"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.
Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini. "Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama." Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?" Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan. "Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik." "Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang, kita makan aja yuk!" Mama menarik tanganku menuju ke meja makan. Aku pun mengikuti langkahnya. Lalu kami makan siang bersama. Suasana makan siang ini, penuh cerita, dan canda tawa. Aku berceloteh riang, menceritakan pengalamanku, selama masa study. Papa, dan Mama pun sangat antusias. Meskipun, tak dapat dipungkiri, aku masih belum bisa mengendalikan perasaan ini. Apalagi, jika melihat Papa tersenyum. Hatiku benar-benar meleleh dibuatnya. "Aku udah selesai, aku naik ke atas dulu ya," pamitku setelah selesai makan. "Iya, kamu istirahat ya, Sayang." "Iya Ma, hari ini aku mau santai dulu. Besok aku mau cari-cari referensi kampus sama temen-temen." Mama, dan Papa pun mengangguk. Lalu, aku meninggalkan mereka yang masih berada di meja makan. Namun, saat sedang menaiki tangga, aku ingat jika ponselku tertinggal. Aku pun memutuskan untuk kembali ke meja makan. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Papa, dan Mama saat ini sedang berciuman, dengan begitu mesra. Bahkan, tubuh Mama ada di atas pangkuan Papa, dan mengalungkan tangannya di leher Papa. Sejujurnya, aku ingin pergi. Aku tak sanggup melihat pemandangan yang ada di depanku. Hatiku sakit, rasanya seperti tertusuk duri. Akan tetapi, entah mengapa tubuh ini hanya diam membeku. Hingga akhirnya, mereka menyadari kehadiranku di ruangan itu. Detik berikutnya, Mama pun melepaskan tautan bibir mereka, dengan sedikit mendorong dada bidang Papa. "Oh ada Kanaya, ya?" "Ma-maaf ... maaf udah ganggu." Bergegas, aku mengambil ponsel di meja makan itu, yang letaknya tak jauh dari Papa duduk. Papa, dan Mama memang terlihat salah tingkah. Mungkin mereka malu, aku tak sengaja melihat kemesraan mereka. Melihat itu, seharusnya aku sadar diri, tak sepantasnya aku memiliki perasaan ini. *** Rintik hujan akhirnya turun dari gelapnya langit malam, diiringi kilat yang menyambar dan suara petir yang menggelegar. Angin pun ikut berhembus, hingga dinginnya terasa begitu menusuk ke dalam kalbu. Aku memandang suasana di luar jendela yang terlihat kelam, sekelam perasaan yang kurasakan saat ini. Hatiku terasa begitu berkecamuk menahan dilema di dalam dada. "Jangan sampai, aku ngrasain hal yang sama, kaya yang aku rasakan ke Mr. Alex." Aku menghembuskan napas panjang, sembari bergumam lirih. Tangan ini, merengkuh dada, merasakan sebuah sesak yang ingin kulepas. Namun, tak bisa. "Non Kanaya, ditunggu Tuan, sama Nyonya buat makan malam." Suara Bi Asih, salah seorang pembantu rumah tangga pun terdengar. Aku sengaja tak menyahut, dan memilih berjalan ke atas ranjang. Lalu, memejamkan mata. Biar saja mereka mengira aku sudah tertidur. Lebih baik, memang seperti ini. Lebih baik, malam ini aku menghindar, dan terlelap ke alam mimpi. Tok tok tok Suara ketukan pintu pun kembali terdengar. Namun, aku tahu, ketukan itu, terdengar berbeda dari ketukan yang kudengar tadi malam. Perlahan, aku membuka mata. Suasana di sekitar, terlihat terang. Cahaya mentari pun sudah mengintip dari celah tirai jendela. "Kanaya ...!" panggil sebuah suara dari arah luar. Sebuah