INICIAR SESIÓNPagi harinya, Winter terbangun seorang diri di kamar hotel dekat bar yang ia kunjungi semalam. Kepalanya berat, seperti baru dipukul dari dalam. Ia mengerjap beberapa kali, ruangan masih gelap, tirai tertutup rapat. Hanya samar-samar ia ingat Greyson yang membawanya ke sini.
Setelah sadar penuh, ia segera terduduk dan memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap. Winter mendesah lega sambil menepuk keningnya. “Astaga… apa yang kupikirkan semalam?” gumamnya frustrasi. Untung saja Greyson tidak menanggapi omongan ngawurnya. Namun saat ia bergeser, Winter merasakan sesuatu yang lembap di antara pahanya. Ingatan semalam datang seperti potongan cepat. Greyson yang menariknya, cara pria itu menciumnya tanpa ragu, dan bagaimana Winter tidak sempat mengelak. Winter mengusap wajahnya keras-keras. “Brengsek… dia memang jago,” gumamnya frustrasi. Ia harus mengakui jika Greyson memang mahir mencium. Sayangnya, itu tidak membuktikan apa pun. Di drama pun dia sering mencium lawan mainnya, hanya bagian dari pekerjaan. Winter mengusap wajahnya, malu sendiri. Ingatan berikutnya membuatnya membeku. Dia muntah. Di pakaian Greyson. Saat mereka masih berciuman panas. “Ya Tuhan…” Winter meringis keras. Rasanya ingin menghilang dari dunia. Matanya kemudian menangkap jaket Greyson yang tergeletak di ujung kasur. Jaket yang semalam dia kotori. Noda di bagian depannya sudah mengering. Winter menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Matilah aku…” *** Winter menghembuskan napas pelan sambil meremas paper bag berisi jaket Greyson yang sudah ia cuci bersih. Niat awalnya sederhana, ingin mengembalikan jaket itu lewat staf agensi. Tapi Greyson malah membalas chat singkat. “Antar ke apartemenku.” Dan kini Winter berdiri di depan unit yang pria itu sebutkan, mencoba merapikan sedikit rambutnya sebelum menekan bel. Namun sebelum jarinya menyentuh tombol, ponselnya bergetar. 130999 Winter mengerutkan kening. Apa ini? Pesan kedua langsung masuk, seolah Greyson membaca pikirannya. ‘Kode pintu apartemenku.’ Winter menatap pintu itu sebentar, lalu mengetikkan kombinasi angka tersebut. Kunci otomatis berbunyi, pintu terbuka mulus. Ia masuk perlahan. Unit apartemen itu luas. Dengan langit-langit tinggi, dinding kaca, warna interior serba netral. Tidak banyak furnitur, tapi setiap item terlihat mahal dan tertata presisi. Rapi tanpa cela, dingin tapi elegan. Sangat Greyson. Perfeksionis bahkan dari cara ia menata ruangan, batin Winter. Ia berjalan pelan menuju ruang tengah. Pandangannya melirik Greyson tanpa sungkan. Greyson duduk di sofa, tablet di tangan, wajahnya tanpa ekspresi. Sama sekali tidak berniat bangun menyambut, seperti tidak merasa ada tamu yang baru saja masuk ke apartemennya menggunakan kode pribadinya. “Kau sudah datang,” ucapnya, tanpa menoleh, seperti sedang mengumumkan sesuatu yang tidak penting. Winter menghembuskan napas setengah kesal, setengah tak habis pikir. Ia menjatuhkan diri di sofa seberangnya. Paper bag berisi jaket ia letakkan di meja rendah di depan mereka.“Kenapa kau memberitahuku sandi pintu apartemenmu?” Greyson baru menoleh sedikit, nada suaranya datar. “Aku malas berjalan.” Winter mengerjap tak percaya. “Bagaimana kalau suatu hari aku menerobos masuk tanpa izin?” “Kau tidak akan melakukannya.” “Kau terlalu percaya diri. Aku sedang miskin dan butuh uang banyak, ingat?” sindir Winter. Greyson menutup tabletnya perlahan, menumpu siku di lutut. Tatapannya terarah penuh pada Winter. “Ngomong-ngomong soal uang…” katanya tenang. “Tentang penawaranmu semalam. Daripada tidur satu malam, bagaimana kalau kita menikah saja?” Winter membeku. Hening mengembang di antara mereka. Aneh, absurd, dan terlalu serius untuk dianggap bercanda. “Kau bercanda,” kata Winter, menatap Greyson tak percaya. “Aku benar-benar kaget dan hampir menganggapnya serius. Kau sedang menjahiliku, kan? Di mana kamera tersembunyinya?” Greyson tidak tersenyum. Tidak ada perubahan ekspresi. “Aku serius.” Tawa kecil yang tadi