Esoknya, Bara yang tidak tahu apa-apa dibuat kelimpungan saat pak bos memintanya mencari penghulu, lebih terkejut lagi karena bosnya yang akan jadi pengantin. Tambah mengejutkan lagi dengan Anulika rekan kernya yang menjadi mempelai wanitanya.
“Apa-apaan ini?” pekiknya sendirian, namun tetap saja dia mengerjakan apa yang diperintahkan sang bos. Sedangkan gadis cantik itu memberengut saja dari tadi, ia kira menikah dengan bos besar walau hanya secara agama, ia akan memakai gaun putih yang cantik dan mahal. Tapi ini apa, ia hanya memakai baju kerjanya. Sederhana namun terasa berat oleh beban yang tak kasat mata. Selendang putih menutupi kepala mereka berdua, simbol kesederhanaan yang mereka junjung. Dengan perasaan yang campur aduk, Lika menatap Naka yang kini resmi menjadi suaminya. Sesuai dengan kesepakatan, mereka menikah secara sederhana di ruangan kecil dengan hadirnya dua saksi yang seolah muncul begitu saja dari balik pintu. Setelah akad nikah yang berlangsung singkat dan diucapkan dengan suara yang hampir tak terdengar, penghulu menyatakan mereka sah sebagai suami istri. Lika, dengan rasa kikuk yang mendalam, mendongakkan kepala untuk menatap Naka. Apa yang harus dia katakan? Apakah ini awal dari sesuatu yang indah, atau hanya formalitas belaka? Naka, dengan wajah yang tidak bisa dibaca emosinya, segera berdiri dan berkata dengan nada yang lebih mirip perintah, "Kembali ke kantor." Lika yang masih mencoba menyesuaikan diri dengan realita baru ini, mencoba meringankan suasana. "Kok ke kantor sih, Pak. Nggak bulan madu nih kita?" godanya dengan nada santai. Namun, respons Naka tidak seperti yang diharapkan. Wajahnya mengeras, dan dari dalam dada yang tegap itu terdengar geraman tidak sabar. "Jangan banyak mau!" bentaknya, membuat jarak antara mereka semakin terasa. Lika tertegun, menyadari bahwa mungkin ini semua hanya transaksi, bukan pernikahan yang didasari perasaan. Hatinya mencelos, namun di wajahnya ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaan yang membara. “Galak banget.” Gumamnya. Bara yang ada disana pun kikuk. Ini dia harus memberi selamat atau bagaimana, dia juga kan turut berbahagia jika ada yang menikah. “Hmm, Bos selamat ya atas pernikahan barunya.” Ucapnya sopan. Namun tatapan mata Naka yang tajam menciutkan nyali Bara seketika. “Silakan masuk, bos.” Dia langsung membuka pintu mobil dan mempersilakan sang bos masuk ke dalam Bersama istri barunya. “Ciyeee pengantin baru.” Ledeknya pelan pada Lika. “Apa sih.” Cebik Lika galak. * * Anulika tidak habis pikir, kenapa dia malah dpindah tugaskan ke Gudang. Banyaknya karyawan pria disana juga membuat dia risih, lagipula pendidikannya sangat mumpuni jika dia ditugaskan ke Gudang. “Kok bisa sih pak?” tanyanya pada bagian HRD setelah dia diminta menghadap. “Ya bisa, ini Keputusan bos.” “Bos siapa?” “Ya pak Naka, memangnya bos kamu ada berapa Anulika?” tanya bagian HRD gemas. “Ya tapi kenapa pak?” tanyanya bingung. “Pekerjaan kamu enggak bagus jadi sekretaris bos. Atau kamu melakukan kesalahan, hanya kamu yang bisa menjawabnya sendiri.” Ujar Seno, kepala bagian HRD tempat Lika bekerja. “Sa-saya.. Saya rasa enggak ada masalah deh pak. Baik-baik saja.” “Ya berarti bos Naka yang bermasalah dengan kamu.” Serunya kembali. Ah iya benar juga. Ada masalah apa ini suaminya eh salah, bosnya pada dirinya. Sampai dia dipindah ke bagian Gudang. Malah seharusnya Lika naik jabatan jadi manager atau direktur sekalian, secara dia kan sudah sah menjadi istri bos. Ya, walaupun hanya secara agama saja pernikahan mereka. Lika pun keluar dari ruang HRD, mulai terdengar bisik-bisik jika dia dipindah tugaskan karena mengacau di pekerjaannya sebagai sekretaris bos besar. “Lika, kamu pindah ke gudang? Kekacauan apa yang kamu bikin?” pertanyaan mengejek dari Kimberlly, salah satu rekan kerja Lika diperusahaan itu. Sog cantik sekali, mana genit semua pria dirasa menyukainya saja. “Enggak ada masalah kok Ceu Kikim, santai saja.” Seru Lika berani. “Eh kamu jangan songong ya, anak baru saja songong.” “Siapa yang anak baru sih. Aku udah lumayan lama ah disini.” Serunya, dia pun sambil berjalan ada hal yang lebih penting yang harus dia urus. “Sudah ya bye Ceu Kikim.” Kikik Lika. * * Dengan langkah cepatnya Lika langsung menemui bosnya. Dia mau bertanya langsung ada masalah apa sampai dia harus dipindah tugaskan, memangnya dia punya salah apa. Dan ini harus diselesaikan secara jantan. Lika masuk begitu saja keruangan bosnya, hei kan sudah jadi suami Lika punya hak dong. “Pak Naka.” Pekiknya lantang. Bara dibelakangnya mencoba menahan gadis ini yang kurang ajarnya langsung masuk ruangan bos. Namun Naka memberi kode Bara untuk membiarkan, Bara pun menutup pintu an Lika langsung berjalan mendekat. “Ada apa?” tanya Naka dingin dengan mata yang masih fokus pada berkas ditangannya. “Pak kok Lika dipindah ke bagian gudang sih?” tanya Lika berkeluh pada bos yang juga suaminya itu. “Itu perintah, Lika!” jawab Naka masih acuh. “Iya tapi apa kesalahan saya pak?” tanyanya membela diri, karena merasa dia tidak melakukan kesalahan dalam hal pekerjaan. “Kenapa kamu berani sekali bertanya?” “Berani pak, karena saya enggak ngerasa salah kok.” Naka meletakkan berkas di meja, dan menatap gadis muda dihadapannya itu. “Pertama, saya tidak butuh sekretaris lagi. Bara sudah cukup. Kedua.. Saya nggak mau didekat kamu, Lika. Itu akan membuat rahasia kita terbongkar.” jawab Naka datar. Lika membelalakkan matanya, ia kira dia melakukan kesalahan sehingga dipindahkan ke bagian gudang. Ternyata karena masalah pribadi mereka saja yang menjadi alasannya. “Kok karena hal pribadi sih pak. Saya juga enggak akan membuka rahasia kita, malu pak!” serunya mulai jengah akan sikap otoriter Naka. “Itu sudah menjadi keputusan saya, Lika. Dan ingat, saya pimpinan kamu disini.” Ingatnya. “Tapi kenapa harus gudang pak.” “Disana saja yang terjauh.” “Enggak sekalian saja dikantor cabang.” Deliknya. “Kamu mau? Nanti saya urus.” Jawab Kana santai. “Eh eh nggak pak, jangan disini saja. Kejauhan saya berangkatnya.” Lika buru-buru meralat ucapannya bisa berabe dia kalau pindah ke kantor cabang. Merasa ada ide, dia mendekati Naka yang duduk di kursi kebesarannya, tanpa aba-aba dia langsung duduk dipangkuan bosnya eh suaminya. “Apa yang kamu lakukan?” pekik Naka terkejut ada gadis nakal duduk dipangkuannya. “Ih pak Naka, kan Lika istri bapak. Jadi wajar dong kalau duduk disini.” jawabnya malu-malu, melingkarkan tangannya dileher suaminya yang terbujur kaku. “Heheheh.. Kok nyaman