LOGINPerkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.
Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.
Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.
“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”
Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”
Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.
“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.
Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, akhirnya Felly menggunakan kartu akses untuk masuk ke dalam.
“Permisi!”
Tak ada sahutan, namun semakin masuk ke dalam, Felly bisa mendengar suara air dari sebuah kamar yang ia taksir adalah kamar mandi.
“Sedang mandi rupanya,” gumam Felly.
Ia memilih untuk duduk di sofa ruang tamu yang empuk. Kantuk melanda tiba-tiba, membuatnya tertidur tanpa ia bisa tahan lagi.
Entah berapa lama Felly memejamkan mata, ia terbangun dan mendapati langit telah menggelap. Terlihat dari jendela besar ruangan itu.
Sembari mengumpulkan nyawa, Felly memperjelas penglihatannya. Ada sebuah siluet laki-laki tengah menatap pada pemandangan malam dari jendela besar itu.
Napas Felly tercekat.
“Sudah bangun?” suara berat laki-laki itu terdengar.
Felly mendongak, tatapannya bersibobrok dengan mata tajam itu.
“I-iya. Maaf saya ketiduran.”
Marvin mematikan rokoknya dan membiarkan puntungnya di atas asbak yang ada di meja. Kemudian ia mendekat dan duduk dengan penuh keangkuhan. Felly salah tingkah, bingung juga harus bagaimana.
Marvin melemparkan sebuah map berwarna coklat ke hadapan Felly.
“I-ini perjanjiannya?” tanya Felly.
“Bukalah!” titah Marvin singkat.
Dengan tangan gemetar, Felly membuka map itu. Membaca satu persatu tulisan yang ada di sana.
“Poin tiga, saya bisa meminta berapapun yang saya butuhkan?”
Marvin mengangguk. “Tulis saja di kolom yang kosong itu.”
Felly meneguk ludahnya kasar, memikirkan nominal yang akan ia minta dari dosen killernya ini.
“Tidak usah terburu-buru. Kamu masih harus membaca keseluruhan kontrak untuk bisa menerka harga untuk diri kamu.”
Jleb.
Menusuk.
Tapi nyatanya Felly memang sedang berada di antara waras dan tidak waras. Menggadaikan kehidupannya untuk menjadi simpanan seorang Marvin Lee, yang mana juga dosennya sendiri di kampus.
Sungguh dunia yang kejam.
Beberapa kali Felly mengubah ekspresinya. Tidak dipungkiri, hal-hal yang tertulis di sana tak pernah ia bayangkan akan muncul di hidupnya.
Ini gila, namun untuk mundur tentu saja tidak bisa. Sudah sejauh ini, mati saja sekalian.
“K-kita juga akan berhubungan i-intim?” Tanya Felly saat membaca poin ketujuh.
Meski awalnya sudah menduga, namun tak menyangka akan benar-benar terjadi.
“Tentu saja. Sebab itulah kamu bisa meminta sendiri nominal untuk harga diri kamu.”
“Bapak ini dosen, tapi kenapa melakukan ini?”
Marvin mengendikkan bahunya. “Dosen juga manusia, Felly. Dan mungkin karena saya tidak mau menikah, lalu saya juga tidak mau berhubungan dengan wanita sembarangan. Maka dari itu, saya menawarkan hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme.”
“Bapak tidak takut kalau saya ini kotor? Atau mungkin penyakitan?”
“Saya tidak bodoh, Felly. Sebelum menawarkan ini, tentu saja saya sudah mencari tau tentang kamu terlebih dahulu.”
Felly tertegun, ‘Benar juga,’ batinnya.
“J-jadi dari awal bapak sudah tau jika saya adalah mahasiswa bapak?”
Marvin terdiam, ia menggeleng.
“Saat kamu kabur dari kamar saya dulu, saya sudah meminta orang untuk mencari tau mengenai kamu. Tapi saya baru membuka berkas kamu pagi lalu sebelum saya memasuki ruang kelas kamu. Jadi, jawabannya antara iya dan tidak.”
“Apa yang membuat bapak akhirnya memilih saya untuk menjadi … menjadi simpanan bapak? Masih banyak gadis yang lain yang mungkin lebih berpengalaman atau lebih cantik dari saya.”
Marvin menatap Felly intens, hingga gadis itu merinding dibuatnya.
“Saya memilih kamu, karena itu adalah kamu. Jangan banyak tanya, lebih baik kita segera tandatangani perjanjian ini.”
Felly menggigit bibirnya. Pena sudah di tangan, namun pena yang beratnya tak sampai satu ons itu terasa begitu berat di genggamannya.
Di dalam surat perjanjian itu tidak banyak hal. Hanya sepuluh poin. Yang paling menonjol seperti bagaimana Felly dibebaskan untuk menuliskan sendiri nominal yang akan ia dapatkan perbulannya, lalu kewajiban untuk melakukan hubungan intim saat Marvin meminta, dan jangka kontrak mereka.
Pikiran Felly penuh, namun kemudian ia menandatangai surat itu di atas meterai yang tersedia.
Sah.
Felly tidak lagi bisa kabur dari Marvin.
Setelah selesai menandatangani surat itu, Felly menyerahkannya pada Marvin.
Pria itu membaca beberapa kolom yang tadinya ia kosongkan untuk Felly isi sendiri.
“Kamu hanya meminta lima juta sebulan? Harga diri kamu hanya setara UMR Jakarta, Felly?”
Felly yang ditanyai begitu, hanya bisa menunduk dan meremat jemarinya sendiri. ‘Terlalu murah kah?’ batinnya.
Marvin menambah beberapa nol di belakangnya, “Saya tambahi, jadi lima puluh juta sebulan.”
Mata Felly membelalak. “Li-lima puluh juta, pak? Tidak terlalu banyak?”
Marvin mendengus. “Saya menghargai harga diri kamu berdasarkan value yang kamu punya. Kenapa? Kamu merasa tidak pantas? Benar-benar cukup di angka lima juta saja?”
Felly menggeleng dengan keras. “T-tidak! M-mau lima puluh juta, Pak!”
Oh, siapa pula yang akan menolak tawaran menggiurkan itu?
“Lalu untuk jangka waktunya, dua tahun?”
Felly menggigit bibirnya. Ia mengisi dua tahun sebab ia pikir hanya akan dihargai lima juta saja perbulan. Memang belum cukup untuk melunasi hutang di rentenir dan bank sekaligus, tapi setidaknya tidak ia memiliki pekerjaan tetap selain di minimarket.
Kalau tau ia akan dihargai lima puluh juta, ia hanya butuh empat bulan saja!
“A-apa bisa dikurangi, Pak?”
Marvin mengendikkan bahunya, “Terserah kamu saja. Saya sanggup membayar kamu bahkan sepuluh tahun ke depan.”
Alangkah sombongnya.
“B-bagaimana kalau …” Felly terdiam. Empat bulan hanya akan mendapatkan uang pas-pasan. “E-enam bulan. Bolehkah kalau enam bulan kontrak kita?”
Marvin menatap Felly dalam-dalam. Kemudian mengangguk.
“Oke.”
Setelahnya, keduanya akhirnya resmi dalam sebuah hubungan kontrak yang saling mengikat.
“Perjanjian dihitung mulai hari ditandatanganinya surat ini. Jadi, saya sudah bisa memakai kamu. Malam ini menginap di sini saja.”
Jantung Felly betulan akan lepas dari tempatnya.
Perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, ak
Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”Felly terpaku. Suaranya patah.“S
“Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam."Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh."Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pang
Di ruang kelas yang ramai.Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang."Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.Dap dap dap.Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. "D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali waja
Tangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat. Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya."Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya."A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat."Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang ke
"Kalau mau mati, setidaknya jangan tinggalkan beban padaku, Ayah."Gadis itu bersuara lirih, penuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Felly Armany, seorang gadis cantik yang malang. Sejak usia empat belas sudah ditinggal mati ibunya, kini di usianya yang menginjak dua puluh satu, ayahnya menyusul sang ibu dan meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta pada seorang lintah darat.Dua ratus juta! Bayangkan!Mau dapat pundi-pundi dari mana jika dirinya hanyalah mahasiswi semester lima yang hanya bekerja sambilan di minimarket depan gang rumah?Felly menghela napas panjang, menatap kakinya yang terdapat luka-luka sebab pelariannya dari para penagih hutang. Dengan meringis ngilu, Felly menuju saung yang ada di sekitar makam."Malam ini tidur di makam dulu. Aku bisa mati jika pulang ke rumah dan ditemukan oleh para debt collector sialan itu."Memasuki musim hujan, udara jadi panas, namun di malam hari akan sangat dingin. Felly menepuk-nepuk bangku panjang itu dan mulai mer







