[Assalamualaikum, Tiara.]
[Mohon maaf sebelumnya, saya cuma mau minta sama kamu supaya tidak menanggapi postingan yang dibuat Nadia.]
[Jangan sampai ribut-ribut di sosmed. Nanti kita juga yang malu.]
Aku mengernyit. Pesan lewat inbox itu dikirim oleh Mbak Rani, sepupunya Nadia. Menurut aku, dari sekian puluh orang keluarga besar Nadia, hanya Mbak Rani yang rada 'waras'.
Kuketik balasan dengan sedikit kesal.
[Kasih tahu hal ini ke saudaranya, Mbak. Jangan ke saya. Saya nggak pernah nyinggung-nyinggung dia. Dia aja yang heboh sendiri.]
Tak berselang lama, muncul balasan dari Mbak Rani.
[Kamu jangan ladenin, ya, Ra. Paling tidak kamu bisa lebih bersikap dewasa. Kalau ada kesalahpahaman antara kalian, selesaikan saja secara langsung.]
Aku menarik napas panjang, benar-benar bikin kesal aja. Malas menaggapinya berlama-lama. Aku pun mengirimkan kata pamungkas.
[Saya rasa Mbak bisa lihat apa yang terjadi. Yang suka meng-up masalah ke sosial media itu siapa? Jadi Mbak sangat salah sasaran jika meminta hal itu pada saya. Saya ulangi sekali lagi, Mbak ngomongnya ke saudara Mbak aja langsung.]
[Udah, ya saya repot. Nggak ada waktu untuk hal-hal seperti ini.]
[Nggak usah dibalas lagi, ya!]
Aku pun log out dari aplikasi tersebut.
***
"Mama ...."
Terdengar teriakan Rara dari luar. Aku segera menyusulnya. Gadis kecil itu setengah berlari menghampiriku. Tangannya menenteng sebuah kresek yang cukup besar untuk ukuran seorang anak lima tahun.
"Ini jajanan untuk Rara. Tadi diajak Papa ke mini market," cerita bocah perpipi tembem itu dengan semringah.
"Wow, banyak sekali." Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya.
"Iya, semuanya kesukaan Rara. Kata Papa Rara boleh beli yang banyak. Nanti kalau Papa ke sini lagi, dibeliin lagi," celotehnya dengan polos.
"Gitu?" balasku sampil merapikan poninya.
Rara mengangguk lalu berkata, "Iya, besok, besok, dan besoknya lagi Papa nggak ke sini."
"Emangnya Papa bilang begitu," selidikku.
Rara hanya mengangguk.
"Jajanannya disimpan dulu, ya. Rara bisakan masukin ke kulkas?"
"Okey, Mama." Rara pun setengah berlari ke dapur.
Karena Hendi tak kunjung masuk aku pun melihat keluar. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Motor yang dipakai Hendi pun tidak ada di depan. Aku lalu menyusul Rara ke dapur.
"Papa mana, Ra?"
"Udah pergi," jawabnya disela-sela kesibukannya memasukkan jajanan ke kulkas.
Aku mengelus dada. Bisa-bisanya Hendi datang ke rumah ini hanya untuk membahas postingan istri barunya. Sama sekali tidak menanyakan keadaan aku dan anak-anak yang selama satu minggu ini dia tinggalkan. Bahkan tidak menyempatkan untuk melihat syira walaupun hanya sekilas pandang.
Beberapa bulan belakangan Hendi memang lebih banyak berpergian. Dia tengah menangani proyek pembangunan irigasi di beberapa desa.
Mungkin karena itu juga Nadia sampai melirik suamiku. Beberapa tahun belakangan, kehidupan kami mengalami peningkatan. Hal itu tentu berpengaruh dengan penampilan Hendi yang terlihat lebih segar dan mapan.
Di awal pernikahan, kami bahu-membahu agar bisa hidup mandiri. Kami menikah di usia yang relatif muda. Sama-sama dua puluh tiga tahun. Beberapa hari sebelum wisuda, kami melangsungkan pernikahan secara dadakan. Hal itu terjadi lantaran keteledoran kami juga.
Malam itu kami hadir di pesta melepas masa lajang salah seorang teman. Entah ada yang mau menjebak atau sekadar iseng saja, aku pun tak tahu. Sepertinya minuman yang diminum Hendi telah diberi sesuatu. Sehingga Hendi mendadak menjadi sakit kepala dan pusing. Karena sudah tidak tahan, buru-buru dia mengantarkan aku pulang ke tempat kost.
Aku menyarankan Hendi untuk istirahat sejenak. Aku lalu membuatkannya teh hangat untuk sedikit membantu meredakan sakit kepalanya. Namun, Hendi tertidur dan aku yang juga kelelahan ikut tertidur.
Lewat tengah malam, aku dikagetkan oleh suara pintu yang digedor. Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu. Ternyata sudah ada beberapa orang di depan pintu. Dari wajah-wajah mereka itu, hanya pemilik kos-kosan dan Pak RT yang kukenal.
Pasangan mesum, itulah yang mereka sematkan pada kami. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasan kami. Kami pun bersumpah dengan menyebut nama Tuhan bahwa kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya tertidur dan kami masih berpakaian lengkap. Akan tetapi semua itu sia-sia.
Mau tidak mau kami harus menghubungi orang tua masing-masing. Pemilik kos mengancam akan melaporkan ke pihak kampus karena telah melakukan tindakan asusila.
Setelah ada pembicaraan dengan kedua orang tua kami, akhirnya kami yang semula dibawa ke rumah ketua RT diperbolehkan pulang, dengan catatan tidak boleh lagi tinggal di daerah itu.
Setelah peristiwa itu, orang tuaku mendesak agar Hendi segera menikahiku. Pernikahan kami yang terkesan mendadak itu turut mengundang kecurigaan warga, mereka menyakini bahwa aku telah hamil duluan. Namun, waktu menjawabnya. Setelah setahun usia pernikahan barulah aku hamil.
Setelah mendapatkan ijazah sarjana, aku diterima mengajar di sebuah SMK dan Hendi menjadi pengajar di lembaga bimbingan belajar. Dengan gaji yang tidak mencapai UMR kehidupan kami sangat pas-pasan.
Ketika aku hamil anak kedua, Hendi mencoba menjajal dunia usaha. Dari situ juga ia berkenalan dengan beberapa orang kontraktor. Kemudian ia pun bergabung dengan sebuah perusahaan kontraktor.
Mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam hal berkomunikasi, membuat Hendi cepat mendapat kepercayaan. Sukses menangani satu proyek, dilanjutkan dengan proyek yang baru, dan hingga saat ini semua berjalan lancar.
"Ma, Dede Syira bangun."
Aku segera mengikuti langkah Rara yang menarikku ke kamar. Benar, Syira sudah menggeliat dan hampir menangis. Aku pun segera menggendongnya.
***
[Nanti siang aku mau ke Desa Mekarjati. Khalif dijemput sama Obi.]
Pesan itu dikirim satu jam lalu oleh Hendi. Baru sempat aku mambacanya sekarang. Sendirian mengurus anak-anak membuat waktu senggang tidak banyak untukku.
Apalagi kalau Rara libur sekolahnya seperti hari ini. Kalau Syira sudah tertidur, aku harus menemani Rara agar dia tidak merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian setelah punya adik.
"Mama, Papa masih lama kerja jauh-jauhnya?" tanya gadis kecilku setelah dia selesai memasang puzle angka.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak enak kalau nggak ada Papa di rumah. Rara pengen tidur sama Papa lagi," rengek Rara dengan raut muka sedih.
Saat-saat seperti inilah yang membuatku nelangsa. Bukan Hendi yang membagi cinta yang kuratapi tetapi melihat dampak yang dirasakan anak-anak. Mereka yang sebelumnya setiap waktu bersama Papanya. Sekarang, bisa berhari-hari tidak bertemu. Kalau pun bertemu waktunya terbatas dan suasananya tentu sudah tak sama lagi. Sudah tak sehangat dulu lagi.
Apakah para lelaki yang bersikukuh ingin memiliki lebih dari satu makmum tidak pernah pernah memikirkan hal ini? Dampak psikologis bagi anak? Ada lubang kecil di hati mereka. Tidak bisa ditutupi dan tak bisa juga untuk mereka ungkapkan.
Kurengkuh Rara dalam pelukanku. Sekuat tenaga aku bertahan agar tak meneteskan air mata. Kuingin anak-anakku melihat mamanya selalu bahagia agar mereka juga bahagia.
****
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak