"Mbak ini yang ada di video viral itu kan?" tanya seorang lelaki paruh baya yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Yasmin. Seketika wajah Yasmin memerah. Namun sebisa mungkin ia tutupi rasa malu yang mendominasi hati dan pikiran. "Maaf, mungkin bapak salah orang." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut wanita berambut panjang itu. "Saya yakin kok." Lelaki itu tetap kekeh dengan pendiriannya. Dia justru semakin menatap Yasmin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ini, Mbak." Yasmin segera memberikan uang dan pergi dari sana. Berbekal foto copy KTP dan ijazah Yasmin mencoba mencari pekerjaan. Dia bahkan lupa untuk melamar pekerjaan bukan hanya KTP dan ijazah saja. Namun harus memiliki foto, surat lamaran dan lain sebagainya. Di lain tempat Sandra dan Bagaskara sedang duduk di ruangan notaris. Mereka tengah mengurus pemindahan aset atas nama Bagas menjadi atas nama Sandra. Senyum tak henti terlukis di wajah Sandra. Namun tidak dengan Bagaskara. Lelaki yang sudah memi
“Maaf Ya,Mbak.Saya tidak sengaja.” Brian menatap wanita di hadapannya. “Tak apa,namanya juga tidak sengaja.” Yasmin memasukkan ponsel ke dalam tas. Dia urungkan niat untuk kembali menghubungi Bagas. Yasmin kembali berjalan. Dia memutuskan untuk mencari rumah makan terdekat. Rasa lelah dan lapar menuntunnya untuk pergi ke rumah makan tak jauh dari mini market. Hanya tiga bangunan dari toko yang menjual berbagai kebutuhan pokok itu. “Mbak!” Langkah Yasmin terhenti kala mendengar panggilan seseorang. Wanita yang memakai kemeja biru muda itu kembali menoleh ke belakang. “Kamu memanggilku?” tanyanya kepada Brian yang masih diam membisu. Bahkan matanya tak lepas dari memandang Yasmin. “Apa ini orangnya?” Brian mengingat wajah wanita di video penggrebekan itu dan mencocokkan dengan wajah wanita di hadapannya. “Benar dia orangnya. Pantas saja papi tergila-gila padanya. Yasmin memang cantik. Sayang kecantikannya digunakan untuk merusak hubungan orang lain,” batin Brian. Yasmin sedikit
Yasmin diam, ucapan Bagaskara membuat dirinya tak berkutik. Yasmin memang sudah jatuh hati kepada lelaki beristri itu. Namun untuk hidup bersama tanpa limpahan harta membuat dirinya ragu. Awal mula terjalin hubungan terlarang itu karena harta. Hingga akhirnya keduanya bermain hati terlalu dalam. Itu yang membuat mereka tak bisa saling melepaskan. "Kenapa kamu diam, Yasmin? Apa benar yang dikatakan Sandra. Kamu hanya menginginkan hartaku. Kamu tak mencintaiku kan?" Yasmin seperti memakan buah simalakama. Bingung harus berkata apa? Kalau saja dia tidak bermain hati, mungkin saat ini dia memilih pergi dan mencari pria yang lebih kaya dibanding Bagas. Namun hati Yasmin telah terjerat dengan pesona Bagaskara. Lelaki yang sudah memiliki dua anak tapi masih gagah. "Om Bagas yakin akan meninggalkan harta dan keluarga demi hidup bersamaku?" tanya Yasmin ragu. Bagaskara menganggukkan kepala. Senyum merekah tergambar jelas di wajah lelaki itu. Namun secepatnya ia tarik lagi lengkungan itu
Bagaskara berjalan mendekat setelah mengunci pintu kamar hotel. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya memanas melihat Sandra yang memakai lingerie berwarna merah duduk manis di atas ranjang. Setelah beberapa tahun, baru kali ini Sandra memakai pakaian tidur yang tipis. Hampir semua bagian tubuhnya tergambar jelas di sana. Lelaki mana yang tak tertarik saat disuguhkan hal seperti itu. Rasa marah yang hadir kini menguap seketika. Hanya tertinggal hasrat yang harus segera dituntaskan. "Sayang ...," panggil Bagas sambil menjatuhkan bobot tempat di samping Sandra. "Maafkan aku sudah menduakan cinta kamu. Aku khilaf." Bagaskara menarik tubuh Sandra hingga berada dalam dekapannya. Sandra diam meresapi harum tubuh Bagas yang sudah lama ia rindukan. Semenjak kehadiran Yasmin, Bagaskara jarang memberikan nafkah batin untuknya. Dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari mereka melakukan ibadah suami istri itu. "Tolong tinggalkan Yasmin, Mas." Sandra menggeserkan kepalanya di dada bidang Ba
"Bagaimana, Nabila? Apa kamu bersedia mengikuti peraturan restoran ini?" tanya Bu Hazna karena melihatku masih diam mematung. Bagaimana bisa aku memakai hijab? Astaga! Pekerjaan macam apa ini? Apa kata dunia jika seorang Yasmin memakai hijab? Ini kenyataan atau hanya ilusi? "Nabila!" panggilan pelan. Aku ingin mengundurkan diri saat ini juga. Namun ucapan Cindy kembali terngiang di telinga. Aku harus tidur di mana jika dia mengusirku? "Baik, Bu." "Saya tunggu kehadiran kamu, besok pagi." Seulas senyum di berikan kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu berjalan meninggalkan wanita dengan hijab menjuntai itu. Aku berjalan ke luar restoran dengan pikiran tak menentu. Pakaian apa yang harus ku kenakan untuk bekerja besok? Sedang aku tak memiliki pakaian yang pantas. Semua bajuku selalu terbuka. Astaga! Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Aku harus membeli pakaian dengan apa? Sedang uang di dalam dompet tersisa seratus lima puluh ribu. Apa aku jual ponsel saja? Tapi sayang, ini s
"Berhenti di sini saja, Mas."Aku turun sedikit jauh dari rumah Cindy. Berjalan perlahan sembari menenteng dua kantung plastik berwarna hitam. Telinga ku tajamkan agar bisa mendengar apa yang ibu-ibu kompleks bicarakan di depan rumah sahabatku. Namun tetap saja tak bisa mendengar apa yang mereka perdebatan. Hanya tatapan garang dari ibu-ibu."Itu dia Yasmin!" teriak wanita berdaster biru muda. Seketika semua mata tertuju padaku. Mereka seperti singa kelaparan yang siap menerkamku."Sini kamu!" Teriak wanita dengan rambut sebahu. Tangannya disilangkan di dada dengan mata melotot ke arahku.Ya ampun, ini belum malam tapi para setan sudah keluar dari sarangnya."Ada apa ini, Cin?" Ku senggol pundak Cindy. Namun dia justru mengangkat bahunya."Orangnya sudah datang, aku masuk dulu." Cindy berjalan masuk ke rumah. Namun seorang ibu menarik lengannya hingga akhirnya dia kembali berdiri di halaman rumah."Ada apa ini?" tanyaku penasaran.Semua mata tertuju padaku,menatapku dengan penuh keben
Brian duduk di kursi tepat di samping ruang IGD. Menunggu Yasmin dengan perasaan tak menentu. Entah bahagia atau pun kasihan. Perasaan itu seolah melebur menjadi satu. Hingga ia tak tahu harus bagaimana. Sebenarnya di hati Brian mulai tumbuh rasa tertarik kepada wanita simpanan ayahnya. Bukan karena cantik. Namun Yasmin seolah memiliki pesona tersendiri. "Sedang menunggu siapa, Mas?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampingnya. "Teman, Pak," jawab Brian lalu keduanya saling diam. Suster masuk dan keluar silih berganti. Banyaknya pasien di Instalasi Gawat Darurat membuat para suster dan dokter keteteran. Pintu ruang IGD dibuka perlahan dari dalam. Seorang suster berpakaian serba putih keluar. Netranya menoleh ke kanan dan kiri. Rupanya dia tengah mencari anggota keluarga salah satu pasien yang ada di dalam. "Keluarga pasien atas nama Yasmin?" ucapnya sedikit keras dengan mata menoleh ke sana ke mari. Brian segera berdiri, berjalan membungkuk saat melewati lela
Yasmin tersenyum datar, ia sama sekali tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Baginya cinta tumbuh karena terbiasa bersama. Sama seperti yang ia rasakan terhadap Bagaskara. Rasa nyaman dan harta melimpah membuatnya jatuh hati pada ayah Brian. "Jangan terlalu berharap, aku memiliki kekasih," ujar Yasmin lembut. "Ya, kekasihmu adalah ayah kandungku." Brian berkata tapi hanya di dalam hati. Selanjutnya semua diam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya kendaraan roda empat milik Brian berhenti tepat di depan kontrakan Cindy. "Terima kasih, Rian." Brian mengangguk lalu melajukan mobil meninggalkan Yasmin yang berdiri seraya melambaikan tangan ke arahnya. "Apa Yasmin benar-benar mencintai papi? Bukan sekedar menginginkan harganya saja, " batin Brian bertanya-tanya. Yasmin berjalan pelan menuju teras. Netranya awas melihat sekeliling. Halaman sudah bersih dan pot yang sempat berciuman dengan kepalanya juga sudah tidak ada. Bahkan koper yang sempat