Skandal BabySitter dan Suamiku
(4)
..
Suasana masih hening ketika aku baru saja membongkar skandal Babysitter dan suamiku itu. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Mas Darma lebih memilih berselingkuh dengan Nadia, babysitter di rumah ini. Apa kurangnya aku? Kurang cantik, kah? Atau kurang perhatian? Sungguh, di luar nalar.
"Demi apapun aku tidak melakukan hal itu, Dek. Tolong percaya," elak Mas Darma lagi, membuatku semakin muak.
Aku hanya tersenyum miring, lalu berjalan ke arah Nadia. Sedari tadi, dia masih menunduk dalam.
"Oh, jadi orang ini yang menginginkan menjadi diriku? Duduk di posisiku? Begitu kah, Nadia?"
Dia yang kuanggap polos dan sederhana itu menggeleng.
Ciih! Dimana keberanianmu, Nadia? Keberanian seperti waktu kamu menggoda dan merayu suamiku!
"Ti-tidak, Bu."
Aku tertawa mendengar jawaban Nadia yang sedikit gugup. Orang sebaik dan sepolos Nadia, ternyata menyimpan sebuah rahasia besar yang mungkin tak semua orang percaya bahwa dia tega melakukan hal ini.
"Bener? Nggak apa-apa kalau emang iya ...."
"Dek. Udah lah ... Apa-apaan kamu ini."
Oh suamiku, pembelaanmu pada gund*kmu ini mulai keluar, ya?
"Maaf, Mas. Aku tidak bicara denganmu, melainkan pada babysitter yang sedang berusaha menjadi nyonya di rumah ini. Bukan begitu, Nadia?"
Amarah dalam dadaku sudah memuncak. Ingin rasanya langsung menjambak dan mendorong tubuh kotornya itu. Namun, itu bukan diriku. Pantang bagiku untuk menyentuh orang yang sudah berkhianat denganku.
"Sebenarnya, apa yang kamu incar dari suamiku, Nadia? Ketampanannya? Kebaikannya? Atau kekayaannya?"
Dia masih terdiam. Tak sebanding dengan ketika dia menggandeng mesra Mas Darma dan menggelayut di pundaknya seperti kemarin malam.
Seketika ingatanku berlari pada kejadian pagi tadi, saat Satya mengantarkanku ke bandara. Dia adalah salah satu temanku yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Orang tua kami bersahabat, itulah sebabnya hubungan kami sangat dekat.
"Ingat kata-kataku, jika Nadia telah merebut suamimu dengan cara elegan, maka kamu juga harus memberinya pelajaran dengan cara yang elegan pula. Tidak perlu menjambak atau memakinya dengan kata-kata kasar. Kamu itu wanita berkelas, tidak sepadan dengannya yang hanya perempuan rendah yang berusaha merebut suami majikannya."
Satya benar, bahkan jika aku mau, aku bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Mas Darma. Namun, perbuatan Mas Darma dan Nadia memang tidak bisa dimaafkan.
Setiap rumah tangga, pasti akan ada sebuah kerikil kecil atau bahkan jalan terjal. Hal biasa jika selalu ada pertengkaran di dalamnya. Namun, kesalahan apapun tidak akan sebanding dengan sebuah pengkhianatan.
Dan sekarang, aku telah berdiri di tengah kedua orang yang baru saja mengkhianati kepercayaanku. Mas Darma yang kuanggap sebagai imam yang baik, dan juga Nadia yang kuanggap sebagai pengasuh yang baik, yang mungkin bisa menjadi teladan untuk Arkan, nyatanya keduanya sama tak bermoralnya.
"Kamu boleh bermimpi menjadi nyonya di rumah ini, menduduki posisiku. Tapi setidaknya kamu juga harus menyadari, bahwa kamu seharusnya menjadi sepertiku. Kamu mampu?"
Kuberikan penekanan di akhir kalimat. Dengan susah payah aku membangun rumah tangga ini dengan susah payah. Lalu, setelah sampai di puncak, perempuan seperti ini hanya lantas ingin menikmatinua saja? Oh, indahnya dunia ini.
"Maaf, Bu. Tidak seperti itu. Anda hanya salah faham saja," jawabnya pada akhirnya.
"Cukup, Dek. Cukup! Semua ini tidal logis. Kamu salah faham, dan terlalu terburu-buru. Lagi pula, bagaimana mungkin aku bisa berselingkuh dengan Nadia? Seleraku tidak serendah itu."
Seketika, Nadia menatap tajam Mas Darma membuatku terkekeh kecil. Sungguh naif kedua orang ini. Entah yang satu hanya beralasan, atau yang satunya saja yang terlalu percaya diri dengan ingin menduduki posisi nyonya di istana ini.
