Pov Brian“Tolong tunggu di luar,” ucap seorang suster lalu menutup pintu.Aku mondar-mandir di depan ruang IGD. Rasa takut kian besar saat seorang dokter masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa. "Om Gilang tak kenapa-napa, kan, Pi?" "Kita do'akan saja, Bi."Tak berapa lama orang kepercayaan Papi datang sambil membopong Yasmin. Sontak kami berdua berdiri lalu menuju ke arahnya. "Bawa masuk ke ruang IGD!" perintah Papi. Lelaki itu mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Tak berapa lama ia pun kembali keluar. Sepuluh menit kami duduk dengan gelisah. Menunggu dokter atau suster keluar terasa begitu lama. "Keluarga Yasmin?" panggil seorang suster saat pintu dibuka. "Saya pacarnya, Dok." Papi melirikku tapi tak mengatakan sepatah kata pun. Namun nampak jelas ia tak suka dengan ucapanku. Apa mungkin masih ada cinta untuk Yasmin di hatinya. "Silakan masuk." Aku mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Aku duduk sambil menunggu dokter menuliskan resep untuk Yasmin. Untunglah dia hanya demam d
"Yasmin!" teriak seseorang dari luar. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju depan. Entah siapa yang membuat rusuh di depan rumah. Tak tahukah jika aku lelah? Aku sudah bosan dengan semua masalah yang datang silih berganti? Aku hanya ingin hidup tenang, Ya Tuhan.Lagi dan lagi Sandra berdiri di depan rumah. Apa mau wanita itu? Bukankah aku sudah berusaha menjauh dari Brian? "Mau apa lagi kamu?" tanyaku datar. Sebisa mungkin kutahan rasa kesal dan marah yang hadir. "Mau apa?" ucapnya sambil melangkah maju. Mendadak perasaanku tak enak. Aku mundur beberapa langkah saat jarak kami semakin dekat. Semenjak kejadian beberapa hari lalu,aku semakin mudah takut. Bayangan Riki menganiayaku selalu hadir. Hidupku selalu diselimuti perasaan bersalah dan berdosa. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Brian dan Gilang. Diri ini terlalu sibuk menata hati. Setelah diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit,belum sekali pun aku bertemu mereka berdua. Aku pulang juga diantar supir,bukan
Beberapa tahun kemudian"Bagaimana, Farel? Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Aku masih mematung. Mulut membungkam tak ada satu kata yang mampu keluar. Azizah, putri seorang dokter spesialis jantung. Dia wanita yang dipilih mama dan papa untuk menjadi istriku. Ya, pilihan kedua orang tuaku tapi bukan dari hati ini. "Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Mama menatapku kelat. "Maaf, Ma, Pa aku tidak bisa. Aku tidak mencintai Azizah. Tak mungkin aku menjalani biduk rumah tangga jika hati masih terisi nama wania lain."Senyum yang sempat hadir kini lenyap. Hanya kekecewaan yang tergambar di wajah Azizah dan keluarganya. "Farel!"Aku menggeser kursi kemudian melangkah pergi. Kutinggalkan mereka dengan rasa kecewa yang mendalam. Pintu kututup kemudian menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lelah, aku lelah menjadi boneka yang selalu diatur. Bahkan untuk memilih masa depan aku tak mampu. Apakah ini namanya berbakti hingga menghilangkan hak diri sendiri? Aku tatap langit-langit kamar. Baya
"Tangkap dia!" teriak seseorang dari belakang. Dengan cepat aku berlari lalu melompat keluar. Kaki terus kupaksakan berlari. Tak perduli betapa lelah diriku ini. Kabur adalah solusi dari pada diam habis diambuk masa, lalu akhirnya mati dengan gelar pencuri. Memalukan. Masyarakat mudah terprovokasi, tanpa mengetahui kebenaran. Mereka menghukum seseorang hanya karena hasutan. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mati karena tak bisa membela diri. "Berhenti! Berhenti!" Suara itu semakin dekat.Aku terus berlari, menyelip ke sana kemari. Beberapa kali aku hampir terhuyung lalu jatuh. Beruntung banyak orang di terminal hingga menyulitkan mereka untuk mengejarku. Berdiri di belakang tembok, kuatur napas yang tersengal. Seakan oksigen tak mampu masuk ke paru-paru. Kupindai sekeliling, aman. Aku lolos dari kejaran mereka. Semua karena wanita itu. Awas saja kalau sampai bertemu! Suara cacing meronta meminta haknya. Aku melangkah pelan mencari warung makan. Berkali-kali aku mengamati kea