yah.” Ujarnya semakin menggoda. “Turun Lika, nanti ada yang lihat” “Nggak ada, sepi kok,” Naka berdecak malas, ia menyentak tubuh seksi gadis itu, namun tangan yang melingkar dilehernya, dikuatkan gadis itu. “Diam dulu.” ujar Lika. “Mau apa?” “Mau merayu pak suami. Kata orang kalau istri mau sesuatu suaminya harus dirayu dulu pak.” Naka bedecak malas, mereka bukan suami istri yang sesungguhnya apa gadis ini amnesia, pikir Naka. “Apa mau kamu, cepat!” Naka tidak nyaman ia khawatir Bara atau keluarganya datang, tanpa mengetuk pintu. Humppp.. Tanpa aba-aba, istrinya langsung menyumpal bibir Naka dengan berani. Membuat Naka tertegun sesaat, bibir manis yang sempat menggodanya kini ia rasakan lagi. Meski hanya ditempelkan, namun sangat terasa bagi Naka. **Anulika hanya bisa geleng kepala, saat sang suami memenuhi keinginan absurd sang putri, Belinda. Bagaimana tidak, putrinya minta pindah sekolah hanya karena tidak suka makanan di kantin, yang katanya semua tidak ada rasa.“Sudah sayang, tidak apa. Mungkin Belinda ada yang tidak nyaman di sana, dan tidak mau bercerita pada kita,” ucap Naka mengelus punggung sang istri.Naka memandangi wajah Belinda yang cemberut, matanya memelas meminta restu untuk pindah sekolah. "Papi, aku betul-betul tidak suka makanannya di sana," keluh Belinda dengan nada yang hampir menangis.Lika yang sejak tadi memperhatikan, merapatkan bibirnya, tanda ketidaksetujuannya semakin mendalam. "Mas, kita harus ajarkan dia untuk bertahan dan beradaptasi, bukan malah memanjakannya," ucap Lika, suaranya mencoba keras untuk tetap tenang meski jelas terlihat frustrasi.Namun, Naka hanya mengelus kepala Belinda, matanya penuh dengan kasih sayang. "Baiklah, kita cari sekolah yang cocok untukmu," janjinya lembut, membuat Be
5 tahun kemudian ..Srekkkk..Prang..Dukk..Segala bunyi aneh mulai terdengar silih berganti di kediaman Anulika dan Bayanaka Rasyid Gasendra. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan si bontot Belinda Charlene Gasendra.Si bungsu sudah berusia lima tahun, kerjanya hanya memporak porandakan rumah saja. Nanti ketika sang mami berteriak kencang, baru dia mau berhenti.Bunyi sayatan dari sofa kulit terdengar, Belinda asik menusukkan gunting yang bekas digunakan sang kakak, Galen. Hingga pecahan gelas karena dia tidak kencang memegang gelas atau ia yang terjedot tembok. Anehnya, dia tidak akan menangis. Tapi kalau maminya sudah marah, Belinda akan menangis sesenggukan. “Sayangggg,” pekik Naka saat pulang dari kantor melihat kelakuan sang anak.Belinda yang melihat papinya pulang langsung melompat kesenangan, “Papi papi,” panggilnya, menodongkan tangan minta digendong.Naka menghela napas melihat anaknya bermain dengan gunting. “Tidka boleh main ini berbahaya.” Naka mengatakan dengan lembu
Naka langsung mengambar sebuah tas besar yang berisi perlengkapan bayi mereka dan Lika. Sepekan setelah dokter mengatakan Lika akan melahirkan, mereka memang mempersipakan semuanya.Lika memegang perutnya, merasa nyeri akan kontraksi yang datang silih berganti. “Mas,” rintih Lika mengejan.“Tahan Yang, jangan di sini.” Naka panik dengan Lika yang kelihatan mengejan.Si kembar yang kebingungan menangis, pelayan pun menenangkan mereka.“Jaga anak-anak,” perintahnya pada pelayan, namun Gala dan Galen menangis histeris melihat mami mereka kesakitan.“Papi itutttt,” teriak mereka.Ah bala bantuan dari kakek nenek tidak datang, saat dibutuhkan. Naka yang tidak tega pun akhirnya menyuruh pelayan membawa mereka di mobil yang berbeda. Lika sudah tidak bisa mengurusi, rasa sakit mengalahkan segalanya.“Kamu nggak nyetir sendiri, mas?” tanya Lika keheranan, karena ada supir di dalam.“Aku nggak kuat, Yang. Supir saja sudah,” lirih Naka, Lika mau tertawa tapi tertahan karena rasa sakitnya.**Me
Anulika terus memandang takjub akan kamar bayi perempuan yang sedang dikandungnya. Bagaimana tidak, kamar bayi dulu bekas kamar si kembar disulap sang suami sangat girly sekali.Kamar yang telah Naka siapkan untuk sang bayi perempuan memancarkan kesan lembut dan hangat. Dinding-dindingnya dicat dengan warna krim yang terang, memberikan kesan lapang dan bersih. Di sudut ruangan, terdapat tempat tidur bayi yang dilengkapi dengan kelambu tipis berwarna putih, menambah nuansa mimpian dan perlindungan.Di sekeliling kamar, terpajang beberapa pernak-pernik berwarna pink yang menambah keceriaan. Sebuah mobile dengan boneka kecil berbentuk bintang dan bulan menggantung di atas tempat tidur, siap menemani tidur sang bayi dengan lembutnya irama yang ditiupkan angin. Lantai kayu berwarna terang dipilih untuk kesan hangat dan alami, dan di atasnya terhampar karpet lembut dengan pola geometris sederhana yang nyaman untuk kaki kecil yang mungkin akan belajar merangkak di sana.“Bagus banget, mas.”
Lika berjalan dengan penuh semangat menuju kantor suaminya, hatinya berbunga-bunga membayangkan kejutan yang akan dia berikan kepada Naka. Bawaannya rindu terus sama sang suami tercinta.Lika ini jarang ke kantor Naka, padahal masih banyak teman-teman lama. Sudah jadi Nyonya besar dia, jadi menunggu suami pulang saja ke rumah.Ceklek,Dengan penuh keyakinan, dia membuka pintu ruangan suaminya sambil berseru lembut, "Papi sayang." Lika menyapa dengan mendayu lembut. Bara tidak ada di mejanya, pasti sedang mewakili suami di luar kantor.Deg,“Sayang,” sahut Naka membalas dengan raut terkehutnya.Namun, kegembiraannya seketika memudar saat melihat Naka sedang serius memimpin rapat dengan beberapa karyawan. Ruangan yang tadinya penuh dengan suara diskusi mendadak hening, semua mata memandangnya dengan tatapan terkejut.“Ehh, lagi rapat ya.” Lika meringis, malu sekali. Dia sudah menanyakan suaminya ada di kantor tidak, Naka menjawab ada. Memang ada, tapi sedang memimpin rapat.Lika merasa
Lika dan Naka merasa senang, masalah Martha dapat diselesaikan dengan baik. Eza dan Rendi Surya juga sudah meminta maaf pada Naka, karena memang keduanya tidak terlibat dalam rencana Martha.Kini, Lika dan Naka sedang mengadakan acara gender reveal bagi anak ketiga mereka. Awalnya Lika tidak mau, karena si kembar dulu juga tidak ada acara. Namun, Mama Nyra mengatakan tidak apa-apa, karena keadaan sudah berubah menjadi membaik. Akhirnya Lika pun mau mengadakan acara itu.Di tengah taman hotel yang luas, berbagai dekorasi alam telah disiapkan dengan cermat untuk pesta gender reveal Lika dan Naka. Lika sendiri yang turun tangan, meski suaminya sudah melarang. “Sayang percuma pakai EO, kalau kamu juga yang atur,” pekik Naka, menarik pinggang suaminya,Lika tertawa, melihat suaminya merengut karena ditinggal istrinya keluar. Mereka sudah berada di hotel, tempat acara akan berlangsung besok. “Gemes mas, ini terlalu indah. Jadi aku mau ikut terlibat,” jelas Lika.“Nggak usah,” tegas Naka,
Lika mendekati suaminya, seharian ini dia membiarkan Naka dengan si kembar. Mereka mandi bareng, bermain, makan dan memberantakan rumah dengan segala isinya. Lika acuh saja, dia tahu Naka sedang berusaha mengembalikan mood-nya, setelah kejadian tadi malam.“Hei,” sapa Lika memberikan secangkit cokelat hangat untuk Naka.Naka menerimanya dengan senyuman manisnya, “Terima kasih sayang,” balasnya.Lika duduk di samping suaminya, menyenderkan kepala manja di lengan sang suami. “Kamu sudah membaik, mas?” tanyanya pelan.Naka mengangguk, “Yeah, berkat kamu sayang.”“Ingin membahasnya?”Naka terdiam, dia tahu soal apa tapi bingung mau memulainya darimana. “Entahlah, apa kamu bisa menerima ini, sayang.”“Maksud mas?” Lika menegakkan duduknya.Naka menghela napasnya berat, lalu memandang penuh cinta istri cantiknya. “Tadi malam sangat kacau, aku berjanji tidak akan mengulanginya kembali.”“Siapa yang taruh obat itu, mas. Gimana bisa, aku masih nggak ngerti?”Naka pun menjelaskan, jika dia hadi
Lika menatap suaminya, Naka, dengan kebingungan saat pria itu masuk ke dalam kamar mereka dengan langkah gontai.Brak!“Mas,” pekik Lika saat Naka masuk kamar dan langsung jatuh ke lantai.“Mas mabuk ya?” tanyanya seraya membantu suaminya berdiri.Wajah Naka pucat pasi dan keringat bercucuran membasahi kemeja yang dikenakannya. "Mas, kenapa?" tanyanya dengan suara yang penuh kekhawatiran.Naka tidak menjawab, hanya berjalan lunglai menuju kamar mandi sambil menahan dinding. "Lagi sayang," pekiknya, suaranya terdengar serak.“Lagi apa?” tanya Lika heran. “Isi dengan air dingin dan tambahkan es batu."Lika bergegas menuruti perintah suaminya, sambil hatinya berdebar kencang, takut ada sesuatu yang serius terjadi pada Naka. Dia mendengar suaminya menggeram kesakitan dari dalam kamar mandi.“Mas kenapa, jangan bikin aku panik,” pekik Lika, karena Naka langsung menyeburkan diri ke dalam bathube tanpa membuka bajunya.Hap!Naka menahan tangan Lika, saat istrinya mencoba melepaskan dasi yan
Suara musik makin menggema, padahal hari sudah sangat larut malam. Naka yang merasakan sedikit pusing, memutuskan untuk berdiam dulu. Mencoba menghilangkan rasa pusing di kepala, mungkin karena lampu kelap kelip dan musik yang begitu kencang. Membuat kepalanya menjadi pening.Sementara itu, Martha terus berbicara tentang peluang bisnis yang bisa mereka eksplorasi, sesekali tertawa dan menepuk bahu Naka. Naka hanya bisa mengangguk, sambil terus mencari strategi untuk bisa keluar dari situasi yang semakin membuatnya tidak nyaman ini.Naka merasa kepalanya berputar, tubuhnya tidak stabil seolah melayang. Dia memegangi dinding berusaha menjaga keseimbangan. Rendi tertawa kecil saat melihat Naka mengambil gelas itu, "Hanya sekali, Naka. Nikmati malam ini," katanya penuh arti.Sesudah minum, Naka langsung merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa panas dan dingin secara bersamaan, dan kepalanya seperti dipukul dengan palu.“Aku ke belakang dulu.” Naka berdiri dan pergi. Lebih baik dia kabur sa