"Pagi-pagi dimarahin suami. Emang enak? Makanya jangan sok suci jadi orang. Lambe ma jari dijaga. Nggak usah lebay, nyari-nyari perhatian di sosmed dengan status-status tertindas. Kampungan!"
Aku mengernyit membaca postingan tersebut. Seperti biasa, menandai beberapa orang, entah itu saudara atau pun teman-teman dekatnya. Namun, Hendi tidak ditandai lagi kali ini.
Diposting beberapa jam yang lalu. Sudah ada puluhan komentar dan like. Aku hendak membuka kolom komentar tetapi harus kutahan dulu karena Khalif muncul dari dalam.
"Ma, Kakak mau ngaji dulu. Sekalian ngajak Rara ya, Ma. Kan nanti pulangnya mau mampir ke rumah Nekyang."
"Kapan Nekyang nyuruh ke sana?" tanyaku penasaran karena seingatku Ibu mertua tidak ada memberitahu apa-apa.
"Tadi pulang sekolah sama Om Obi diajak lewat di jalan dekat rumah Nekyang. Terus ketemu dan disuruh ke sana lagi sama Nekyang," terang Khalif.
"Ya, udah. Kakak jagain Rara, ya."
Khalif mengangguk lalu duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Aku meninggalkan Khalif, lalu mencari Rara ke kamarnya untuk memakaikannya kerudung. Ternyata gadis kecilku sedang berusaha mengambil kerudung dengan menaiki kursi.
Setelah Rara rapi, aku menggandengnya ke teras. Di saat bersamaan, Obi yang merupakan sepupu Hendi sudah datang menjemput anak-anak.
Aku bersyukur sekali karena Obi selalu bersedia membantu. Bisa dibilang, semenjak waktu dan perhatian Hendi tidak lagi sepenuhnya untuk kami, Obi yang berperan mengantar jemput anak-anak. Dan satu hal lagi yang kusalutkan dari Obi, dia tidak pernah melewati jalan di depan rumah Nadia jika membawa anak-anak walaupun jarak tempuh lebih dekat jika melewati rumah Nadia.
Aku sangat berusaha menjaga agar anak-anak jangan sampai melihat keberadaan papanya di rumah Nadia. Aku tidak ingin menambah luka di hati anak-anakku. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami keadaan yang sedang kami jalani.
Setelah berpamitan, mereka pun berlalu bersama motor yang melaju dengan kecepatan sedang.
Syira masih tertidur di box bayi. Mumpung ada waktu senggang, kembali aku membuka akun sosial media yang tadi kuabaikan. Secara kutuntaskan rasa penasaran di kolom komentar.
"Masih bersambung aja novelnya, Say."
"Salah satu jalan ninja untuk viral. Siapa tahu bisa jadi selegram."
"Nyari perhatian banget, ya, Jeng. Padahal malu-maluin diri sendiri."
"Kadang orang tutup mata sama aibnya sendiri, sibuk membongkar aib orang lain. Semoga kita jauh-jauh dari sifat seperti itu."
"Kalau aku ketemu orang kayak gitu udah aku sikat habis tuh, Say."
"Itu keluarganya nggak ada yang negur atau gimana sih, say?"
"Ada yang nyari gara-gara sama dirimu, Nad? Samperin aja, say! Bikin dia kapok!"
Aku geleng-geleng kepala membacanya. Duh, Gusti! Apa dia tidak punya cermin di rumahnya?
Sayangnya, belum selesai semuanya kubaca, sebuah mobil berhenti di depan rumah.
"Permisi ... paket!"
Aku mendongak kemudian bergegas ke pintu pagar.
"Ini benar rumah Ibu Tiara?" tanya lelaki bertubuh kurus begitu ia turun dari mobil.
"Iya," jawabku pelan.
"Ini ada paket, bu."
Dia dan seorang lagi temannya segera membuka pintu bagasi dan menurunkan dua buah barang.
"Ini nggak salah alamat, Mas?" Aku ragu menerimanya karena merasa tidak pernah membeli sesuatu secara online.
