebih menyerupai ancaman.

“Kok kamu ngomongnya sinis gitu, sih? Aku jadi serem lihat wajah kamu.” Cella mengalihkan pandangan keluar jendela.

“Kemarin merayu-rayu minta ke Amrik. Giliran udah dibolehin kok lo malah sedih?”

Cella berdecak. “Papa udah tahu rencana itu. Lantas aku dilarang keras.”

“Hmmm ….”

“Jadi biarpun kamu udah kasih izin, aku tetap nggak bisa berangkat.”

“Kolot amat sih bokap lo?”

“Ya gitu deh. Tapi dia bokapku, mau gimana lagi.”

“Terus, soal hubungan kita gimana, elo juga mau nurutin bokap lo, cari yang seiman dan sesuku?”

“Kok kamu malah nantangin aku sih, Ken? Kamu tuh harusnya mendukung aku buat meyakinkan Papa.”

Ken melengos dan malas bersuara. Cella menjadi frustrasi karenanya.

“Aku nggak jadi ke tempat kamu. Anterin ke apartemenku aja. Aku malas lihat muka tembok semalaman.”

Dengan perasaan sama - sama mendongkol, mereka berpisah di depan apartemen Cella.

--- Bersambung ---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status