LOGINTangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat.
Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.
Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya.
"Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya.
"A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.
Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya.
"AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat.
"Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang kemudian menggigit cuping telinga Felly dengan lembut.
Hal itu rupanya mampu mengalihkan perhatian Felly hingga tanpa ia sadari, tangan besar itu sudah menelusup masuk ke dalam celananya.
"Kamu bilang jangan, tapi kamu sudah basah di sini," bisik lelaki itu dengan seduktif.
Felly menggigit bibirnya, rangsangan di area vitalnya benar-benar tak bisa ia tahan.
"Ng-nghh, s-stop!"
Saat laki-laki itu kian liar menjamah, akhirnya isakan Felly pun pecah.
"Ahh! J-jangan, kumohon jangan. Hiks …" Isakan yang perlahan menjadi sebuah gerungan penuh kesedihan.
Hal itu membuat lelaki itu terdiam. “Apa kamu baru di sini? Masih perawan?” tanyanya dengan kening berkerut.
Felly tak sanggup menjawab, tubuhnya bergetar karena sisa sensasi yang asing, berpadu dengan rasa takut yang membuatnya menangis.
Lelaki itu menghela napas dan membiarkan Felly, berbaring di samping Felly tanpa berkata apapun lagi.
—
Entah pukul berapa, Felly bergerak pelan. Lututnya masih begitu ngilu akibat didorong oleh para preman yang merangkap jadi debt collector semalam, pun badannya masih sakit-sakit sebab pelariannya dari kejaran debt collector kemarin.
Dengan erangan tertahan, Felly turun dari ranjang. Dalam keremangan, ia berjalan menuju sebuah pintu yang sudah ia ketahui sebagai kamar mandi.
Di dalam, ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Air mata kembali membasahi pipinya, namun samar oleh air yang mengalir dari shower yang menyala.
"Semalam aku masih dikasihani oleh laki-laki itu, tapi hari ini bagaimana? Apa aku kabur saja? Nasibku begini sekali. Sudahlah yatim piatu, dijual pula oleh debt collector itu untuk melunasi hutang-hutang ayahku. Huhuhu …"
Suara Felly serak, berkejaran dengan suara air yang tiada henti membasahi tubuhnya.
Tak ingin berlama-lama meratap, Felly segera mematikan keran dan meraih handuk dari kabinet kamar mandi.
Ia keluar dari ruangan basah itu, menatap sekeliling yang temaram, membuatnya kesulitan mengenali bajunya sendiri.
Di pinggir ranjang, nampak siluet seseorang masih tertidur dengan lelapnya, seolah tak terganggu dengan aktivitas Felly yang sudah bergerak ke sana kemari.
"Kalau aku menyalakan lampu, apakah akan mengganggu tidurnya?" gumam Felly.
Setelah pertimbangan panjang, Felly akhirnya mendekati saklar lampu dan menyalakannya.
"Maaf mengganggu tidurmu, aku hanya sebentar," gumamnya yang ia yakin hanya akan didengar oleh dirinya sendiri.
Felly mengendap-endap memunguti bajunya satu persatu. Saat mengambil bra-nya yang tercecer di dekat ranjang, Felly sempatkan melirik pada laki-laki itu yang masih tertidur.
"Tampan," gumamnya, yang entah kenapa ada perasaan tak menentu di dalam dadanya.
Mengingat semalam ia hampir direnggut keperawanannya oleh seorang laki-laki tampan, sosoknya sangat menawan membuatnya merasa jika laki-laki ini terlalu buruk.
Walaupun kata dua preman yang membawanya semalam itu telah berusia empat puluh, mungkin jika jadi direnggut dia tak akan sedih berkepanjangan.
"Ah, dasar otakku."
Memang, ketampanan bisa mengaburkan kewarasan.
Segera tersadar, Felly lalu kembali mematikan lampu utama dan berganti pakaian di sana. Pikirnya, toh, laki-laki itu masih tertidur.
Setelah kembali berpakaian rapi, Felly menatap bingung antara laki-laki itu dan juga pintu keluar.
"Aku pergi dulu, terima kasih, walaupun aku tak tau kenapa aku berterima kasih padamu. Ya, setidaknya aku tidak akan diganggu selama enam bulan ke depan."
Dengan mengendap-endap dan langkah dibuat sepelan mungkin, Felly membuka pintu dan keluar dari kamar itu dengan aman.
Preman-preman yang menungguinya pun tak nampak batang hidungnya, klub yang semalam ramai oleh musik yang berdentang, kini nampak sepi melompong. Hanya ada beberapa orang yang bekerja di sini tengah membereskan segala kekacauan.
—
Marvin menatap pada pintu yang tertutup, pandangannya tajam.
Ia kemudian berdiri, membiarkan selimut hangat itu jatuh ke lantai dan membuatnya tak diselimuti barang sehelai benangpun. Tubuhnya bak pahatan dewa Yunani begitu sempurna.
Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju kamar mandi dan mulai mengguyur tubuhnya agar lebih segar.
Ingatannya berputar pada pemandangan tubuh Felly semalam, meski tak jadi menidurinya karena iba.