"Ini alamatnya sesuai, kan, Bu?" Kurir itu menyerahkan pulpen memintaku menandatangi tanda terima.
Memang yang tertera disana adalah alamat rumahku. Aku pun menandatangani setelah itu mereka pamit pergi.
Aku membawa kedua barang tersebut masuk. Kupastikan sekali lagi tulisan yang tertera pada kertas alamat.
"Hakim?" Aku membaca pelan nama si pengirim paket tersebut.
Hakim merupakan rekan kerjaku. Dua tahun yang lalu dia ditempatkan di sekolah tempatku mengajar. Sebelumnya kami sudah saling mengenal walaupun tidak dekat. Hakim adalah juniorku di kampus. Aku tingkat akhir dan dia tingkat satu. Kami sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan.
Paket pertama adalah stroller merk import. Harganya pasti lumayan. Kubuka paket kedua, isinya membuatku terbelalak. Sebuah tas merk terkenal. Ada sebuah amplop di sana. Kubuka lalu kubaca.
_Selamat atas kelahiran putrinya, Bu Tiara. Semoga menjadi anak sholihah kebanggaan orang tua. Mohon maaf saya tidak bisa ikut sama teman-teman waktu nengok ke rumah. Oh, iya ini ada sedikit bingkisan ucapan selamat dari saya untuk dede bayi dan mamanya. Mohon diterima, ya. Salam untuk keluarga._
Ttd
Hakim.
Kuangkat tas berbahan kulit itu. Beda rasanya megang barang mahal dengan barang biasa. Iseng, kuketik di g****e untuk mencari tahu kisaran berapa harga merk tersebut. Sekali lagi aku dibuat terbelalak. Harganya hampir setara setahun gajiku sebagai guru honorer. Aku sedikit gemetar memegangnya.
Selama ini, Hendi memang tidak pernah melarang untuk membeli apapun selagi sesuai kemampuan. Namun, aku memang tidak terlalu suka untuk membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif apalagi dengan harga yang relatif mahal. Kami lebih memilih kesederhanaan hingga akhirnya bisa mempunyai rumah.
Bisa dipastikan kalau tas ini original karena Hakim bukan hanya sebagai seorang guru PNS melainkan juga menggeluti dunia bisnis. Dia punya toko yang menjual tas-tas merk ternama yang berharga mencapai puluhan juta per itemnya. Bisa dibilang, menjadi pengajar bukan untuk menggantungkan hidup bagi Hakim melainkan karena kecintaannya pada dunia pendidikan. Jika dibandingkan gaji sebagai guru tidaklah seberapa dibanding penghasilannya dari dunia bisnis.
Sungkan sekali rasanya menerima hadiah semahal itu. Aku pun menghubungi nomor Hakim. Tidak butuh waktu lama, dia pun menjawab telepon dariku.
"Waalaikumsalam, Bu Tiara. Gimana kabarnya?" balasnya setelah mendengar ucapan salam dariku. Sejak bertemu kembali, bahasa kami memang cenderung formal. Apalagi kami jarang berkomunikasi di luar jam dinas.
"Alhamdulillah, baik. Maaf, nih, Pak Hakim. Saya mau tanya tentang paket."
"Sudah sampai ya, Bu? Alhamdulillah kalau begitu. Semoga suka, ya."
"Iya, sudah sampai. Cuma, saya nggak enak nerimanya. Banyak banget," balasku sedikit hati-hati, takut akan menyinggungnya.
"Rezeki tidak boleh ditolak, Bu. Diterima, ya! Jangan lupa dipakai."
Setelah pembicaraan diakhiri. Tiba-tiba saja aku punya ide. Kukeluarkan lagi tas dari box-nya begitu juga dengan stroller, kuletakkan dengan posisi artistik dan memperlihatkan merknya. Lalu kufoto dengan beberapa angle. Setelah mendapatkan foto terbaik segera kuposting di media sosial f******k.
"Rezeki memang tidak akan pernah salah alamat. Alhamdulillah."
Begitulah caption yang kusematkan. Tak lupa kurubah dulu settingannya menjadi tidak bisa dilihat oleh beberapa orang, seperti teman-teman kerjaku dan tentu saja si pemberi bingkisan. Tentu aku tak ingin juga dinilai lebay dan aneh karena tak biasa-biasanya posting-posting hal seperti ini.
Bibirku seketika melengkungkan senyum. Bagaimana kira-kira reaksi pemilik akun sebelah? Hahaha ....
***
"Apa-apa serba dipamerkan. Di mana-mana, kalau OKB memang norak! Dasar kampungan!"Begitulah kalimat yang diposting Nadia. Kali ini aku tidak berminat lagi untuk membaca komentar-komentar yang sudah berjumlah puluhan itu.Itu saja sudah cukup membuatku tertawa bahagia. Andai saja tidak sedang ada anak-anak di rumah, ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal untuk mengekspresikan rasa senang di hatiku ini. Ah, sereceh itu kebahagiaanku.Bagaimana tidak, Nadia yang mengakunya selebritas, sosialita, dan keluarga kelas atas tetapi tiada hari tanpa kepo dengan sosial mediaku. Bahkan sampai-sampai kebakaran jenggot hanya karena postingan foto.Aku rasa, semakin sering aku posting tentang kebahagiaan akan semakin cepat juga dia jantungan. Bibirku jadi tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Lucu juga kadang kehidupan ini. Dan, secara spontan beberapa ide telah bergelayut di otakku. Tunggu saja waktu eksekusinya!***
"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua."Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget.""Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus.""Tampang
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASesampainya di rumah ibu, aku langsung menemui anak-anak yang sedang berada di ruang tengah. Khalif dan Rara sedang asyik mengajak Syira bermain cilukba.Aku pun memberi ASI pada Syira hingga bayi cantikku itu tertidur. Sementara Khalif mengajak Rara untuk mewarnai.Kulepas lelah dengan bersandar pada sofa panjang yang persis menghadap ke jendela. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Langit yang berawan ditambah angin bertiup sepoi-sepoi yang membuat daun palem melambai berirama.Kuedarkan pandangan dari ujung hingga ke ujung halaman samping yang menghijau. Kendati telah berusaha mengalihkan perhatian tetap saja kejadian beberapa saat yang lalu tidak mudah untuk kikis.Aku serasa baru saja kembali seperti diriku yang dulu. Seorang aktivis kampus, terbiasa berbicara lantang dalam berdebat dan menyelesaikan masalah dengan cara sportif.Andai sedari awal aku sudah tegas mungkin Nadia tidak
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAApa yang sudah dia yakini itu pasti akan dilakukannya. Begitulah watak Hendi.Sebelumnya sifat ini menjadi sisi baiknya, berjuang sampai batas kemampuan untuk apa yang ingin didapatkan. Namun, sejak kehadiran pihak ketiga semua itu malah menjadi sesuatu yang berimbas buruk buatku.Bisikan-bisikan Nadia sangat cepat merasuki pikiran Hendi. Mungkin karena sikapnya yang cenderung manja membuat Hendi tak kuasa menolak bujukannya.Hari ini, adalah hari ke sepuluh Hendi di Lampung. Sepertinya belum terlihat tanda-tanda dia akan segera pulang. Rara mulai rewel. Inilah waktu terlama baginya tidak berjumpa langsung dengan papanya. Meskipun sudah melakukan video call hampir setiap hari, tetap saja kalau sudah malam dia ribut ingin tidur ditemani papanya.Sedangkan untuk urusan antar jemput anak-anak ke sekolah dan ngaji, sepenuhnya ditangani oleh Obi. Ada rasa tak enak hati karena selalu merepotkannya. Dia mema
