KEESOKAN HARINYA ....
Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi. Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya. Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja. Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seorang laki-laki beristri, adalah sebuah kesalahan, dan aku tak mau terjebak lebih dalam. Karena itulah, tadi malam aku tak menghiraukan lagi dengan permintaan Mr Alex. Dalam benakku, aku hanya mau pulang, dan memulai kehidupan dengan lembaran baru. Perjalanan selama satu setengah jam, akhirnya terlewati. Setelah turun dari pesawat, aku berjalan dengan begitu tergesa-gesa, seolah sudah tidak sabar bertemu dengan keluargaku. Hingga akhirnya, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kedatangan luar negeri. Entah mengapa, saat melihatnya, jantungku tiba-tiba saja berdetak begitu kencang. Bahkan, tanpa sadar, aku sudah meneguk salivaku melihat penampilan matangnya, yang bisa kusebut sangat keren. Meskipun, aku tahu, usianya hampir menginjak kepala 4. Kali ini, sosok Papa Alan terlihat begitu berbeda. Di mataku, dia seolah bukan lagi sosok orang tua. Namun, pria dewasa yang kukagumi. "Kanaya ...!" Suara bariton itu terdengar memanggil, dan sontak menyentak lamunanku. Padahal, aku masih ingin menikmati pesonanya, dan jujur saja, aku belum mampu mengendalikan perasaan ini. Namun, aku harus kembali pada kewarasanku, dan bersikap biasa saja. Aku pun melangkahkan kaki mendekat pada Papa. Aku tak mau dia curiga melihatku yang hanya menatapnya sembari diam mematung. "Anak Papa udah pulang?" Suara rendah itu, terdengar begitu menggetarkan kalbu, dan membutakan gugup. Aku pun hanya bisa menarik kedua sudut bibirku, seraya mengangguk, dan membiarkan laki-laki dewasa itu memelukku. Mata ini, seketika terpejam saat merasakan pelukan hangat itu. Bahkan, bulu kudukku pun ikut meremang ketika hembusan napas hangat Papa menerpa kulit sensitif ini. Setelah sekian detik berlalu, Papa melonggarkan pelukannya, lalu menatapku dengan tatapan hangat. Tatapan orang tua yang menyayangi putrinya. Namun, entah mengapa aku justru salah tingkah. "Anak Papa udah gede sekarang. Gimana tadi perjalanannya?" "It's okay. Kok Papa sendiri? Papa sama Kenan mana?" jawabku dengan tenang, sangat berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan. "Mama di rumah. Dia lagi nggak enak badan. Kemarin sore, dia baru pulang dari luar kota. Kalo Kenan, kamu tau sendiri ini 'kan bukan hari libur. Dia berangkat sekolah." Aku mengangguk, disertai gelagat salah tingkah, dan sepertinya Papa Alan mulai menyadari keanehan sikapku. "Kok kamu jadi diem? Apa kamu lagi sakit?" "Nggak Pa, cuma cape aja. Agak ngantuk, soalnya kemarin, pesta perpisahannya sampe dini hari." "Ya udah kita pulang sekarang ya!" Papa mengambil alih koperku, sembari menarik tangan ini berjalan menuju mobil. Aku pun mengikuti langkah Papa, sambil terus menatap genggaman telapak tangannya pada lenganku. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, aku memejamkan mata. Sebenarnya aku tak mengantuk, tapi aku bingung dengan perasaanku sendiri. Sedangkan Papa, mungkin menganggap aku benar-benar tidur karena tadi aku mengatakan aku ngantuk, karena pesta perpisahan tadi malam. Padahal, tadi malam aku pulang cepat. Bahkan, pukul sepuluh saja aku sudah terlelap. Setengah jam kemudian, kami sampai di rumah. Papa mencondongkan tubuhnya hingga membuat aroma maskulinnya terasa begitu mengintimidasi. "Kanaya, bangun ...!" Aku pun membuka mata, dan bertingkah seolah-olah baru terbangun dari tidurku. "Ayo turun!" Aku mengangguk, lalu mengikuti Papa turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu rumah. Sedangkan barang-barangku dibawa pembantu rumah tangga kami. Ketika aku berdiri di ambang pintu, tampak sosok perempuan sedang tersenyum sembari menatapku dengan tatapan teduh. "Kanaya ...!" Wanita itu merentangkan tangan, sambil menganggukkan kepala, seolah memberi kode agar aku memeluknya. "Kanaya, peluk Mama. Mama kangen sama kamu." Suara bariton rendah itu kembali terdengar, dan membuat hatiku kembali bimbang. Perlahan, aku pun mendekat pada Mama Arumi, lalu memeluknya. "Anak Mama, apa kabar, Sayang? Mama kangen banget sama kamu." Seketika aku merasa bersalah pada wanita cantik ini. Aku merutuki diriku sendiri yang tiba-tiba memiliki perasaan aneh itu pada Papa. "Kanaya, kok diem?" "Maafkan aku, Ma."Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari