Irene yakin telah mendengar sesuatu, tapi entah kenapa kepalanya mendadak kosong. Apakah benar dirinya sudah menjadi bodoh—seperti yang Ayudira katakan?
“Apa?” Di antara ribuan pertanyaan di kepalanya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.
“Apa kamu baru paham kalau Keenan sendiri yang bilang?”
Mendengar nama Keenan, Irene refleks menoleh ke arah pria yang terus diam sedari tadi. Tidak seperti biasanya, Keenan hanya duduk kaku di kursinya dengan punggung yang tegak. Kedua tangannya berada di atas paha dan kepalanya tertunduk. Aura dominan yang biasanya kental itu sirna sudah, seolah telah tersedot oleh Ayudira yang duduk di sebelahnya. Irene menggeleng, semua sikapnya itu sudah cukup menjadi jawaban.
Namun tetap saja, Irene butuh penjelasan.
“Mas... ini gak benar, kan?”
Irene melihat Keenan menelan air liurnya. “Maaf, Rene.”
Napas Irene tercekat di tenggorokannya. Matanya sudah panas, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. “Sejak kapan?”
“Dua tahun yang lalu.”
Dan mereka bertemu setahun yang lalu, sebelum akhirnya mulai menjalani hubungan selama delapan bulan. Jadi... dirinyalah yang menjadi selingkuhan di sini?
Apakah tidak ada yang lebih buruk daripada ini?
Sret!
Tentu saja ada, yaitu ketika Ayudira menggeser sebuah cek kosong ke hadapan Irene.
“Tulis berapa pun nominal yang kamu mau. Saya yakin, kamu gak sebodoh itu untuk menghancurkan kariermu itu untuk seorang pria beristri, kan?”
Irene menatap cek itu dengan bola mata bergetar. Tangannya yang berada di atas pahanya pun terkepal erat.
“J-jangan bercanda! Bahkan gak ada berita tentang pernikahan kalian!” dengan rasa egois yang tersisa, Irene masih mempertahankan penyangkalannya itu.
“Apa perlu saya tunjukkan buku nikah kami?” ucapan sarkastik Ayudira kembali terdengar. Terlihat kontras dengan suasana tegang di meja ini, Ayudira tampak sangat tenang dan tetap anggun. “Yah... terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi, kalau kamu masih mau menempel sama Keenan, mungkin kamu akan berurusan sama pengacara. Bagaimanapun pernikahan kami atas kesepakatan dua keluarga.”
Ayudira bersidekap dada dan menoleh ke arah Keenan yang masih terdiam. “Sebagai bayaran posisinya sekarang, dia harus menikahi putri manja ini. Benar, kan, Sayang?”
Melihat senyum Ayudira yang penuh kepercayaan diri dan Keenan yang semakin menciut, Irene tahu kalau lawannya tidak main-main. Keenan saja tidak bisa berkutik di depan Ayudira, jadi dirinya pun tidak punya kesempatan untuk membela.
Irene tidak pernah paham bagaimana dunia elite bekerja. Kenapa Keenan menikahi Ayudira? Kenapa mereka merahasiakan pernikahan mereka? Dan kenapa Keenan tega melakukan ini padanya?
Ia sudah memberikan segala kepercayaannya, segala yang ia miliki di dunia, tapi berakhir dengan pengkhiantan juga. Bukan hanya diduakan, tapi dijadikan selingkuhan pria beristri. Keenan memperlakukan Irene seperti orang bodoh yang tergila-gila pada cinta. Baru saja ia berharap sebuah kebahagiaan dengan kehadiran janin itu, kini harus dihempaskan dan dihancurkan sampai berkeping-keping.
Harga dirinya sudah lenyap.
“Tidak perlu,” sahut Irene pada akhirnya. Nada dingin yang belakangan ini tidak pernah keluar dari mulutnya pun kembali terucap. “Saya tidak butuh ini.”
