Skandal BabySitter dan Suamiku
(5)
..
"Kenalkan ini Sari, Babysitter baru Arkan," tandasku pada Mas Darma yang sedang sarapan.
Nadia yang juga sedang menyuapi Arkan terkejut, seketika dia mendongak ke arahku. Aku hanya meliriknya sekilas, sebelum mempersilahkan Sari mengambil Arkan dari tangan Nadia.
"Lho ... Kok babysitter lagi? Kan masih ada Nadia?"
Aku tersenyum kecut, lalu mendekat ke arah Nadia. "Nadia? Bukannya dia juga mau jadi nyonya di rumah ini, Mas?"
"Dek ... Sudah lah, kamu hanya salah faham."
Nadia masih menunduk dengan menyuapi Arkan, tapi aku yakin di dalam hatinya sedang memakiku. Biar saja, dia mau jadi aku, kan?
"Kenapa, Mas? Memang seperti itu nyatanya, kan? Tidak masalah jika dia ingin menjadi aku, tapi seluruhnya harus menjadi aku, ya?"
Kulirik sekilas Nadia, dia menghentikan aktifitasnya menyuapi Arkan. Terlihat sekali dia tengah memperhatikan obrolan kami meski tak memandangku dan Mas Darma.
"Nadia ... Kamu mau jadi aku, kan?"
Nadia menggeleng, "sudah ... Jujur saja. Tidak masalah kok. Kamu jadi nyonya di rumah ini, jadi istri Mas Darma, dan juga jadi pemilik rumah ini. Tapi kalau mau jadi aku jangan nanggung-nanggung, ya," kataku lagi dengan penuh penekanan.
Kedua orang yang sedang kasmaran itu memandangku secara bersamaan. "Kenapa? Serius, Mas. Aku tidak masalah kok kalau kalian mau bersama dan menikah secara resmi atas ijinku. Tapi syaratku ya itu, dia harus mau menjadi aku seutuhnya."
"Maksud kamu?"
"Yaa setidaknya dia harus punya penghasilan sepertiku, minimal dua juta lah sehari, tidak susah, kan? Tanya Mbok Nem, semua kebutuhan naik. Kalau cuma mengandalkan penghasilan Mas Darma tak akan cukup. Cukup, sih. Tapi nanti Nadia tidak bisa hidup glamor sepertiku. Perawatan wajahku saja sebulan bisa sejuta lima ratus, lho," kataku sengaja membuat ciut nyali Nadia.
Aku tertawa dalam hati, wajah Nadia terlihat pias. Bisa apa dia? Keahlian BabySitter saja mana bisa dapat penghasilan dua juta sehari? Kecuali kalau dia merawat bayi besar seperti Mas Darma, pasti lima juta sehari saja kecil baginya. Iya, kan?
"Alia ... Sudah cukup. Cukup! Aku lelah, kamu menuduhku terus-menerus. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Nadia. Dia murni hanya pengasuh Arkan, peng-a-suh Ar-kan!"
Lucu sekali, Mas. Hanya demi menutupi kebusukanmu itu, kamu rela merendahkan kekasihmu sendiri.
Ah, kalau aku jadi Nadia, pasti sudah memilih mundur dan lari terbirit-birit dari kehidupan Mas Darma.
Apa dia pikir bisa menggantikan posisiku? Jika bisa, saingi dulu diriku.
"Oh ... Tidak punya hubungan. Baiklah, tidak masalah, kok. Biar saja Sari di sini. Aku lebih ridho Arkan diurus Sari sekarang," ucapku sedikit kesal pada suamiku.
"Sari. Ambil Arkan dan bawa dia ke teras, suapi dia di sana sambil lihat burung," kataku lagi menyuruh Sari.
Dia lantas menggendong Arkan. Mengambil bubur sisanya lalu membawa Arkan sesuai arahanku. Aku hanya tersenyum tipis ketika melihat Nadia menatapku tajam.
Selama bekerja di rumah ini, baru kali ini dia berani menatapku seperti itu. Tak masalah, dia juga sudah mengibarkan bendera untuk menjadi rivalku, kan?
Kita lihat saja, seberapa lama dia mampu bertahan di samping Mas Darma.
Kulenggangkan kakiku meninggalkan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Biar saja, yang terpenting bagiku hanyalah kepuasan dalam hatiku untuk membalas perlakuan buruk mereka.
Aku berdiri di depan cermin besar kamarku. Kulihat tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki, menilik kekurangan serta keburukan yang ada dalam tubuhku.
Rasanya aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Darma, tapi kenapa, dia justru lebih memilih berkhianat dariku dengan pengasuh bayi kami. Padahal, tak hanya soal penampilan, semua pun sudah kuusahakan yang terbaik demi menjadi istri yang layak untuknya.
..
Sudah setengah hari Sari ada di rumah ini, dan itu artinya Nadia sama sekali tidak ada kerjaan. Dia hanya terdiam dan termenung sembari sesekali melihat Arkan yang sedang digendong Sari.
Sengaja, aku mengawasinya secara intens karena ingin melihat gerak-gerik Nadia setelah kuberi pukulan telak untuk bisa menyaingiku. Kulihat saja, seberapa jauh dia mampu menyaingiku.
"Pah, kenapa semua jadi seperti ini? Udah lah, ngaku aja ke istrimu itu kalau kita udah nikah siri sebulan yang lalu. Aku malas direndahkan terus seperti ini." Kudengar samar wanita murahan itu merajuk pada Mas Darma.
Aku hanya bisa meremas dadaku sendiri. Sebulan lalu katanya? Oh, betapa bodohnya aku ini. Telah dibohongi selama berabad-abad tapi tidak tahu.
Tak tahu pasti apa jawaban yang dilontarkan Mas Darma karena mereka hanya berbicara lewat sambungan telepon. Jika seharusnya aku lah yang merajuk karena telah dikhianati, tapi ini malah sund*l itu yang merajuk karena aku telah merendahkannya.
"Bu, saya khawatir, dengan tindakan Ibu ini maka Nadia akan semakin ngelunjak," tutur Mbok Nem mengagetkanku.
Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa begitu, Mbok?"
"Ibu terlalu memberi peluang pada Nadia untuk bisa menggantikan posisi Anda. Apa Anda benar-benar rela jika dia bisa bersanding secara resmi dengan Bapak?"
Mbok Nem selalu mendukungku, bahkan dia juga selalu ada di garda depan jika ada seseorang yang menyakitiku. Ah, syukurlah aku memiliki orang sepertinya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan lagi, Mbok. Pikiranku buntu, aku sama sekali tidak bisa berfikir jernih usai tahu kenyataan pahit soal Mas Darma yang telah berkhianat kepadaku," jawabku lesu, karena memang hatiku terlalu sakit atas pengkhianatan ini.
"Kenapa tidak, Anda memberinya pelajaran selama Bapak tidak ada di rumah?"
Sejenak aku terdiam, memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh Mbok Nem. Benar juga sebenarnya, selama skandal mereka terbongkar aku sama sekali belum memberi pelajaran yang berarti pada Nadia.
Biar saja meskipun dia mengadu pada Mas Darma. Toh, aku memiliki hak penuh kan atas Mas Darma dan seluruh kepunyaannya?
"Mbok, bantu aku, ya," kataku kemudian dengan senyuman lebar di bibir.
Mbok Nem memandangku aneh, seperti mempertanyakan mengenai kata-kataku.
Ya ... Aku baru saja memiliki rencana untuk mempermalukan Nadia. Yaitu dengan mengembalilannya ke yayasan lagi, aku yakin, selain mendapat sanksi dia juga akan malu sampai keubun-ubun.
Dua tahun kemudian ...."Selamat Alia atas pernikahanmu," ucap Almira dengan memberiku pelukan hangat.Aku tersenyum, dan membalas pelukannya sedang pengantin lelaki yang ada di sampingku pun ikut tersenyum. Kami sedang menjadi raja dan ratu sehari hari ini, dan harapan kami semoga pernikahan ini akan langgeng hingga tua nanti.Ya, hari ini aku menikah. Menikah untuk kedua kalinya setelah pernikahanku yang pertama gagal karena suamiku lebih memilih babysitter anak kami sendiri. Pernikahan keduaku ini pun tak semudah yang dibayangkan, aku sudah melalui banyak sekali hal yang membuatku jatuh bangun hingga akhirnya aku memantapkan hati untuk menikah dengannya."Satya, selamat ya. Semoga kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Alia dan menjadi ayah yang baik untuk Arkan." Lagi, Almira memberi selamat pada kami, terutama pada Satya.Pada akhirnya aku menikah dengan Satya, lelaki yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir ini. Suka duka sudah kami lalui bersama hingga akhirnya kami
"Sudah kubilang, jangan mengumbar cerita masalalu kita kepada oranglain. Aku tidak suka. Lagipula untuk apa kamu menceritakan kisah kita pada Alia? Kita sudah menjadi masalalu, dan aku berhak bahagia juga," tandas Irvan ketus.Aku yang berdiri tak jauh dari mereka bisa mendengar percakapannya dengan sangat jelas. Sengaja, aku ingin mendengar percakapan mereka yang mungkin tak akan diceritakan padaku. Almira adalah sabahat yang baik, Irvan pun demikian. Tak kupungkiri aku pun tidak bisa memihak pada salah satu diantara mereka.Keduanya kuanggap sangat baik meski pada kenyataannya Irvan menyatakan perasaannya padaku. Kupikir ini adalah jalan yang dipilih Tuhan untukku, sebagai pengganti Mas Darma tentunya. Namun jika sekarang kuketahui kenyataan yang seperti ini, apa aku tega untuk bersama Irvan? Sedang tangis Almira saja masih terngiang jelas di kepalaku.Lagipula aku tidak suka dengan sikap Irvan yang seakan menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Dia sudah membohongi Almira
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru