Share

Part 4

"Pagi-pagi dimarahin suami. Emang enak? Makanya jangan sok suci jadi orang. Lambe ma jari dijaga. Nggak usah lebay, nyari-nyari perhatian di sosmed dengan status-status tertindas. Kampungan!"

Aku mengernyit membaca postingan tersebut. Seperti biasa, menandai beberapa orang, entah itu saudara atau pun teman-teman dekatnya. Namun, Hendi tidak ditandai lagi kali ini.

Diposting beberapa jam yang lalu. Sudah ada puluhan komentar dan like. Aku hendak membuka kolom komentar tetapi harus kutahan dulu karena Khalif muncul dari dalam.

"Ma, Kakak mau ngaji dulu. Sekalian ngajak Rara ya, Ma. Kan nanti pulangnya mau mampir ke rumah Nekyang." 

"Kapan Nekyang nyuruh ke sana?" tanyaku penasaran karena seingatku Ibu mertua tidak ada memberitahu apa-apa.

"Tadi pulang sekolah sama Om Obi diajak lewat di jalan dekat rumah Nekyang. Terus ketemu dan disuruh ke sana lagi sama Nekyang," terang Khalif. 

"Ya, udah. Kakak jagain Rara, ya."  

Khalif mengangguk lalu duduk di salah satu kursi yang ada di teras.  Aku meninggalkan Khalif, lalu mencari Rara ke kamarnya untuk memakaikannya kerudung. Ternyata gadis kecilku sedang berusaha mengambil kerudung dengan menaiki kursi.

Setelah Rara rapi, aku menggandengnya ke teras. Di saat bersamaan, Obi yang merupakan sepupu Hendi sudah datang menjemput anak-anak. 

Aku bersyukur sekali karena Obi selalu bersedia membantu. Bisa dibilang, semenjak waktu dan perhatian Hendi tidak lagi sepenuhnya untuk kami, Obi yang berperan mengantar jemput anak-anak. Dan satu hal lagi yang kusalutkan dari Obi, dia tidak pernah melewati jalan di depan rumah Nadia jika membawa anak-anak walaupun jarak tempuh lebih dekat jika melewati rumah Nadia.

Aku sangat berusaha menjaga agar anak-anak jangan sampai melihat keberadaan papanya di rumah Nadia. Aku tidak ingin menambah luka di hati anak-anakku. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami keadaan yang sedang kami jalani.

Setelah berpamitan, mereka pun berlalu bersama motor yang melaju dengan kecepatan sedang.

Syira masih tertidur di box bayi. Mumpung ada waktu senggang, kembali aku membuka akun sosial media yang tadi kuabaikan. Secara kutuntaskan rasa penasaran di kolom komentar.

"Masih bersambung aja novelnya, Say."

"Salah satu jalan ninja untuk viral. Siapa tahu bisa jadi selegram."

"Nyari perhatian banget, ya, Jeng. Padahal malu-maluin diri sendiri."

"Kadang orang tutup mata sama aibnya sendiri, sibuk membongkar aib orang lain. Semoga kita jauh-jauh dari sifat seperti itu."

"Kalau aku ketemu orang kayak gitu udah aku sikat habis tuh, Say."

"Itu keluarganya nggak ada yang negur atau gimana sih, say?"

"Ada yang nyari gara-gara sama dirimu, Nad? Samperin aja, say! Bikin dia kapok!"

Aku geleng-geleng kepala membacanya. Duh, Gusti! Apa dia tidak punya cermin di rumahnya? 

Sayangnya, belum selesai semuanya kubaca, sebuah mobil berhenti di depan rumah. 

"Permisi ... paket!"

Aku mendongak kemudian bergegas ke pintu pagar. 

"Ini benar rumah Ibu Tiara?" tanya lelaki bertubuh kurus begitu ia turun dari mobil.

"Iya," jawabku pelan.

"Ini ada paket, bu."

Dia dan seorang lagi temannya segera membuka pintu bagasi dan menurunkan dua buah barang.

"Ini nggak salah alamat, Mas?" Aku ragu menerimanya karena merasa tidak pernah membeli sesuatu secara online.

"Ini alamatnya sesuai, kan, Bu?" Kurir itu menyerahkan pulpen memintaku menandatangi tanda terima.

Memang yang tertera disana adalah alamat rumahku. Aku pun menandatangani setelah itu mereka pamit pergi.

Aku membawa kedua barang tersebut masuk. Kupastikan sekali lagi tulisan yang tertera pada kertas alamat. 

"Hakim?" Aku membaca pelan nama si pengirim paket tersebut. 

Hakim merupakan rekan kerjaku. Dua tahun yang lalu dia ditempatkan di sekolah tempatku mengajar. Sebelumnya kami sudah saling mengenal walaupun tidak dekat. Hakim adalah juniorku di kampus. Aku tingkat akhir dan dia tingkat satu. Kami sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan.

Paket pertama adalah stroller merk import. Harganya pasti lumayan. Kubuka paket kedua, isinya membuatku terbelalak. Sebuah tas merk terkenal. Ada sebuah amplop di sana. Kubuka lalu kubaca.

_Selamat atas kelahiran putrinya, Bu Tiara. Semoga menjadi anak sholihah kebanggaan orang tua. Mohon maaf saya tidak bisa ikut sama teman-teman waktu nengok ke rumah. Oh, iya ini ada sedikit bingkisan ucapan selamat dari saya untuk dede bayi dan mamanya. Mohon diterima, ya. Salam untuk keluarga._

Ttd

Hakim.

Kuangkat tas berbahan kulit itu. Beda rasanya megang barang mahal dengan barang biasa. Iseng, kuketik di g****e untuk mencari tahu kisaran berapa harga merk tersebut. Sekali lagi aku dibuat terbelalak. Harganya hampir setara setahun gajiku sebagai guru honorer. Aku sedikit gemetar memegangnya.

Selama ini, Hendi memang tidak pernah melarang untuk membeli apapun selagi sesuai kemampuan. Namun, aku memang tidak terlalu suka untuk membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif apalagi dengan harga yang relatif mahal. Kami lebih memilih kesederhanaan hingga akhirnya bisa mempunyai rumah.

Bisa dipastikan kalau tas ini original karena Hakim bukan hanya sebagai seorang guru PNS melainkan juga menggeluti dunia bisnis. Dia punya toko yang menjual tas-tas merk ternama yang berharga mencapai puluhan juta per itemnya. Bisa dibilang, menjadi pengajar bukan untuk menggantungkan hidup bagi Hakim melainkan karena kecintaannya  pada dunia pendidikan. Jika dibandingkan gaji sebagai guru tidaklah seberapa dibanding penghasilannya dari dunia bisnis.

Sungkan sekali rasanya menerima hadiah semahal itu. Aku pun menghubungi nomor Hakim. Tidak butuh waktu lama, dia pun menjawab telepon dariku.

"Waalaikumsalam, Bu Tiara. Gimana kabarnya?" balasnya setelah mendengar ucapan salam dariku. Sejak bertemu kembali, bahasa kami memang cenderung formal. Apalagi kami jarang berkomunikasi di luar jam dinas.

"Alhamdulillah, baik. Maaf, nih, Pak Hakim. Saya mau tanya tentang paket." 

"Sudah sampai ya, Bu? Alhamdulillah kalau begitu. Semoga suka, ya."

"Iya, sudah sampai. Cuma, saya nggak enak nerimanya. Banyak banget," balasku sedikit hati-hati, takut akan menyinggungnya.

"Rezeki tidak boleh ditolak, Bu. Diterima, ya! Jangan lupa dipakai."

Setelah pembicaraan diakhiri. Tiba-tiba saja aku punya ide. Kukeluarkan lagi tas dari box-nya begitu juga dengan stroller, kuletakkan dengan posisi artistik dan memperlihatkan merknya. Lalu kufoto dengan beberapa angle. Setelah mendapatkan foto terbaik segera kuposting di media sosial f******k.

"Rezeki memang tidak akan pernah salah alamat. Alhamdulillah." 

Begitulah caption yang kusematkan. Tak lupa kurubah dulu settingannya menjadi tidak bisa dilihat oleh beberapa orang, seperti teman-teman kerjaku dan tentu saja si pemberi bingkisan. Tentu aku tak ingin juga dinilai lebay dan aneh karena tak biasa-biasanya posting-posting hal seperti ini.

Bibirku seketika melengkungkan senyum. Bagaimana kira-kira reaksi pemilik akun sebelah? Hahaha ....

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status