LOGINDania terbangun entah sudah berapa lama tertidur. Cahaya redup dari balkon memberi kode: siang telah beringsut jauh. Seluruh tubuhnya masih sakit, perlahan ia mengangkat badan, berusaha duduk.
Kamar tampak rapi dan sepi; di atas nakas teronggok segelas susu. Ingatan tentang apa yang terjadi pagi itu bergulung kembali—mendorong perasaan jijik, malu, dan marah yang masih menyengat.
Ia meraih ponselnya dari laci. Layar penuh notifikasi; jadwal rapat, undangan, pesan masuk—semua menunggu, sementara ia malah terjerat hari yang hancur.
Klik
Suara pintu terbuka, Dania menoleh dan mendapati suaminya datang membawa sebuah kantong belanja. Dania memalingkan wajah; sungguh muak melihat suaminya.
“Siap-siap, kita mau makan malam dengan salah satu pengusaha!” ucapnya dingin. Kemudian melemparkan kantong belanja itu ke Dania.
Dania memejamkan mata, amarahnya tersulut. Caranya seperti memberikan kepada binatang peliharaan. Perintah dan perintah hanya itu yang ada dalam rumah tangga mereka.
“Hebat sekali Anda, Tuan Ryan—walikota termuda di negara ini,” suaranya bergetar namun tegas. “Sungguh terhormat sekali, tetapi memperlakukan istri seperti tawanan. Tak manusiawi.”
Ryan mendengus, wajahnya menegang. “Beraninya, Kau, Dania,” bentaknya, lalu melangkah cepat mendekat. Tangan besarnya mencengkeram bahu Dania sampai ia tersentak. “Aku tidak punya waktu buat drama. Bersiaplah, atau aku kunci kamu di kamar mandi semalaman.”
Kata-kata itu melayang di udara seperti ancaman. Dania menatap mata suaminya—di sana ada kemarahan, tetapi juga sesuatu yang rapuh, seperti orang yang tahu telah melanggar batasnya sendiri. Di balik insiden pagi itu, rumah besar itu tetap berbunyi oleh rutinitas; telepon, notifikasi, dan keputusan-keputusan yang dibuat tanpa melihat luka yang ditinggalkan.
Dania menarik napas panjang, berusaha menenangkan suara di dadanya. Malam itu, ia tahu bukan sekadar soal kecemasan publik—ini tentang harga diri, batas, dan pilihan yang harus diambil selanjutnya.
Mengambil kantong belanja itu dan masuk ke dalam kamar mandi. Dania memutuskan—lebih tepatnya tidak ada pilihan—untuk ikut makan malam bersama Ryan. Ia memakai semua pakaian yang telah disiapkan.
Gaun berwarna krim muda dengan hijab senada membingkai sosok Dania dalam balutan anggun. Riasannya tipis, namun cukup untuk menonjolkan kecantikan alaminya. Sebuah tas hitam kecil menggantung di lengannya, memberi sentuhan akhir yang sederhana tapi berkelas.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun itu begitu pas di tubuhnya—lembut, elegan dan memancarkan wibawa seorang istri pejabat. Ryan memang selalu tahu cara memilih busana yang sesuai dengan citra publik mereka.
Tok… tok…
Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Sudah waktunya berangkat. Dania menarik napas, merapikan ujung hijabnya, lalu melangkah keluar kamar. Di koridor, Tara—asisten Ryan—sudah menunggunya.
“Anda cantik sekali, Bu,” puji Tara tulus. “Bapak sudah menunggu di mobil.”
Dania hanya membalas dengan senyuman kecil. Ia melangkah menuju mobil dinas yang terparkir di depan rumah.
Di dalam, Ryan sudah duduk di kursi belakang. Wajahnya tegas, pandangannya lurus ke depan, seolah tak ada Dania di sebelahnya. Keheningan memenuhi hingga suara Ryan memecahnya.
“Tara, informasi apa yang kau temukan tentang Pak Nicho?”
Tara—yang duduk di kursi depan—sedikit menoleh. “Pak Nicho sekarang sedang sibuk mencari jodoh, Pak,” jawabnya setengah bercanda.
Ryan mendengus pelan sambil meninju ringan pundaknya. “Jangan bercanda. Aku tidak butuh kabar seperti itu. Aku ingin tahu tentang bisnisnya.”
Tara menggaruk kepalanya—yang tak gatal. “Maaf, Pak. Dari informasi yang saya dapat, Pak Nicho tipe orang yang sulit diajak kerja sama. Kalau Bapak ingin menjalin hubungan bisnis dengannya, Bapak harus benar-benar pandai menaklukannya.”
Mobil kembali hening. Hanya suara mesin dan rintik hujan yang terdengar. Dania melirik ke arah Ryan—dingin, berwibawa, dan… asing. Pria itu di sebelahnya itu bukan lagi sosok yang dulu ia kenal.
Mobil berhenti di depan sebuah restoran mewah di pusat kota. Dania menatap ke luar jendela, sedikit heran. Tumben sepi, batinnya. Biasanya, setiap kali ia melintas di tempat ini, antrean mobil mengular sampai ke jalan.
