Pekik tangis keempat gadis itu memancing perhatian para tetangga, satu persatu para tetangga datang, bahkan bude sumi berlari ke rumah pak RT setelah mendengar kabar buruk tersebut.
Keempat gadis itu hanya bisa menangis tak lagi bisa mengontrol emosi mereka, beberapa tetangga wanita mencoba menenangkan para gadis tersebut. Pak polisi akhir nya menjelaskan pada pak RT kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa bus yang di tumpangi ibu, menurut polisi tidak ada satu pun penumpang yang selamat, karena jurang nya lumayan dalam, bahkan proses evakuasi nya aja memakan waktu berjam jam . Jenazah ibu akan segera di antar kan setelah proses investigasi selesai. Semua tetangga bersiap menyambut kepulangan jenazah ibu, begitu lah tradisi di kampung mereka, jika ada kabar duka seperti ini seluruh warga bahu membahu membantu seluruh proses tanpa di minta. Rumah di bersihkan, sebuah kasur di gelar di tengah ruangan. Kursi kursi plastik dan tenda juga di gelar di depan rumah untuk tempat duduk para warga yang datang melayat. Para ibu ibu menemani keempat gadis yang masih menangis, empat gadis kecil kini tak lagi punya orang tua yang akan menjaga mereka, ayah minggat dengan janda kampung sebelah entah kemana dan ibu meninggal dengan tragis. Jam sepuluh pagi suara sirine ambulance membahana memasuki kampung mereka, mobil nya belum terlihat tapi suara nya sudah melengking memecah keheningan. Semakin dekat mobil nya semakin keras suara nya, suara nyanyian kematian yang mengantarkan kepedihan menuju tempat tujuan nya. Sirine berhenti tepat di depan rumah Namiya, warga langsung mengerumuni mobil tersebut. Dua petugas turun dan membuka pintu belakang lalu menarik keluar brankar di mana sosok ibu terbujur di selimuti kain putih. Pekik tangis kembali membahana, kali ini tidak hanya dari ke empat gadis tapi juga dari para warga,ibu ibu yang selama ini bergaul dengan ibu Nia sebagai tetangga,semua nya menangis sesegukan. Jenazah ibu di bawa ke dalam rumah dan di baringkan di kasur yang sudah di persiapkan oleh oleh semua warga. "Ibu... Ibu... Ibu... Ibu..." panggilan dari ke empat gadis saling bersahutan, panggilan yang membuat siapa saja semakin sedih mendengar nya. Panggilan penuh kepiluan dan putus asa. Para warga bahu membahu memegang dan memeluk ke empat gadis tersebut. Para warna mengganti kain putih dari rumah sakit dengan kain jarik yang mereka temukan di dalam lemari. Saat di buka wajah ibu Nia bersih tidak terlihat luka menganga yang besar seperti yang biasa di temukan di jenazah korban kecelakaan. Hanya ada beberapa goresan goresan tapi saat hijab nya tersingkap terlihat memar besar membiru di dada nya. * * * Karena tidak ada lagi yang alan di tunggu warga memutuskan untuk memulai seluruh proses pengurusan jenazah, memandikan dan mengkafani lalu seluruh warga berbondong bondong menuju masjid untuk shalat jenazah. allahummaghfirlaha warhamha wa'aafihi wa'fu'anha. Setelah selesai shalat jenazah berjamaah, ibu di antar kan menuju tempat peristirahatan yang terakhir nya di pemakaman kampung di ujung desa. Perjalanan terakhir ibu Nia di antar kan dengan iring iringan warga. Namiya bersyukur mereka tinggal desa, saat ada kematian seperti ini warga bahu membahu membantu menyelenggaran jenazah. Jika mereka tinggal di kota Namiya mendengar jika semua nya harus di bayar. Bahkan untuk menggali kubur pun harus di bayar. Sedangkan di sini, kuburan di gali oleh bapak bapak yang membantu dengan ikhlas. Saat tubuh ibu yang sudah di bungkus pakaian terakhirnya di masukkan ke dalam liang lahat tangisan kembali pecah dari ke empat gadis tapi kali ini berbeda, Namiya tidak lagi menangis keras, air mata nya hanya mengalir saja dengan tangan kurus nya dia memeluk ke tiga adik nya. Namiya ingin ibu melihat keteguhan nya, sebagai anak tertua, agar ibu bisa pergi dengan tenang, ibu bisa mempercayakan ketiga adik nya dalam pengawasan dan penjagaan nya. Namiya mengangkat dagu nya, sebagai bukti jika dia akan kuat mulai sekarang, tidak akan lagi lemah, karena saat ini kelansungan hidup dan masa depan adik adik nya berada di tangan nya. Setelah semua selesai satu persatu warga pamit, dan memberi ucapan bela sungkawa pada ke empat gadis yang masih belum bergerak dari tempat nya. Saat hanya tersisa mereka berempat, Namiya menarik adik adik nya mendekati gundukan tanah merah bertabur kelopak mawar dan melati serta aroma wangi daun pandan dan air mawar. Mereka berlutut tanpa suara, mata di pejamkan dengan bibir bergerak membacakan doa buat sang ibu yang sudah bersama sang pencipta. "Kalian duluan aja... Mbak masih mau di sini sebentar lagi" ucap Namiya "Jangan lama lama ya mbak" ucap Nalisa yang di jawab dengan anggukan kepala Namiya. "Bu... Semalam sebelum ibu berangkat ibu bilang ibu nitip adik adim sama Miya karena Miya adalah yang tertua, apa ibu bilang begitu karena ibu tau kalau ibu mau meninggalkan kami selama nya?" "Ibu nggak usah khawatir, Miya akan melakukan segala nya bu agar adik adik bisa hidup, bisa punya pendidikan,bisa punya masa depan yang cemerlang." "Miya sombong ya bu kalau bilang begitu? Tapi Miya janji bu... Miya akan mengusahan yang terbaik buat mereka bertiga bu, jadi ibu bisa pergi dengan tenang, ibu bisa mempercayakan mereka bertiga sama Miya" ucap Namiya lirih. "Bu... Miya pamit ya... Karena ibu sudah dekat dengan Allah, ibu mintakan sama Allah agar Miya bisa kuat ya bu... Agar selalu ada jalan buat Miya dan agar Pintu rezki Miya dan adik adik terbuka dengan lebar" ucap Miya sambil mengusap nisan kayu bertuliskan nama sang ibu. Namiya segera berdiri dan membalikkan tubuh, tiba tiba sebuah angin lembut menyapu tubuh mungil nya. Hijab pasmina nya bergerak mengikuti gerakan angin. Namiya memejamkan mata, dia seakan merasa angin lembut itu adalah pelukan terakhir sang ibu. Pelukan yang membuat semangat Namiya seakan kembali. * * * "Saya dari pihak jasa rahardja mbak, karena ibu mbak mengalami kecelakaan angkutan umum dan memiliki tiket resmi, ahli waris berhak mendapat santunan dari pemerintah, besok pagi bawa lah fotocopi surat surat ini dan datang lah ke kantor jasa rahardja, dengan begitu klaim asuransi nya bisa segera di cairkan" seorang pria muda yang sudah di rumah saat Namiya dan ke tiga adik nya sampai di rumah menyampaikan maksud dan tujuan nya. Namiya memandang ketiga adik nya. "Bahkan saat ibu sudah pergi, ibu masih meninggalkan pada kami biaya hidup sementara hingga kami masih bisa hidup hingga aku menemukan pekerjaan." bisik Namiya di dalam hati nya ***"mom... jadi bunda benar benar sudah meninggal ya?" Niscalla yang sedang di tidur kan oleh Namiya di ranjang nya bertanya lirih. "Kenapa Niscalla bertanya kayak gitu? memang nya Niscalla tau apa arti nya meninggal dunia?" tanya Namiya sambil mengelus punggung sang putra yang tertidur miring memeluk pinggangnya. "tau... meninggal itu adalah saat bunda tidak sakit lagi karena bunda sudah bersama Allah, dan Niscalla tidak akan pernah bertemu lagi sama bunda" ucap nya dengan suara bergetar. "apa Niscalla sedih? Niscalla merindukan bunda?" tanya Namiya. sang putra tidak menjawab tapi Namiya bisa merasakan anggukan kepala Niscalla di dada nya. "apa Niscalla tau, walaupun bunda udah bersama Allah, tapi bunda masih bisa melihat Niscalla, jadi Niscalla harus jadi anak Sholeh, jangan tinggalkan sholat, jangan lupa doakan bunda selalu bahagia bersama Allah " ucap Namiya "apa jika Niscalla banyak berdoa bunda akan masuk surga?" tanya Niscalla. "tentu saja, karena Allah sangat menci
Tangisan pilu Niscalla terasa mengiris hati Namiya dengan silet kala tubuh Moana yang sudah di balut kain putih di turunkan ke liang lahat. Namiya merasa hancur melihat tangis sang putra, satu-satu nya hal yang bisa dia lakukan hanya bisa memeluk erat sulung nya itu. Saat prosesi pemakaman itu selesai Niscalla tertidur di bahu Namiya, kelelahan karena terlalu banyak menangis. Saat satu persatu pelayat meninggalkan area pemakaman yang berada di komplek pemakaman elit di puncak sebuah bukit hijau itu hingga menyisakan keluarga inti saja. "Eyang pamit dulu," Winarti Nugraha pamit pada Allarick yang masih berlutut di dekat makam mbak Moana dengan tangan terangkat karena masih mengirimkan jutaan do'a buat sang istri. "baik eyang" ucap Allarick singkat sambil mengusap kan tangan nya ke wajah sebagai penutup do'a. "oh iya, eyang tunggu kamu di rumah utama, banyak yang harus kita bahas setelah ini tentang masa depan kamu dan Niscalla" ucap Eyang Winarti. "Aku tidak akan datang e
"Mommy nggak papa bilang gitu sama nenek nya mas Al?" tanya Namiya sambil berjalan ke satu kursi di lorong yang panjang. "harus Nin... dia benar benar sudah keterlaluan, bagaimana pun kamu tetap menantu mereka, tidak seharusnya kamu di hina seperti itu, jika Allarick mendengar tadi, dia pasti melakukan hal yang sama dengan yang mommy lakukan" ucap mommy Noura dengan santai. "kalau dia kenapa napa gimana? mommy bisa di salah kan oleh semua orang" ucap Namiya sambil melirik Oma Allarick yang sedang di tenangkan oleh anak dan menantu nya dengan ekor mata nya. "tenang aja, kita di rumah sakit, kalau ada apa apa bisa langsung di periksa, kalau memang hal buruk terjadi ya udah anggap saja itu takdir, mommy yakin nggak ada yang akan menyalahkan mommy, yang ada mereka akan berterima kasih sama mommy" ucap mommy Noura dengan santai sambil duduk bersandar di kursi yang terasa sangat dingin. Namiya ikut diam dan kembali menatap sisi lain dengan ekor mata nya, perlahan dia melihat ibu Nas
"Saya terima nikah dan kawin nya Namiya Anggraini binti Burhan dengan mahar nya tersebut di bayar tunai..." Allarick menjawab dengan suara yang jelas walaupun bergetar dan tercekat di tenggorokan nya "Alhamdulillah..." lirih suara Moana terdengar penuh kebahagiaan. "karena secara negara kalian masih terikat pernikahan, tidak ada hal lagi yang harus di perbarui dan di catat, jadi saya pamit dulu" ucap pak penghulu "terima kasih banyak pak, sudah bersedia di panggil tengah malam gini, " ucap Allarick "Sama sama pak, kalau begitu saya pamit ya" ucap bapak tersenyum sebelum keluar dari ruang HCU di ikuti dokter dan perawat laki laki yang menjadi saksi ijab qabul rujuk Namiya dan Allarick "makasih ya dek... sekarang kalian udah suami istri lagi, mbak udah lega, jika nanti janjian mbak datang mbak nggak akan punya beban lagi" ucap Moana "mbak... aku mohon jangan bilang gitu, aku takut mbak, aku belum siap kehilangan mbak Moana, Niscalla juga masih membutuhkan bunda nya" ucap Namiy
Namiya menekan gas sedalam yang dia bisa, baru sebentar rasa nya dia tertidur tapi panggil telpon dari sang suami yang meminta nya ke rumah sakit membuat rasa kantuknya hilang entah kemana. Namiya merasa perasaan nya bercampur aduk, perasaan tidak enak menyelubungi hati nya yang berdebar dengan keras. setelah memarkir mobil nya, Namiya berlari ke ruang HCU di lantai dua rumah sakit. sesampai nya di sana Namiya sangat kaget karena banyak nya orang di sana, Namiya melihat sosok ayah dan ibu tiri Allarick yang sempat berkenalan beberapa bulan yang lalu. ada juga mommy Noura dan dua anak gadis yang seperti nya adalah adik adik tiri nya Allarick. Juga seorang wanita uzur yang duduk di atas kursi roda dengan wajah judes menatap Namiya. mereka semua terpekur duduk di atas kursi besi dengan ekspresi Kacau. "Miya... kamu udah datang?" saat melihat kedatangan Namiya mommy Noura dan ibu Nastiti langsung berdiri menyambut nya kedatangan nya. "ayo masuk, di dalam ada Allarick, Moana udah
Namiya merasa tubuh nya luruh, dia memang tau dari fisik nya saja Moana terlihat sudah sangat parah. terbaring di ranjang dengan jarum jarum yang menusuk kulit nya yang tipis. selang oksigen melintang di atas bibir membantu nya untuk bernafas, walaupun masih terlihat kesusahan karena sosok nya yang sudah ringkas. bahu nya turun naik bernafas dengan kesusahan walaupun sudah mendapatkan bantuan dari selang oksigen yang menderu dengan yg deras. "mbak..." "Dek... Niscalla butuh ibu, Niscalla butuh ibu nya, saat mbak pergi nanti siapa lagi yang pantas menjadi ibu Niscalla kalau bukan kamu ibu kandung nya." "apa kamu sanggup membayangkan Niscalla hidup di bawah asuhan ibu tiri, tapi kali ini ibu tiri nya pasti akan memiliki anak sendiri, tidak seperti mbak yang tidak punya rahim ini" "apa Niscalla akan bisa memiliki kasih sayang dari wanita itu?" ucap Moana. "aku bisa mengambil kembali hak asuh anak ku mbak jika memang hal seburuk itu terjadi, tapi aku yakin mbak Moana pasti