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAKaca yang sudah retak tidak akan bisa mulus lagi seperti sedia kala. Sebagus apa pun lem yang digunakan untuk perekatnya, tetap akan menyisakan garis-garis yang bisa mengiriskan luka kapan saja.Begitu pun dengan kami. Hatiku sudah begitu dalam tersakiti. Sementara hatinya sudah terlalu jauh berkelana.Berharap semua akan kembali baik selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa, sama saja seperti mengharapkan daun yang telah gugur untuk kembali ke tangkainya. Sudah jelas merupakan suatu kemustahilan.Kurasa sudah saatnya untuk berpikir lebih realistis. Menggantungkan harap pada seseorang hanya akan berbuah kecewa.Kepastian, meskipun menyakitkan akan jauh lebih baik dari pada keindahan tetapi fatamorgana. Anak-anak yang menjadi alasan utama aku bertahan nyatanya mereka tetap saja tidak mendapatkan haknya secara utuh. Bertumbuh tanpa kehadiran orang tua yang lengkap tentu akan menghadirkan sebuah
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA"Kamu ngeributin apa lagi, sih, Ma?" tanya Hendi dengan nada ketus padaku setibanya ia di rumah.Aku yang tengah menyelesaikan beberapa pekerjaan, menghentikan aktivitas sejenak."Siapa yang ribut?" "Nggak usah pura-pura nggak tahu! Ngapain harus menghina-hina Nadia di rumah Ibu?"Rupanya hasil pengaduan istri barunya yang membuat Hendi seperti cacing kepanasan begitu."Aku cuma membalas perkataan dia aja. Kalau dia merasa terhina, itu masalahnya sendiri. Nggak ada urusan sama aku.""Nggak usah bersilat lidah begitu! Kamu bukan hanya menghina dia tetapi juga sudah mempermalukan dia depan keluargaku.""Ya, baguslah kalau masih punya rasa malu," jawabku santai."Tiara! Kamu benar-benar keterlaluan, ya!" teriak Hendi padaku. Agak ngeri juga melihat dia tengah dikuasai amarah begitu. Aku balas menatapnya dengan tatapan tajam."Kamu jalani saja peran kamu, dia pun sesuai posisiny
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPart 11(POV Nadia)Menjadi pihak ke tiga dari sebuah hubungan pernikahan yang resmi, tentu tidak ada yang menginginkannya, begitu pun dengan aku. Namun, ketika jalan itu terbentang di depan mata dan hati pun berbisik untuk menjalaninya, maka kulalui itu.Tiara dan Hendi bukanlah sosok yang asing bagiku. Sedari kecil kami sudah mengenal satu sama lain walaupun tidak berteman dekat. Bertahun-tahun kami berada di almamater yang sama.Tiara anak dari keluarga biasa. Sangat biasa, tidak ada apa-apanya dibanding aku. Akan tetapi, entah kenapa segala kebaikan selalu berpihak padanya.Secara fisik pun aku jauh lebih unggul dari dia. Aku berkulit putih, bersih, dan terawat ditopang dengan baju-baju dengan harga fantastis membuatku semakin menonjol di lingkunganku. Namun, tetap saja Tiara yang menjadi pusat perhatian.Semasa sekolah, dia selalu menjadi juara kelas dan mewakili sekolah untuk mengikuti be
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPart 12(POV Hendi)Berada di antara dua wanita, tidak pernah terniat dan terpikirkan olehku selama ini. Namun, telah nyata kujalani.Tiara dan Nadia adalah dua sosok yang sulit dicari kesamaannya. Bahkan bisa dibilang sangat bertolak belakang. Tiara dengan segala kelebihannya. Dia pintar, penuh semangat, berpikir dewasa, dan merupakan sosok yang tidak pernah neko-neko. Bertahun-tahun aku melalui kebersamaan dengannya, hampir separuh umurku.Sukar memang untuk menemukan cela pada diri Tiara. Apalagi semenjak kami menikah dan punya anak, dia menjadi pribadi yang selalu berusaha menjadi lebih baik.Dia tanpa keluh kesah menemaniku memulai kehidupan dari titik terbawah. Tertatih-tatih berjuang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Menikah usia kami yang masih tergolong muda membuat kami harus lebih keras lagi berusaha apalagi kami bukanlah dari keluarga yang berada. Bertemu dengan N