Irene mendorong kembali cek kosong itu ke hadapan Ayudira. Wanita itu hanya meliriknya sebelum kembali menatap wajah Irene. Walaupun masih berwajah datar, Irene bisa merasakan ketidakpuasan dari tatapan itu.
Irene mengambil ponsel dan memasukkannya ke tas, lalu berdiri. “Terima kasih sudah meluangkan waktunya.”
“Rene....”
Irene mengehentikkan niatnya yang ingin memutar tubuh ketika mendengar panggilan Keenan yang bersamaan dengan genggaman di tangan. Entah untuk apa pria itu menghentikannya. Apakah untuk menyuruhnya mengambil cek itu atau memintanya kembali.
Apa pun itu, Irene sudah tidak peduli. Ia menghempaskan tangan Keenan, lalu dengan satu gerakan ia memberikan tamparan di pipi kiri Keenan. Memang tidak cukup keras karena Irene masih berusaha mengendalikan diri untuk tidak menangis. Tapi setidaknya, itu cukup memperlihatkan betapa hancurnya diri itu.
“Berengsek kamu!”
Seminggu berlalu dengan damai, yang justru itu membuat Irene merasa sangat kosong. Ini terlalu normal dengan segala huru-hara yang terjadi hari itu. Keenan tidak menghubunginya sama sekali dan media juga tidak ada yang berisik. Sekarang, Irene seperti sedang diabaikan.Bukannya Irene berharap ada kejadian yang luar biasa, yang bisa membuat setidaknya Bu Kristin melempar asbak ke arahnya. Setidaknya, ia ingin mendengar satu penjelasan dari Keenan. Mual yang dirasakannya setiap pagi masih terjadi, seolah terus mengingatkan Irene bahwa janin ini masih hidup. Hubungan mereka masih terjalin, tetapi kenapa hanya dirinya yang menanggung?“Apa digugurin aja?”“Hah?”Irene mengerjap. Dia baru sadar kalau dirinya masih berada di dalam mobil bersama Maudy. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju lokasi syuting film terbarunya di daerah Bandung. Karena terlalu tenggelam dalam lamunannya, Irene tidak sengaja mengucapkan apa yang pikirannya.“Gak,” kilah Irene, sebelum menghela napas panjang da
Setelah mendapatkan persetujuan dari Maudy, Irene pun kembali ke brankarnya. Tidak lupa dia menutup rapat setiap sisi tirai. Beruntungnya dia sudah meminta Maudy mengosongkan satu hari dari jadwal apa pun. Dia sudah berpikir ingin menghabiskan waktunya dengan Keenan.Ah, pria itu. Untuk sesaat, Irene sempat melupakannya karena serangan panik dan rasa kekhawatirannya akan janin itu. Bukan diselingkuhi, tapi menjadi selingkuhan. Bukan sekadar berpacaran, tapi mereka sudah menikah. Tidak ada pembelaan, Keenan malah menciut di depan istrinya.Irene kehilangan harapan lagi.Namun entah kenapa, ia tidak bisa menangis. Apakah ini berarti perasaan yang sempat hidup karena Keenan, sudah mati seketika kembali?Irene menunduk dan meletakkan tangannya di perut. Tidak ada harapan lagi untuk janin ini. Dia harus—Srak!“Eh? Sudah siuman?”Irene menoleh dengan cepat ke arah pria yang tiba-tiba menyibai tirai brankarnya. Pria itu memakai kemeja berwarna hitam yang digulung sampai siku yang sisi bawah
Bau antiseptik yang tercampur dengan bau pahit obat mengusik ujung hidung Irene. Kepalanya masih terasa nyeri, tetapi pernapasannya sudah lebih ringan. Irene juga merasa seperti ada aliran udara masuk melalui lubang hidungnya.Matanya bergerak perlahan dan akhirnya terbuka. Cahaya yang menyorot membuatnya sejenak berpikir, apakah aku sudah mati?. Namun, langit-langit tinggi berwarna kebiruan dan suara riuh-rendah di sekitar meyakinkan Irene kalau ini bukan surga, melainkan hanya Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit.Irene menoleh. Di sekeliling ranjangnya ditutupi oleh tirai berwarna putih. Entah ini memang prosedur dari rumah sakit atau memang mereka menyadari siapa Irene. Oh, iya, omong-omong kenapa dia bisa berada di sini?Irene baru ingin mengangkat tangannya ketika tirai itu terbuka. Seorang dokter wanita terlihat sedikit terkejut ketika melihat Irene sudah sadar. Ia pun mendekati brankarnya.“Anda sudah sadar? Bagaimana keadaan Anda? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter itu
Irene membanting pintu mobilnya sebelum menarik napas panjang. Namun anehnya, sebanyak apa pun udara yang ia hirup, itu tidak membuat rasa sesak di dadanya berkurang. Justru rasanya semakin menghimpit, sampai Irene tidak menyadari bahwa telapak tangannya tergores oleh kukunya sendiri yang tergenggam erat.Biasanya Irene adalah tipe yang sangat bisa mengendalikan diri. Mau sebesar apa gejolak emosinya, ia selalu bisa mempertahankan wajah tegas yang dihiasi senyum anggun. Namun tidak kali ini. Aura Ayudira mendominasi, ditambah Keenan yang sama sekali tak berkutik. Irene merasa dipojokkan walaupun faktanya bukan hanya dirinya yang salah di sana.“Gila....” Irene menjedotkan dahinya ke setir berkali-kali, berharap itu bisa menghilangkan rasa sakitnya. “Kenapa....”Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa Keenan begitu jahat? Kenapa Tuhan tidak adil? Dan begitu banyak kenapa yang berputar di otaknya.Irene pikir, Keenan adalah akhir penantiannya akan kebahagiaan. Namun ternyata, pria itu
Irene yakin telah mendengar sesuatu, tapi entah kenapa kepalanya mendadak kosong. Apakah benar dirinya sudah menjadi bodoh—seperti yang Ayudira katakan?“Apa?” Di antara ribuan pertanyaan di kepalanya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.“Apa kamu baru paham kalau Keenan sendiri yang bilang?”Mendengar nama Keenan, Irene refleks menoleh ke arah pria yang terus diam sedari tadi. Tidak seperti biasanya, Keenan hanya duduk kaku di kursinya dengan punggung yang tegak. Kedua tangannya berada di atas paha dan kepalanya tertunduk. Aura dominan yang biasanya kental itu sirna sudah, seolah telah tersedot oleh Ayudira yang duduk di sebelahnya. Irene menggeleng, semua sikapnya itu sudah cukup menjadi jawaban.Namun tetap saja, Irene butuh penjelasan.“Mas... ini gak benar, kan?”Irene melihat Keenan menelan air liurnya. “Maaf, Rene.”Napas Irene tercekat di tenggorokannya. Matanya sudah panas, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. “Sejak kapan?”“Dua tahun yang lalu.”Dan mereka bertemu setah
Positif.Tangan Irene bergetar melihat satu garis yang muncul samar di sebelah garis lainnya. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan benda itu ke lantai—membuatnya ikut bergabung dengan 3 benda serupa lainnya di sana. Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seharusnya ia sudah menduga ini akan terjadi.Hari itu, Irene memang merasa seperti bukan dirinya. Ya, dirinya yang penuh perhitungan, perhatian cermat, dan agak keras. Malam itu, Irene terbuai oleh bujuk rayu kekasihnya untuk menyerahkan pengalaman pertamanya. Ditambah dengan pengaruh alkohol, lengkap sudah kebodohan Irene.Irene menurunkan tangannya dan melihat kembali empat testpack yang berserakan di lantai. Ketika merasa tubuhnya ada yang aneh, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa jadwal menstruasinya. Benar saja, itu sudah telat sembilan hari. Dengan implusif, Irene pun segera pergi ke apotek yang berada di depan apartemennya, dan membeli lima buah testpack sekaligus.Kali ini, tatapan Irene berpindah pada s