"Terserah kalian, mau berselera atau tidak, mau salah faham atau tidak. Tapi yang jelas aku sudah memegang beberapa bukti mengenai hubungan kalian. Yang aku inginkan sekarang hanyalah sebuah keadilan. Dimana aku yang sudah berusaha ikut banting tulang memenuhi kebutuhan rumah ini nyatanya justru dikhianati."
Kutinggalkan mereka berdua, rasanya berlama-lama berdekatan dengannya membuat hatiku semakin panas. Kemarin, sebelum skandal ini terbongkar aku sangat menginginkan Nadia akan menjadi bagian dari keluarga ini seperti Mbok Nem yang mana sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Setidaknya aku ingin menjadikannya seorang adik yang bisa merawat dan menjaga Arkan, bukan menjadi rivalku seperti ini!
"Kamu nggak marah, kan?"
Sengaja, aku bersembunyi di balik pintu kamar untuk mendengar pembicaraan mereka selepas kepergianku. Dan benar saja, setelah aku pergi mereka membuka suara.
"Sayang, jangan diam saja. Aku hanya asal bicara, supaya Alia tidak marah padaku. Sungguh ...."
"Cukup, Pah. Jangan mendekatiku jika seleramu tidak serendahan ini."
Aku tertawa keras dalam hati. 'Pah' katanya? Sungguh, rupanya Nadia itu bak pungguk yang merindukan bulan.
Namun tak apa, jika memang itu yang dia inginkan maka aku akan segera mewujudkannya.
"Tidak, tidak seperti itu. Kamu jangan merajuk, aku hanya ingin membuat Alia percaya padaku, lalu setelah itu hubungan kita akan aman."
"Aku nggak mau tahu, pokoknya aku juga ingin menjadi bagia dari rumah ini. Meskipun aku hanya babysitter tapi aku pasti bisa mengimbangi istri pertamamu," tandas Nadia membuatku semakin terkekeh.
Benar-benar tak kusangka, rupanya Nadia sangat terobsesi menjadi istri Mas Darma. Padahal yang kulihat sebelum ini, dia begitu baik dan tulus bekerja sebagai pengasuh bayi kami.
Aku berjalan menjauh dari daun pintu kamarku, lalu mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Jika memang Nadia sangat menginginkan menjadi nyonya, maka akan segera kukabulkan.
'Kamu jangan terkejut, Nadia. Menjadi diriku itu, sungguh tidak mudah.'
Dua tahun kemudian ...."Selamat Alia atas pernikahanmu," ucap Almira dengan memberiku pelukan hangat.Aku tersenyum, dan membalas pelukannya sedang pengantin lelaki yang ada di sampingku pun ikut tersenyum. Kami sedang menjadi raja dan ratu sehari hari ini, dan harapan kami semoga pernikahan ini akan langgeng hingga tua nanti.Ya, hari ini aku menikah. Menikah untuk kedua kalinya setelah pernikahanku yang pertama gagal karena suamiku lebih memilih babysitter anak kami sendiri. Pernikahan keduaku ini pun tak semudah yang dibayangkan, aku sudah melalui banyak sekali hal yang membuatku jatuh bangun hingga akhirnya aku memantapkan hati untuk menikah dengannya."Satya, selamat ya. Semoga kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Alia dan menjadi ayah yang baik untuk Arkan." Lagi, Almira memberi selamat pada kami, terutama pada Satya.Pada akhirnya aku menikah dengan Satya, lelaki yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir ini. Suka duka sudah kami lalui bersama hingga akhirnya kami
"Sudah kubilang, jangan mengumbar cerita masalalu kita kepada oranglain. Aku tidak suka. Lagipula untuk apa kamu menceritakan kisah kita pada Alia? Kita sudah menjadi masalalu, dan aku berhak bahagia juga," tandas Irvan ketus.Aku yang berdiri tak jauh dari mereka bisa mendengar percakapannya dengan sangat jelas. Sengaja, aku ingin mendengar percakapan mereka yang mungkin tak akan diceritakan padaku. Almira adalah sabahat yang baik, Irvan pun demikian. Tak kupungkiri aku pun tidak bisa memihak pada salah satu diantara mereka.Keduanya kuanggap sangat baik meski pada kenyataannya Irvan menyatakan perasaannya padaku. Kupikir ini adalah jalan yang dipilih Tuhan untukku, sebagai pengganti Mas Darma tentunya. Namun jika sekarang kuketahui kenyataan yang seperti ini, apa aku tega untuk bersama Irvan? Sedang tangis Almira saja masih terngiang jelas di kepalaku.Lagipula aku tidak suka dengan sikap Irvan yang seakan menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Dia sudah membohongi Almira
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru