Share

Bab III

Author: Sann dyy
last update Last Updated: 2025-10-22 11:16:25

Ryan meminta Dania menunggunya di mobil karena akan ada pembicaraan rahasia antara dirinya dan Nicho. Ia tak ingin siapa pun tahu—termasuk istrinya sendiri.

Dania mengangguk patuh. “Terima kasih atas jamuan makan malamnya, Pak Nicho,” ucapnya sopan sebelum melangkah keluar restoran.

Dalam hati, ia ingin sekali berpendapat tentang kesepekatan yang sedang dibicarakan antara Ryan dan Nicho. Namun ia tahu, Ryan tak akan memberinya ruang. Yang bisa ia lakukan hanyalah berharap semoga keputusan Ryan tidak menyeret mereka berdua ke lubang yang lebih dalam.

Sudah hampir sepuluh menit menunggu di mobil, namun Ryan belum juga kembali. Punggungnya mulai terasa nyeri, perih di balik gaun yang terlalu ketat.

“Tara, aku ke toilet sebentar ya,” katanya sambil menahan wajah agar tetap tenang.

“Mau saya antar, Bu?” tanya Tara cepat, membukakan pintu mobil.

Dania menggeleng, “Tidak perlu, Tara. Kamu harus menunggu Ryan di sini,” jawabnya kemudian berjalan cepat ke dalam restoran, berusaha tak menarik perhatian siapa pun.

Toilet restoran itu sepi. Dania bernapas lega, mengunci pintu, lalu melepaskan gaunnya perlahan. Ia mengambil salep dari tas kecilnya dan mulai mengoleskannya di punggung.

“Aww…” lirihnya tertahan. Sensasi dingin bercampur pedih menyebar di kulit yang masih memar.

Matanya menatap pantulan dirinya di cermin—gaun mewah, wajah berias sempurna, tapi tubuhnya penuh luka. Begitu menyedihkan. Di balik penampilan yang tampak anggun, tersimpan rasa sakit yang tidak seorang pun tahu.

Namun, tanpa ia sadari, seseorang berdiri di luar pintu. Seorang pria yaitu Nicho. Ia tak sengaja lewat dan mendengar suara rintihan.

Nicho menempelkan telinganya ke daun pintu, memastikan rintihan itu dari dalam. Ia sempat ragu, lalu memutar kenop, khawatir ada yang terjadi. Tapi pintunya terkunci.

Dania terkejut mendengar suara gagang pintu bergerak. Ia buru-buru mengenakan kembali gaunnya, menutup rapat resleting di belakang, dan berlari kecil ke arah pintu.

“Sebentar..” serunya panik.

Begitu pintu terbuka—

“Loh, Pak Nicho?” Dania tersentak. Matanya membesar, napasnya tertahan.

Nicho berdiri di depan pintu, menatapnya dengan ekspresi sulit dibaca—antara terkejut, khawatir.. dan sesuatu yang lain.

“Maaf, saya tadi mendengar suara rintihan,” ucap Nicho cepat, nada suaranya penuh kepanikan yang berusaha disembunyikan. “Anda baik-baik saja, Bu Dania?”

Dania mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar kencang. Ia  mengutuk dirinya sendiri—bagaimana bisa suaranya terdengar keluar?

 “Baik-baik saja, Pak,” ujarnya pelan, berusaha tenang.

Ia menunduk sopan, berniat segera pergi agar situasi tak semakin canggung. Namun, baru beberapa langkah ia ambil, lantai licin membuat tumit sepatunya terpeleset.

“Ah!”

Dalam sekejap, Nicho menangkapnya. Tubuh Dania refleks bersandar di dada pria itu. Detik itu, waktu seolah berhenti.

Nicho terpaku. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan aroma lembut parfum Dania, mendengar detak jantungnya yang kacau.

Matanya menelusuri wajah wanita itu—teduh, lembut, namun seperti menyimpan sesuatu yang entah kenapa membuatnya ingin melindungi.

Sungguh aneh. Ia telah bertemu puluhan wanita dalam hidupnya, tapi tak ada satu pun yang mampu membuat jantungnya berdebar sekuat ini.

“Hmmm…”

Keduanya tersentak mendengar suara itu. Dania buru-buru menjauh dari Nicho. Suaranya tercekat ketika melihat Ryan berdiri di depannya dengan ekspresi yang begitu gelap dan menusuk.

“Ryan…” Dania berusaha mendekat, suaranya lirih. “Tadi, aku hampir jatuh dan Pak Nicho menolongku.”

“Jangan salah paham, Pak Ryan. Saya hanya menolong istri Anda,” ujar Nicho cepat, suaranya terdengar tulus

Ryan menatap keduanya dalam diam. Tatapan dingin namun tersenyum—senyum yang tak pernah menenangkan. “Ah, tidak apa, Pak Nicho. Terima kasih sudah menolong istri saya,” ujarnya ramah, bahkan sempat menepuk bahu Nicho pelan.

“Kalau begitu, kami pamit dulu, ya,” ucapnya kemudian menggenggam tangan Dania dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan, Dania bisa merasakan genggaman itu semakin mengeras, seperti besi. Ia tahu bahwa Ryan sedang marah. Dania memejamkan mata dan pasrah atas apapun yang akan dilakukan Ryan berikutnya.

Plak

Ryan menampar Dania ketika mereka berhasil masuk ke dalam mobil. Untung saja mobil ini memang dipasang kaca gelap sehingga tak siapa pun dari luar bisa melihat apa yang terjadi di dalam.

Dania memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya jatuh tanpa dipinta. Ia tahu malam ini tak akan berakhir baik. Ia menunduk, mencoba menutupi dirinya yang rapuh.

“Dasar perempuan jalang,” bentak Nicho kemudian mencekik leher Dania.

Dania terengah, lalu detik berikutnya Ryan melepaskannya.

Napas Dania tersengal mencari udara. Ia menepuk dada sendiri, berusaha menstabilkan diri. Lehernya masih terasa nyeri, sementara dada naik turun cepat menahan isak yang hampir pecah.

Entah apa yang tersisa dari dirinya kini. Jika pernikahan seharusnya tentang saling mencinta, maka yang mereka jalani hanyalah sisa dari sesuatu yang pernah disebut cinta—yang kini berubah menjadi luka.

Ryan memerintahkan Pak Yanto melajukan mobil. Mobil pun kembali melaju. Tak ada suara lagi di antara mereka. Tara memilih menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Hanya terdengar isak tertahan Dania, samar, seperti pecahan kaca yang beradu di udara.

Ia memalingkan wajah, menatap keluar jendela. Lampu-lampu jalan yang berkelabat seolah jadi satu-satunya saksi betapa kosongnya hidup yang kini ia jalani.

Setibanya di rumah, Ryan menarik tangan Dania tanpa sepatah kata. Wajahnya dingin, nyaris tak berperasaan. Ia mengunci pintu kamar, dan langkah-langkah mereka berhenti di tepi kolam renang pribadi—yang hanya bisa diakses dari kamar mereka. Tempat yang biasanya menjadi pelarian Dania untuk menenangkan diri. Namun malam ini, tempat itu terasa seperti penjara. Suara air yang biasanya menenangkan kini justru memantulkan ketegangan di udara.

Ryan merobek baju Dania dengan paksa, membiarkan luka di punggungnya terlihat jelas. Kemudian, ia mendorong tubuh Dania masuk ke dalam kolam.

“Ampuun, Ryan…” lirih Dania. Dinginnya air kolam semakin membuat lukanya nyeri dua kali lipat. Dania berusaha naik ke atas, tetapi tak dibiarkan oleh Ryan. Ia mendorong tubuh Dania lagi masuk ke dalam kolam.

“Selama tiga jam kamu harus di situ. Biar kamu ingat bagaimana rasanya kalau mencoba menyelingkuhiku,” ujarnya dengan nada dingin, tak ada ampun.

“Selingkuh?” Dania menggeleng. “Aku tidak semurahan itu!” bentaknya.

Ryan tertawa, mengejek. “Halah, Dania. Kamu pasti menginginkan Nicho, kan?”

Tak ada yang bisa mengubah pandangan Ryan malam itu. Ia menuduh, menghukum, dan mempermalukan dengan kata-kata yang menusuk. Setiap kalimatnya seperti cambuk yang tak kasat mata—mengiris perlahan, menyalakan luka-luka lama di hati Dania.

Dania tak terima, amarahnya memuncak. “Tidak. Aku masih tahu statusku,” jawabnya dengan nada ketus. Dinginnya air tidak lagi terasa begitu menyakitkan karena ucapan Ryan jauh membuatnya sakit. “Kenapa kamu begitu marah? Apa karena cemburu?”

Ryan menatap Dania. Pantulan lampu di kolam memperlihatkan jelas lekukan tubuh Dania tanpa sehelai kain pun di dalam genangan air. Seksi. Sial, Ryan menegang, membayangkan tubuh itu di pelukannya.

Namun, pemikiran itu segera diusir jauh-jauh. Dia tidak boleh jatuh cinta pada seorang Dania.

“Cemburu katamu?” dia menyunggingkan tawa, “Kubur saja pemikiranmu itu ke alam mimpi. Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah cemburu. Aku hanya tak ingin reputasiku hancur jika ada yang melihatnya.”

Air mata Dania menetes. Ini bukan pertama kalinya Ryan secara terang-terangan memandangnya hanya sebagai seorang istri di atas kertas—tanpa perasaan. Memangnya apa yang kamu harapkan, Dania? batinnya.

“Kalau begitu, mari kita bercerai,” suaranya pecah.

Hening.

Satu detik. Dua detik.

Brak

Sauara dentuman keras—suara kaca pecah memenuhi udara. Ryan telah berhasil melayangkan pukulannya ke salah satu kaca jendela kamar mereka.

Dania memejamkan mata. Menguatkan dirinya yang ketakutan. Sementara Ryan tak berkata apa-apa lagi. Ia berjalan ke dalam kamar dan kembali membawa handuk. Ia melemparkan ke salah satu kursi yang ada. “Naiklah! Hukumanmu sudah selesai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCIII

    Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini

  • Sisi Gelap Sang Penguasa    Bab XCII

    Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCII

    Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCI

    “Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XC

    Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab LXXXIX

    Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status