Ryan membuka pintu dan turun lebih dulu, lalu menggenggam tangan Dania, mengaitkannya di lengannya. Sebuah kebiasaan yang tampak romantis di mata publik—padahal mereka sama-sama tahu, itu hanya topeng.
Mereka melangkah masuk ke restoran dengan langkah pasti. Cahaya hangat dari lampu gantung kristal memantul di lantai marmer, sementara musik lembut mengisi ruang yang lengang.
Tak lama, mereka disambut oleh sosok tegap berjas abu muda.
“Senang berkenalan dengan Anda, Pak Ryan,” ucapnya dengan ramah, sembari menjabat tangan Ryan dan menepuk bahunya.
“Sebuah kehormatan bagi saya juga, Pak Nicho,” balas Ryan dengan gaya diplomatisnya—senyum terkendali, pandangan tajam, dan nada penuh wibawa, seperti dua orang penting yang sedang memainkan peran di depan dunia.
Namun, momen itu terhenti ketika pandangan Nicho jatuh pada sosok di samping Ryan.
Dania.
Ada sesuatu di matanya yang berubah—sorot yang terlalu lama untuk disebut sopan. Seolah waktu berhenti sesaat hanya untuk memperhatikannya. Wajah lembut di balik hijab itu membuat dada Nicho berdebar tanpa sebab.
Ryan sadar.
Ia merapatkan genggamannya di pinggang Dania, mempererat pelukannya di depan umum. Senyumannya tak berubah, tapi ada nada peringatan dalam suaranya saat ia berkata, “Ini istri saya, Pak Nicho.”
Nada itu terdengar ringan, tapi cukup tegas untuk menandai batas. Nicho mengerjap pelan, mencoba menutupi kegugupan dengan tawa kecil. “Ah, tentu… istri yang sangat anggun.”
Dania hanya tersenyum sopan. Tapi di balik senyumnya, ada rasa asing yang mulai tumbuh—antara kagum, takut, dan waspada.
Dania meringis pelan ketika pelukan Ryan semakin erat hingga membuat bekas lukanya sakit.
“Sakit, Ryan. Punggungku masih perih,” bisiknya lirih di telinga suaminya.Ryan segera merenggangkan pelukannya. Tak sengaja, matanya menangkap bahwa Nicho memperhatikan mereka, “Ah, saya lupa. Istri saya baru bekam, Pak,” katanya santai. “Jadi punggungnya masih nyeri.” Nada suaranya dibuat ringan, wajahnya tetap dengan senyum diplomatis khas pejabat.
“Oh, begitu,” sahut Nicho sopan. “Cepat sembuh, Bu.”
Ryan tersenyum kecil, lalu memperkenalkan mereka. “Oh ya, kenalkan Pak, ini istri saya, Dania. Dan Dania, ini Pak Nicho.”
Nicho mengulurkan tangannya, menatap tanpa berkedip. Tatapan yang terlalu lama untuk dianggap formal.
“Dania,” ucap Dania pelan sambil menjabat tangannya. Senyumnya ramah, tapi ada rasa tidak nyaman di dadanya.
Malam itu, suasana meja makan berubah cepat dari ramah menjadi tegang. Setelah hidangan utama tersaji, percakapan mereka bergulir ke arah yang lebih serius.
Nicho membuka pembicaraan tentang proyek barunya—sebuah usaha besar yang ingin ia dirikan di kota yang dipimpin Ryan.
Namun, permintaannya tidak sederhana.
Ia menginginkan keringan pajak, dan sebagai imbalan, Nicho menjanjikan dua puluh persen keuntungan perusahaan setiap bulan untuk Ryan.
Ryan terdiam.
Wajahnya tetap tersenyum, tapi tangannya menggenggam gelas terlalu erat.
Ryan sudah mencari tahu tentang bisnis Nicho di kota lain. Ia tahu keuntungan per bulan Nicho tidak sedikit. Jika dua puluh persen saja diberikan padanya, itu sudah melebih gajinya sebagai walikota.
“Itu… tawaran yang sulit, Pak Nicho,” jawab Ryan hati-hati. “Anda tahu sendiri, peraturan di kota ini sangat ketat.”
Nicho hanya tersenyum miring, lalu mengeluarkan sesuatu dari jasnya—selembar cek. Ia mendorongnya perlahan di atas meja, hingga terhenti tepat di depan Ryan.
“Anggap saja ini tanda keseriusan saya,” ujarnya datar.
Ryan menatap cek itu lama.
Dua puluh miliar rupiah.
Angka yang mampu membuat siapa pun kehilangan akal. Bahkan ia sendiri, yang baru saja merasa mual karena tekanan jabatan dan reputasi, sempat terpaku. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia merenggangkan dasi yang terasa seperti jerat di leher.
Dania memperhatikan perubahan ekspresi suaminya. Ia tahu isi pembicaraan mereka sepenuhnya, tapi nalurinya mengatakan ada sesuatu yang berbahaya di meja itu—sesuatu yang bisa menghancurkan Ryan, dan dirinya juga.
Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini
Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i
“Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa
Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa
Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer







