Share

Part 5

last update Huling Na-update: 2022-03-14 23:11:17

"Apa-apa serba dipamerkan. Di mana-mana, kalau OKB memang norak! Dasar kampungan!"

Begitulah kalimat yang diposting Nadia. Kali ini aku tidak berminat lagi untuk membaca komentar-komentar yang sudah berjumlah puluhan itu.

Itu saja sudah cukup membuatku tertawa bahagia. Andai saja tidak sedang ada anak-anak di rumah, ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal untuk mengekspresikan rasa senang di hatiku ini. Ah, sereceh itu kebahagiaanku.

Bagaimana tidak, Nadia yang mengakunya selebritas, sosialita, dan keluarga kelas atas tetapi tiada hari tanpa kepo dengan sosial mediaku. Bahkan sampai-sampai kebakaran jenggot hanya karena postingan foto.

Aku rasa, semakin sering aku posting tentang kebahagiaan akan semakin cepat juga dia jantungan. Bibirku jadi tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Lucu juga kadang kehidupan ini. Dan, secara spontan beberapa ide telah bergelayut di otakku. Tunggu saja waktu eksekusinya!

***

"Beli stroller di mana?" tanya Hendi ketika dia masuk ke ruang tengah. Stroller dari Hakim masih tersandar di pojok ruangan.

"Kado dari teman di sekolah," jawabku sambil terus menimang-nimang Syira.

"Tumben beli tas mahal?" Tas kulit berwarna hitam pun masih ditaruh di atas stroller. Beberapa saat yang lalu Rara ingin mencoba memakainya dan belum sempat di masukkan kembali ke dalam box-nya.

"Toko milik Hakim lagi flash sale," jawabku spontan. Setelah itu aku bingung sendiri atas jawaban yang tidak nyambung itu.

"Hakim yang dulu kandidat calon ketua BEM fakultas?"

Aku menjawabnya dengan anggukan.

"Toko yang di samping kantor pos itu punya dia?" 

"Iya, itu salah satunya."

"Aku pernah ketemu dia di sana waktu ...." Hendi tidak meneruskan kalimatnya. Tetapi bisa kutebak, paling kelanjutannya waktu dia menemani Nadia ke sana.

Aku melirik pada Hendi dan dia mengalihkan pandangan. Selama beberapa minggu terakhir, baru kali ini kami berbincang dengan suasana yang agak dingin dan santai.  

Mungkin Nadia lagi jinak, pikirku. Sehingga dia tidak bicara macam-macam sama Hendi. Tidak seperti kemarin-kemarin, setiap pulang ke rumah ini ada saja kesalahanku di matanya.

"Khalif pulang ngaji jam segini, kan? Aku mau jemput dulu," ujar Hendi setelah kami hanya saling diam beberapa saat.

"Iya, sebentar lagi. Tadi Rara katanya mau makan sama Papa. Temanin dulu aja," saranku.

Di saat yang bersamaan Rara keluar dari kamar yang biasa digunakan untuk tempatnya bermain.

"Papa, papa ngapain di rumah Tante Nadia?" tanya gadis kecil itu sambil naik ke pelukan papanya. 

Aku dan Hendi seketika saling berpandangan. Kemudian tatapanku beralih pada Rara.

"Tadi pagi Bunga bilang, dia ke rumah Tante Nadia semalam terus di sana ada Papanya Rara katanya," celoteh gadis itu dengan polosnya.

Bunga adalah teman Rara di TK. Rumahnya hanya berselang beberapa rumah dengan Nadia.

Aku bingung harus menjelaskan apa. Selama ini, yang Rara tahu kalau papanya tidak ada di rumah, berarti sedang bekerja di tempat yang jauh. Karena itu juga kami menghindari melewati jalan dekat rumah Nadia.

Kalau Khalif, perlahan kuberi pengertian. Aku tidak ingin dia terluka karena mendapat informasi dengan cara yang salah dari lingkungan luar.

Sebelum menandatangani surat persetujuan, aku pernah meminta pada Hendi agar dia dan Nadia tinggal di daerah yang agak jauh dari kami. Tujuannya untuk menjaga perasaan anak-anak. Agar tidak terjadi seperti sekarang ini. Rara semalaman menunggu papanya pulang. Aku bilang papanya sedang ada di kota lain. Ternyata, dia dapat cerita yang berbeda dari temannya.

"Rara katanya mau makan sama Papa. Jadi? Mau makan dulu apa jemput Kakak Khalif dulu?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Hmm ... gimana, ya? Ikut jemput Kakak dulu, deh. Sekalian beli es krim ya, Pa?" pintanya dengan manja.

Hendi mengacungkan jempol. Rara bersorak gembira. Setelah itu mereka pun beranjak menjemput Khalif.

***

Hari ini aku berangkat ke sekolah. Walaupun belum habis masa cuti, tetapi ada rapat penting yang harus aku ikuti. Syira kutitipkan di rumah ibu.

Khalif dan Rara diantar ke sekolah oleh papanya dan nanti pulangnya dijemput Obi lalu dititipkan juga di rumah ibu.

Setelah rapat selesai, Bapak Kepala Sekolah mengajak kami untuk makan siang di sebuah resto yang baru saja grand opening. Usut punya usut, ternyata resto itu adalah hasil kerja sama Bapak Kepala sekolah dengan Hakim. Kami semua diajak ke sana dalam rangka syukuran.

Selesai makan, kami pun tidak melewatkan sesi berfoto ria. Apalagi di sana terdapat beberapa spot yang sangat instagramable.

"Tiara, tolong amankan dulu tas Bunda. Bunda mau ke toilet!" seru Bu Aima. Beliau merupakan salah seorang guru senior yang sangat baik. Kami memanggilnya Bunda. Beliau adalah penyuka barang-barang bermerk. Bahkan tasnya pun ada yang berharga puluhan juta. Dan tas yang dibawanya kali ini dibeli dengan harga dua belas juta. Baru kemarin dibelinya di toko Hakim. Konon katanya, beliau bisa tajir melintir lewat jalur suami. Suaminya punya perkebunan sawit berhektar-hektar di pulau Kalimantan.

Aku pun ikut berfoto sambil menenteng tas mewah milik bunda. Sedangkan aku sendiri hanya membawa tas kecil yang hanya muat HP dan dompet. 

Selesai sesi foto, HP-ku tak berhenti bergetar. Puluhan foto dikirim ke grup sekolah dari beberapa orang yang tadi menjadi fotografer dadakan. Aku pun antusias melihatnya satu per satu. Cukup banyak foto aku di sana. Bahkan ada yang candid saat aku tengah menenteng tas merah marun milik bunda. Ternyata warna tas bunda sinkron dengan kerudung yang kupakai.

Kupilih beberapa foto dengan latar yang berbeda-beda. Hanya satu foto yang sendiri, selebihnya bersama-sama. Tidak yang terlalu ramai juga, paling yang terdiri dari empat sampai lima orang saja. Kemudian kuposting di media sosial. Tidak lupa juga mencantumkan lokasi tempat kami berada.

"Bahagianya bisa berkumpul dengan orang-orang baik."

Setelah mengetikkan kalimat tersebut sebagai keterangan, aku pun mengunggahnya.

Bibirku melengkungkan senyum. Kurasa sesekali membahagiakan diri sendiri tidak ada salahnya. Siapa lagi yang akan peduli pada diri kita kalau bukan kita sendiri. Iya, kan?

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau itu melebihi binatang bodohnya. padahal dlm dunia nyata seorang guru itu wanita cerdas,kuat dan g menye2. g kayak kau yg tolold dan dungumu benar2 mengalahkan babu
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 100

    Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 99

    Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 98

    Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 97

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 96

    Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 95

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 94

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 93

    Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 92

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status