suara yang kutahu, siapa pemiliknya, yaitu Papa. "Iya Pa ...." "Papa tunggu sarapan di bawah ya!" "Iya Pa sebentar," jawabku, kemudian bergegas bangkit dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Sejenak, kutatap wajah pada cermin yang ada di atas wastafel di dalam kamar mandi tersebut. Wajahku, tampak begitu sendu dan lengket, dipenuhi air mata yang mengering. "Lupakan Kanaya!" gumamku lirih, sembari membasuh wajah. Setelah itu, aku turun ke bawah untuk sarapan. Saat berjalan, aku terus menegarkan perasaan, jika bertemu Papa, dan Mama. Namun, ketika aku sampai, aku tak mendapati Mama ada di sana. Hanya ada Papa, dan Kenan. 'Kok Mama nggak ada? Kenapa Mama nggak ikut sarapan?' batinku, sembari memasang wajah ceria. Lalu, mendekap adik tampanku. "Uh adeknya Kaka udah gede ya?" Kenan pun menoleh. Wajahnya sontak sumringah melihat kehadiranku. "Kak Kanaya, akhirnya Kakak keluar juga! Tadi malem Kenan tunggu, malah nggak keluar-keluar!"' "Kakak cape Kenan, jadi Kakak bobo cepet tadi malem." "Janji ya, nanti siang main sama Kenan." Aku pun terpaksa mengangguk, meskipun sebenarnya ragu karena hari ini ada janji dengan teman-temanku. "Pa, Mama mana?" "Mama ada kerjaan, dia udah berangkat satu jam yang lalu." Bibirku seketika membulat. Sekarang aku baru tahu, Mama memang benar-benar sibuk. "Kenan, kamu ga sarapan?" "Nanti nunggu Bi Asih." "Nunggu Bi Asih?" sahutku, sembari mengerutkan kening. "Nunggu disuapin Bi Asih, kaya biasa." Kenan menyahut dengan cuek. Netranya terus tertuju pada gatget yang ada di tangan. "Kenan, gimana kalau Kak Kanaya aja yang nyuapin kamu?" "Suapi? Bukankah itu kerjaan Bi Asih? Biasanya Kenan disuapi Bi Asih, tapi kayaknya emang Bi Asih lagi sibuk. Jadi, Kenan main game dulu deh," jawab bocah itu dengan begitu polosnya. "Bi Asih masih sibuk jadi biar Kak Kanaya aja yang suapi ya." "Ya udah deh. Kenan suapin Kak Kanaya aja," jawab Kenan, pada akhirnya. Aku kemudian duduk di samping Kenan, lalu menyuapkan sarapan untuknya. Akan tetapi, meskipun sedang fokus pada Kenan, aku tak bisa mengendalikan perasaan ini. Tanpa sadar, aku sudah beberapa kali curi pandang pada Papa yang sedang sarapan dengan begitu tenang. Namun, kali ini netraku, agak sedikit terganggu dengan penampilan Papa yang terlihat kurang rapi. "Pa, boleh nggak aku rapiin dasi, Papa? Dasinya sedikit melenceng?" Entah mendapat keberanian dari mana, aku tiba-tiba berbicara seperti itu. Mendengar perkataanku, Papa pun terdiam. 'Astaga, kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku bicara seperti itu?' batinku, sembari meneguk salivaku, disertai rasa cemas di dada. "Maaf Pa ...." Kekehan Papa pun terdengar "Kenapa kamu minta maaf, Nak? Tentu aja kamu boleh bantu rapiin dasi Papa. Kamu itu putri kecil kesayangan Papa." 'Putri kecil? Hanya sebatas itukah aku di mata Papa? Astaga kenapa aku harus kecewa? Bukankah memang benar, aku adalah putri kecilnya?' batinku, sembari tersenyum. "Sini Kanaya, rapiin dasi Papa." "I-iya, Pa." Aku kemudian mendekat pada Papa, yang kini sudah berdiri menunggu. Perlahan, aku pun memegang dasi yang dikenakan oleh Papa, sembari sesekali melirik wajah tampan yang ada di depanku. Akan tetapi, sikap lancangku ini, ternyata kian membuat perasaan ini semakin menggebu. Hingga, tanpa sadar, tanganku pun mendarat di wajah tampan Papa, lalu mengusap wajah tampan itu. "Kanaya, kamu lagi ngapain?"Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari