MasukPagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.
Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.
Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai.
“Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”
Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tidak ada di ruangan.
George tertawa kecil, mendekati Soraya dengan langkah perlahan. “Sayangku, kau mendengarnya?”
Soraya menunduk, pipinya panas. Mengangguk pelan.
George mendekat lebih jauh, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tanpa peringatan, ia memegang wajah Soraya dan mencium bibirnya dengan dalam. Ciuman itu bukan ciuman kasih sayang, tetapi pernyataan kepemilikan.
Soraya membeku, matanya terpejam paksa. Ia merasakan panas darah naik ke wajahnya, bukan hanya karena ciuman itu tetapi karena Damien berdiri hanya beberapa meter jauhnya, menyaksikan semuanya. Ia menatap reaksi Soraya atas ciuman tersebut.
George menarik diri perlahan, senyumnya tipis. “Tapi aku suka keringatnya,” katanya santai, menoleh pada Damien, “terlebih saat di ranjang.”
Pipi Soraya memerah. Jantungnya berdetak kencang hingga ia merasa semua orang di ruangan bisa mendengarnya. Soraya bahkan takut melirik Damien.
Damien tidak bergeming, hanya menaikkan satu alis. “Baiklah,” katanya dingin. “Selama itu membuatnya fokus di depan kamera, aku tidak peduli bagaimana kalian… menghabiskan malam.”
Soraya ingin berteriak, ingin mengutuk keduanya, tetapi suaranya terkunci di tenggorokan.
George menepuk bahu Soraya, senyumnya kembali seperti suami penyayang. “Lihat, sayangku. Bahkan pengacaramu yakin kau bisa tampil meyakinkan. Jangan membuat semua usaha ini sia-sia.”
Soraya menggenggam jemarinya erat, menahan rasa malu dan marah yang bercampur menjadi satu. Rasanya seperti dua pria itu sedang memperdebatkan dirinya seperti sebuah aset, bukan manusia.
Damien akhirnya berdiri tegak, mengambil map, dan menyodorkannya pada Soraya. “Kita mulai latihan terakhir. Estenne, kalau kau ingin menonton, silakan. Tapi jangan ganggu konsentrasi klienku.”
George tertawa pelan. “Oh, aku justru ingin melihatnya. Anggap saja ini hiburan pagi.”
Soraya menatap Damien sejenak, mencari perlindungan dalam tatapannya, tetapi Damien hanya menatap balik dengan wajah dingin. Tidak ada simpati, hanya ekspektasi.
Soraya melangkah ke depan kamera. Tangannya gemetar saat memegang naskah.
“Mulai,” perintah Damien.
Soraya menarik napas. Kata-kata yang keluar awalnya goyah, tetapi kemarahan yang masih membara dalam dadanya membuat suaranya semakin kuat.
“Saya Soraya Estenne. Saya tidak bersalah.”
Damien mengangguk. “Ulangi.”
Soraya mengulang. Setiap kali ia mengucapkannya, suaranya semakin mantap. George bersandar pada kursi di sudut ruangan, mengamati, senyum puas di bibirnya.
Soraya merasakan wajahnya masih panas, tetapi kali ini bukan hanya karena malu. Ada api lain yang menyala di dalam dirinya. Ia sadar bahwa ia tidak hanya berbicara untuk publik, tetapi juga untuk dua pria di hadapannya… satu yang mengklaim memilikinya, dan satu yang menantangnya untuk menjadi lebih dari sekadar korban.
Ketika latihan selesai, Damien menatap Soraya cukup lama sebelum berkata, “Lumayan. Hari ini kau terdengar seperti seseorang yang pantas dibela.”
George berdiri, meraih tangan Soraya lalu menciumnya di punggung. “Dia memang pantas dibela. Dia istriku.”
Soraya menarik tangannya perlahan, jantungnya masih berdegup kencang. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi hanya diam, menelan rasa malu dan marah itu dalam-dalam.
Damien sudah berbalik, membereskan map di mejanya. “Kita bertemu di lobi dalam sepuluh menit. Konferensi pers tidak akan menunggu siapa pun.”
Soraya menatap bayangannya di layar monitor yang mati. Bibirnya masih terasa hangat, akibat rasa yang bercampur, malu, terhina, marah. Ia menarik napas panjang, mencoba mengembalikan fokus.
**
Soraya berdiri di depan jendela kantor Damien, berusaha mengatur napasnya. Di tangannya, selembar surat resmi dari pihak berwajib bergetar halus. Tulisan di atas kop surat itu terasa seperti palu yang siap menghancurkan hidupnya.
PEMERIKSAAN WAJIB HADIR.
Meski ia telah berdiri di depan media, mengatakan semua kata-kata yang Damien latih, ternyata itu tidak cukup. Mereka tetap menginginkannya hadir, tetap menganggapnya pusat kasus ini.
Damien berdiri di belakang mejanya, menatap Soraya dengan rahang mengeras. “Kita sudah memperlambat ini dengan konferensi pers. Tapi mereka tidak akan berhenti sampai kau memberikan keterangan langsung.”
Soraya menoleh, suaranya bergetar. “Aku… aku tidak yakin bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku tidak bisa menghadapi ruangan penuh penyidik. Aku…”
Pintu terbuka. George masuk tanpa mengetuk. Ia terlihat sama tenangnya seperti biasa, seakan dunia tidak sedang runtuh.
“Apa yang terjadi?” tanyanya ringan.
Damien menyodorkan surat itu tanpa kata. George membacanya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Itu berarti kita punya kesempatan membersihkan nama keluarga kita secara resmi.”
Soraya memandangnya, matanya membesar. “Bagus?” suaranya pecah. “Bagus, George? Aku tidak tidur semalam, aku tidak bisa bernapas tanpa merasa diawasi, dan sekarang mereka ingin menyeretku ke ruang interogasi!”
George mendekat, tatapannya tetap lembut namun penuh kuasa. “Soraya…” ia mengangkat dagu istrinya dengan dua jarinya. “Kau hanya perlu tenang. Kau sudah dilatih Damien. Kau hanya perlu menjawab sesuai skenario.”
Soraya menggeleng, air mata mulai menggenang. “Aku lelah. Semua ini terlalu melelahkan untukku.”
George tersenyum samar, lalu mendekapnya. “Sayang, dunia ini melelahkan hanya jika kau membiarkannya. Kau harus belajar menikmatinya.”
Dan sebelum Soraya sempat bereaksi, George menunduk, mencium bibirnya dengan dalam. Ciuman itu panas, terlalu lama, dan dilakukan di depan Damien.
Soraya membeku. Matanya terpejam paksa, tubuhnya kaku di pelukan George. Ia bisa merasakan panas darah menyerbu ke pipinya, bukan karena gairah, tetapi karena rasa malu yang menusuk. Damien berdiri hanya beberapa meter jauhnya, menyaksikan… lagi, tanpa sepatah kata pun.
George menarik diri perlahan, ibu jarinya mengusap pipi Soraya. “Lihat? Kau hanya butuh seseorang yang mengingatkanmu siapa dirimu. Kau istriku. Dan kau akan keluar dari ini sebagai pemenang.”
Soraya menunduk, bibirnya masih bergetar. Ia ingin menjerit, ingin lari dari ruangan itu, tapi kakinya seolah tertancap ke lantai.
Damien akhirnya bicara, suaranya dingin. “Jika pertunjukan ini selesai, kita perlu membicarakan strategi interogasi. Soraya harus tahu kemungkinan pertanyaan menjebak.”
George menoleh, senyumnya tidak hilang. “Lakukan apa yang perlu kau lakukan, Damien. Tapi pastikan dia pulang dalam keadaan utuh. Setiap malam, aku selalu membutuhkannya.”
Soraya menahan napas, matanya beralih dari suaminya ke Damien. Damien hanya menatap balik, tidak ada emosi di wajahnya, seolah ia sedang mengukur seberapa jauh Soraya bisa bertahan.
“Aku ingin keluar dari sini,” suara Soraya nyaris berbisik.
George meraih tangannya, menggenggamnya erat, lalu menuntunnya keluar ruangan. Di lorong, Soraya menoleh sekilas. Damien masih berdiri di tempatnya, tangan di saku celana, tatapannya mengikuti mereka sampai pintu tertutup.
Di dalam mobil, Soraya menatap jendela. Air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Tapi ia tidak bersuara. Ia hanya menggigit bibirnya sampai terasa asin.
Di rumah, Soraya masuk ke kamar mandi, memutar keran, dan bersandar pada wastafel. Wajahnya merah, bukan hanya karena ciuman George, tapi karena rasa terhina. Tapi disisi lain ada rasa aneh, rasa penasaran. Penasaran, bagaimana kalau Damien yang menciumnya.
Ia merasakan marah yang begitu pekat terhadap dua pria itu, yang satu mengklaim memilikinya, yang satu mengujinya tanpa memberi perlindungan sedikit pun. Dan lebih marah lagi pada dirinya sendiri, karena menyadari… sesuatu yang liar dalam dirinya, ingin menerima tawaran Damien.
Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.Dia ditinggalkan.Lagi.Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.Pria
Malam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berw
Pagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai. “Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tid
Soraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”“Tapi ini penting. Dia bilang…”“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seper
Lampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia
Hujan mengetuk kaca gedung pencakar langit malam itu, membuat lampu kota tampak seperti noda cahaya yang berlarian. Soraya Estenne berdiri di depan pintu kaca berukir nama DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES, menahan napas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau karena namanya baru saja menjadi headline di seluruh media internasional.Ia mengetuk sekali.“Masuk,” suara bariton terdengar dari dalam, dalam dan berwibawa, seolah ia sudah tahu siapa yang datang.Soraya mendorong pintu, melangkah masuk. Ruangan itu besar, elegan, dengan dinding kaca menghadap kota. Di balik meja kayu gelap, Damien Vargan duduk santai, jasnya masih rapi meski hari sudah larut. Tatapannya langsung mengunci pandangannya pada Soraya.Beberapa saat ia memperhatikan Soraya, jelas perhatian tersebut tertuju pada lekuk tubuh Soraya. Menggiurkan.“Madame Estenne,” katanya, pelan tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih padat. “Duduk.”Soraya melangkah, tumit sepatunya terdengar terlalu keras di la