"Shh, sialan," desisnya kala menyadari area selatannya telah berdiri tegak. Membuatnya mau tak mau mengurutnya hingga pelepasan datang.
Seusai mandi, Marvin mengambil gawainya dan menghubungi seseorang.
"Cari tau tentang gadis yang semalam tidur denganku." titahnya tanpa bisa dibantah.
—
Seminggu berlalu sejak kejadian malam itu. Felly menatap penuh binar pada berkas di tangannya.
Dirinya baru saja membayar uang kuliahnya untuk semester baru yang sudah dilaksanakan dua minggu lalu. Memang sangat mepet, untung saja pihak keuangan kampus bisa menerima alasannya sehingga ia bisa membayar dengan sedikit terlambat.
Kematian ayahnya tentu saja alasan yang tak bisa ditolak siapapun.
Hari ini, tidak ada jadwal. Felly akan langsung ke minimarket untuk bekerja. Namun, di tengah perjalanannya, langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya.
"FELLY!" suara cempreng namun ramah itu membuat Felly berbalik dan tersenyum.
"Gistaaa!" Felly merentangkan tangannya dan sahabatnya itu langsung menyambut.
Mereka berpelukan cukup lama, sampai kemudian Gista menarik lengan Felly menuju saung yang berada di bawah pohon besar.
"Kamu sudah baikan?" tanya Gista dengan tatapan penuh kekhawatiran. Pasalnya, sahabatnya sejak semester satu ini menghilang begitu saja setelah mengabari ayahnya meninggal dunia.
Gista tidak bisa menghubungi Felly yang mematikan ponselnya karena terus diteror oleh para debt collector yang entah mengetahui nomornya dari mana.
Felly mengangguk menanggapi pertanyaan Gista.
"Puji Tuhan sudah lebih baik. Bagaimana perkuliahan semester lima? Apakah menyenangkan?" tanya Felly sembari tersenyum gemas.
Melihat bagaimana frustrasinya wajah Gista, sudah dapat dipastikan semuanya tidak baik-baik saja.
"Stres, kepalaku rasanya mau pecah. Baru pembukaan semester saja tugas kita sudah bertubi-tubi. Dosen-dosen itu tidak tau apa kalau kita juga butuh kehidupan yang normal?"
Gista menggerutu dengan penuh semangat, mengumpati beberapa dosen yang selalu menggunakan template yang sama saat melihat mahasiswanya menggerutu mengenai tugas.
"Kalian ini sudah mahasiswa, seharusnya bisa mengatur hidup kalian dengan baik. Saya dulu juga pernah merasakan seperti kalian. Cih, kalau tau sudah pernah merasakan, kenapa harus balas dendam pada kita yang tidak tau apapun, kan? Huh."
Felly tergelak, Gista dan banyolannya memang selalu bisa menghiburnya.
"Omong-omong, kapan kamu akan masuk ke kelas lagi?" tanya Gista.
Felly mengetuk-ngetuk dagunya dengan jemari, lalu tersenyum dan menjawab, "Besok. Aku akan mulai masuk. Aku sudah membayar biaya kuliah tadi."
Gista mengangguk puas. "Oke! Aku akan tandai bangku untukmu."
Felly mendengus, "Tandai bangku apanya. Kamu, kan, selalu telat, yang ada aku yang mengetap kursi untukmu."
Gista cengengesan. "Hehe, selama dua minggu ini aku selalu terlambat dan duduk paling depan, betul-betul di hadapan dosen. Oh, bicara mengenai dosen, ada satu dosen tampaaaann sekali. Tapi killer parah! Satu sisi aku suka melihat wajahnya, namun di sisi lain jantungku juga tidak aman karena tatapannya setajam silet!"
Felly hanya tersenyum. "Kamu ini, aku jadi penasaran siapa dosen yang membuat kepalamu berlubang itu."
"Namanya Pak Marvin Lee! Makanya kamu harus masuk besok!”
Perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, ak
Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”Felly terpaku. Suaranya patah.“S
“Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam."Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh."Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pang
Di ruang kelas yang ramai.Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang."Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.Dap dap dap.Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. "D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali waja
Tangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat. Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya."Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya."A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat."Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang ke
"Kalau mau mati, setidaknya jangan tinggalkan beban padaku, Ayah."Gadis itu bersuara lirih, penuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Felly Armany, seorang gadis cantik yang malang. Sejak usia empat belas sudah ditinggal mati ibunya, kini di usianya yang menginjak dua puluh satu, ayahnya menyusul sang ibu dan meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta pada seorang lintah darat.Dua ratus juta! Bayangkan!Mau dapat pundi-pundi dari mana jika dirinya hanyalah mahasiswi semester lima yang hanya bekerja sambilan di minimarket depan gang rumah?Felly menghela napas panjang, menatap kakinya yang terdapat luka-luka sebab pelariannya dari para penagih hutang. Dengan meringis ngilu, Felly menuju saung yang ada di sekitar makam."Malam ini tidur di makam dulu. Aku bisa mati jika pulang ke rumah dan ditemukan oleh para debt collector sialan itu."Memasuki musim hujan, udara jadi panas, namun di malam hari akan sangat dingin. Felly menepuk-nepuk bangku panjang itu dan mulai mer