Jarum jam seakan diam, waktu seolah tak bergerak. Aku duduk di lobi rumah sakit. Sesekali kutatap orang berlalu lalang, masuk dan pergi silih berganti. Menunggu, sesuatu yang sangat kubenci. Namun justru kulakukan setiap waktu. Ya, menunggu bertemu dengan Yasmin. Hanya itu menunggu yang tak membuat lelah. Tapi membuat rasa sakit kian menusuk sanubari. "Sudah lama, Rel?" Arman keluar lalu berdiri tepat di samping kiriku. Kedatangannya menghapus bayangan Yasmin yang sempat hadir. Sebegitu menyiksa kata rindu itu. "Lumayan bikin pinggang mau patah, Ar."Lelaki itu tertawa lalu membantuku berdiri. Rasa nyeri akibat tinju dan pukulan semakin terasa. Hingga melangkahkan kaki begitu sulit. "Pelan-pelan, Bro," ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu naik ke mobil dengan hati-hati. "Makan dulu atau langsung pulang?" tanyanya sambil melajukan mobil meninggalkan halaman rumah sakit. "Aku gak laper, Ar. Ingin segera merebahkan tubuh. Cepek.""Oke."Jalanan begitu ramai kendaraan berlalu lalang
"Ya ... Yasmin."Wanita itu terkejut melihat keberadaanku. Namun berusaha ia tutupi dengan seulas senyum yang ia paksakan. "Kamu mengenalnya, Rel?" tanya Arman sambil menatapku lalu menatap Yasmin bergantian. Ada yang berdenyut melihat tatapan lelaki itu. Matanya memancarkan perasaan yang begitu dalam. Cinta, dia merasakan hal yang sama, seperti aku. "Dia ....""Saya tidak mengenalnya, Tuan."JLEPAda yang menusuk sanubari, tapi bukan belati. Hanya luka yang tak kunjung pergi. Rasanya bagai mengakar dan semakin kokoh. Aku benci keadaan ini. "Dia Amara, Rel. Wanita sering kuceritakan padamu.""Farel." Aku mengulurkan tangan ke arahnya. Dengan sedikit ragu ia menerimanya. "Amara." Satu kata keluar dari mulutnya. Amara atau Yasmin? Bukankah dia orang yang sama? Tapi kenapa Amara, bukan Yasmin? Aku genggam tangan itu untuk beberapa saat. Genggaman ini masih sama. Bahkan senyum dan suaranya sama persis dengan Yasmin. Aku mengenalnya, tak mungkin aku salah orang. "Maaf, Mas." Dia me
"Kenapa kamu begitu, Amara?" tanyaku lagi. Amara menelan ludah dengan susah payah lalu mundur hingga menempel di wastafel. Wajahnya tegang, terlihat jelas ia sangat ketakutan. "Akan aku jelaskan, Rel." Amara menghela napas lalu melangkah dan duduk di kursi. Aku tatap wajah wanita yang kini duduk di hadapanku. Bibir tipis, alis tebal, hidung bangir dan rambut panjang, dia masih sama seperti dulu. Dia masih Yasminku. Namun kini namanya bukan Yasmin, melainkan Amara. Entah kenapa dia mengganti nama indah itu, aku sendiri tak tahu. Kini saatnya aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari menyiksa diri ini. "Kenapa?" tanyaku lagi. Yasmin menatap lurus ke depan. Tatapan mata penuh luka tergambar jelas di sana. Dia kembali menghela napas, seakan kata itu sulit untuk diucapkan. "Kamu tahu, Rel. Bayangan luka masa lalu selalu menghantuiku. Rasa bersalah terus berlari mengejarku. Setiap kali nama Yasmin disebut, luka itu selalu terbuka. Bahkan semakin membesar. Aku berlari
Sebelum baca, jangan lupa klik tombol berlangganan agar tahu jika ada bab baru. ***[Di hotel biasa jam delapan. Aku tunggu sayang. Muuuaaccchh]Sebuah pesan masuk dari Om Bagaskara. Senyum mengembang kala mengingat wajah tampan penuh kharisma. Meski usianya menginjak setengah abad. Namun ketampanannya belum juga memudar. Tubuhnya masih terjaga, tanpa perut buncit seperti kebanyakan lelaki seusianya.Bohong jika aku hanya mendambakan uang darinya. Aku bahkan mulai bermain hati dengan pria beranak dua itu. Ya, Om Bagaskara sudah memiliki anak dan istri. Dan akulah orang ketiga dalam hubungan mereka.Lucu bukan?Hidup memang unik, aku dipertemukan dengan lelaki beristri dan aku jatuh hati padanya. Apa aku gila? Ah, ku rasa tidak. Bukankah semua orang pantas bahagia? Termasuk pelakor sekali pun.Namaku Yasmin Nabila Putri. Aku seorang simpanan pengusaha properti terbesar di Nusantara. Sudah lebih dari satu tahun aku menjalin hubungan terlarang dengannya. Lukman Bagaskara, lelaki yang sel