Share

Part 3

[Assalamualaikum, Tiara.]

[Mohon maaf sebelumnya, saya cuma mau minta sama kamu supaya tidak menanggapi postingan yang dibuat Nadia.]

[Jangan sampai ribut-ribut di sosmed. Nanti kita juga yang malu.]

Aku mengernyit. Pesan lewat inbox itu dikirim oleh Mbak Rani, sepupunya Nadia. Menurut aku, dari sekian puluh orang keluarga besar Nadia, hanya Mbak Rani yang rada 'waras'.

Kuketik balasan dengan sedikit kesal.

[Kasih tahu hal ini ke saudaranya, Mbak. Jangan ke saya. Saya nggak pernah nyinggung-nyinggung dia. Dia aja yang heboh sendiri.] 

Tak berselang lama, muncul balasan dari Mbak Rani.

[Kamu jangan ladenin, ya, Ra. Paling tidak kamu bisa lebih bersikap dewasa. Kalau ada kesalahpahaman antara kalian, selesaikan saja secara langsung.]

Aku menarik napas panjang, benar-benar bikin kesal aja. Malas menaggapinya berlama-lama. Aku pun mengirimkan kata pamungkas.

[Saya rasa Mbak bisa lihat apa yang terjadi. Yang suka meng-up masalah ke sosial media itu siapa? Jadi Mbak sangat salah sasaran jika meminta hal itu pada saya. Saya ulangi sekali lagi, Mbak ngomongnya ke saudara Mbak aja langsung.]

[Udah, ya saya repot. Nggak ada waktu untuk hal-hal seperti ini.]

[Nggak usah dibalas lagi, ya!]

Aku pun log out dari aplikasi tersebut.

***

"Mama ...."

Terdengar teriakan Rara dari luar. Aku segera menyusulnya. Gadis kecil itu setengah berlari menghampiriku. Tangannya menenteng sebuah kresek yang cukup besar untuk ukuran seorang anak lima tahun.

"Ini jajanan untuk Rara. Tadi diajak Papa ke mini market," cerita bocah perpipi tembem itu dengan semringah.

"Wow, banyak sekali." Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya.

"Iya, semuanya kesukaan Rara. Kata Papa Rara boleh beli yang banyak. Nanti kalau Papa ke sini lagi, dibeliin lagi," celotehnya dengan polos.

"Gitu?" balasku sampil merapikan poninya.

Rara mengangguk lalu berkata, "Iya, besok, besok, dan besoknya  lagi Papa nggak ke sini."

"Emangnya Papa bilang begitu," selidikku.

Rara hanya mengangguk.

"Jajanannya disimpan dulu, ya. Rara bisakan masukin ke kulkas?"

"Okey, Mama." Rara pun setengah berlari ke dapur.

Karena Hendi tak kunjung masuk aku pun melihat keluar. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Motor yang dipakai Hendi pun tidak ada di depan. Aku lalu menyusul Rara ke dapur.

"Papa mana, Ra?"

"Udah pergi," jawabnya disela-sela kesibukannya memasukkan jajanan ke kulkas.

Aku mengelus dada. Bisa-bisanya Hendi datang ke rumah ini hanya untuk membahas postingan istri barunya. Sama sekali tidak menanyakan keadaan aku dan anak-anak yang selama satu minggu ini dia tinggalkan. Bahkan tidak menyempatkan untuk melihat syira walaupun hanya sekilas pandang.

Beberapa bulan belakangan Hendi memang lebih banyak berpergian. Dia tengah menangani proyek pembangunan irigasi di beberapa desa. 

Mungkin karena itu juga Nadia sampai melirik suamiku. Beberapa tahun belakangan, kehidupan kami mengalami peningkatan. Hal itu tentu berpengaruh dengan penampilan Hendi yang terlihat lebih segar dan mapan.

Di awal pernikahan, kami bahu-membahu agar bisa hidup mandiri. Kami menikah di usia yang relatif muda. Sama-sama dua puluh tiga tahun. Beberapa hari sebelum wisuda, kami melangsungkan pernikahan secara dadakan. Hal itu terjadi lantaran keteledoran kami juga. 

Malam itu kami hadir di pesta melepas masa lajang salah seorang teman. Entah ada yang mau menjebak atau sekadar iseng saja, aku pun tak tahu. Sepertinya minuman yang diminum Hendi telah diberi sesuatu. Sehingga Hendi mendadak menjadi sakit kepala dan pusing. Karena sudah tidak tahan, buru-buru dia mengantarkan aku pulang ke tempat kost. 

Aku menyarankan Hendi untuk istirahat sejenak. Aku lalu membuatkannya  teh hangat untuk sedikit membantu meredakan sakit kepalanya. Namun, Hendi tertidur dan aku yang juga kelelahan ikut tertidur. 

Lewat tengah malam, aku dikagetkan oleh suara pintu yang digedor. Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu. Ternyata sudah ada beberapa orang di depan pintu. Dari wajah-wajah mereka itu, hanya pemilik kos-kosan dan Pak RT yang kukenal. 

Pasangan mesum, itulah yang mereka sematkan pada kami. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasan kami. Kami pun bersumpah dengan menyebut nama Tuhan bahwa kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya tertidur dan kami masih berpakaian lengkap. Akan tetapi semua itu sia-sia. 

Mau tidak mau kami harus menghubungi orang tua masing-masing. Pemilik kos mengancam akan melaporkan ke pihak kampus karena telah melakukan tindakan asusila. 

Setelah ada pembicaraan dengan kedua orang tua kami, akhirnya kami yang semula dibawa ke rumah ketua RT diperbolehkan pulang, dengan catatan tidak boleh lagi tinggal di daerah itu.

Setelah peristiwa itu, orang tuaku mendesak agar Hendi segera menikahiku. Pernikahan kami yang terkesan mendadak itu turut mengundang kecurigaan warga, mereka menyakini bahwa aku telah hamil duluan. Namun, waktu menjawabnya.  Setelah setahun usia pernikahan barulah aku hamil.

Setelah mendapatkan ijazah sarjana, aku diterima mengajar di sebuah SMK dan Hendi menjadi pengajar di lembaga bimbingan belajar. Dengan gaji yang tidak mencapai UMR kehidupan kami sangat pas-pasan.

Ketika aku hamil anak kedua, Hendi mencoba menjajal dunia usaha. Dari situ juga ia berkenalan dengan beberapa orang kontraktor. Kemudian ia pun bergabung dengan sebuah perusahaan kontraktor.

Mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam hal berkomunikasi, membuat Hendi cepat mendapat kepercayaan. Sukses menangani satu proyek, dilanjutkan dengan proyek yang baru, dan hingga saat ini semua berjalan lancar.

"Ma, Dede Syira bangun." 

Aku segera mengikuti langkah Rara yang menarikku ke kamar. Benar, Syira sudah menggeliat dan hampir menangis. Aku pun segera menggendongnya.

***

[Nanti siang aku mau ke Desa Mekarjati. Khalif dijemput sama Obi.]

Pesan itu dikirim satu jam lalu oleh Hendi. Baru sempat aku mambacanya sekarang. Sendirian mengurus anak-anak membuat waktu senggang tidak banyak untukku. 

Apalagi kalau Rara libur sekolahnya seperti hari ini. Kalau Syira sudah tertidur, aku harus menemani Rara agar dia tidak merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian setelah punya adik. 

"Mama, Papa masih lama kerja jauh-jauhnya?" tanya gadis kecilku setelah dia selesai memasang puzle angka.

"Kenapa emangnya?"

"Nggak enak kalau nggak ada Papa di rumah. Rara pengen tidur sama Papa lagi," rengek Rara dengan raut muka sedih.

Saat-saat seperti inilah yang membuatku nelangsa. Bukan Hendi yang membagi cinta yang kuratapi tetapi melihat dampak yang dirasakan anak-anak. Mereka yang sebelumnya setiap waktu bersama Papanya. Sekarang, bisa berhari-hari tidak bertemu. Kalau pun bertemu waktunya terbatas dan suasananya tentu sudah tak sama lagi. Sudah tak sehangat dulu lagi. 

Apakah para lelaki yang bersikukuh ingin memiliki lebih dari satu makmum tidak pernah pernah memikirkan hal ini? Dampak psikologis bagi anak? Ada lubang kecil di hati mereka. Tidak bisa ditutupi dan tak bisa juga untuk mereka ungkapkan.

Kurengkuh Rara dalam pelukanku. Sekuat tenaga aku bertahan agar tak meneteskan air mata. Kuingin anak-anakku melihat mamanya selalu bahagia agar mereka juga bahagia.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status