keluar dari bibir Winter langsung berhenti. Ia menelan ludah, memaksakan senyum yang berubah kaku. “A-Apa keuntungannya untukku? Maksudku… bukan berarti aku setuju, tapi ...” Winter buru-buru meralat, takut pria itu salah paham dengan pertanyaannya. Greyson menyandarkan tubuh, santai tapi matanya tetap tajam. “Jika kau menyetujuinya, aku akan membayar semua denda penalti mu. Dan aku akan mengikutsertakanmu di proyek film dan drama yang sedang kutangani.” Winter terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang. “Jangan mempermainkan ikatan pernikahan,” ujarnya pelan namun tegas. “Kau tidak tahu sesakral apa janji itu.” Ia berdiri, merapikan emosinya sendiri. “Aku sudah mengembalikan jaketmu. Terima kasih untuk yang semalam.” Tatapannya lurus, dingin tapi terluka. “Dan aku akan menganggap percakapan ini tidak pernah terjadi.” Winter berbalik menuju pintu tanpa menunggu respons. Ingin keluar sebelum harga dirinya ikut runtuh di apartemen pria itu.Langkah keduanya berhenti tepat di depan pintu keluar gedung catatan sipil. Tanda tangan sudah dibubuhkan, stempel sudah ditekan, dan buku nikah resmi ada di tangan Winter, buku kecil itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.Udara luar lebih dingin dari perkiraannya. Winter masih mencoba menata napas ketika Greyson merapikan lengan jasnya, tak terlihat terpengaruh sedikit pun oleh fakta bahwa mereka baru saja menikah.Greyson menoleh singkat. “Aku ada urusan hari ini.”Nada suaranya datar, profesional, hampir seperti ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan pernikahan.Winter mengangguk pelan, meski tenggorokannya terasa kering. “Baik.”Greyson memasukkan ponselnya ke saku celana. “Pindahlah ke apartemenku malam ini.”Winter terkejut, tapi Greyson tidak memberi ruang untuk bertanya. Ia sudah berbalik, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.Tanpa ucapan selamat, tanpa obrolan ringan, tanpa jeda. Hanya instruksi.Winter menatap punggung Greyson yang menj
Winter melangkah masuk, dan baru setelah itu Greyson menutup pintu. Ia berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuh dengan santai dan menyandarkan satu tangan di punggung sofa. Tatapannya mengikuti setiap gerak Winter yang terlihat lebih kaku dari biasanya. “Kau sebenarnya bisa langsung masuk tanpa menunggu,” katanya, nada datarnya tetap sama. “Kode sandi ku masih sama.” Winter mengangkat wajah, mencoba terlihat tenang. “Aku harus memastikan kau ada di rumah. Tidak mungkin aku menerobos masuk begitu saja.” Greyson mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu tanpa komentar tambahan. “Lalu,” ia menatap lebih fokus, “maksud kedatanganmu kemari?” Winter menggenggam ujung jaketnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Soal tawaran mu yang kemarin …” Greyson menghela napas pendek, menatap ke arah meja seolah ingin mengakhiri pembicaraan itu. “Benar. Soal itu. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Anggap saja—” “Aku setuju,” potong Winter tiba-tiba. Greyson terdiam. Tatapannya kembali ke Winte
Winter hampir berlari ketika keluar dari mobil dan memasuki rumah. Serena mengabari lewat pesan bahwa ayah mereka terjatuh saat berusaha mengambil minuman di meja kecil dekat tempat tidur. Tubuh ayahnya yang lumpuh sebagian sejak kecelakaan kerja lima tahun lalu membuat hal sederhana seperti itu menjadi berbahaya. “Bagaimana ayah?” tanya Winter begitu melihat Serena di ruang tengah. Serena hanya mengangguk ke arah kamar, wajahnya tegang. Winter masuk dan napasnya tercekat. “Oh, Tuhan…” Lututnya melemas melihat kening ayahnya yang robek, darahnya sudah mengering bercampur obat merah seadanya. Perbannya kusut, jelas dipasang terburu-buru. Winter langsung mendekat, meraih tangan ayahnya yang tergeletak lemah di sisi tubuh. Telapak tangannya dingin. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” suara Winter pecah, tapi ia menahannya tetap stabil. Serena menunduk. Sebelum adiknya menjawab, Maia muncul di ambang pintu. “Kita tidak punya uang,” ucap ibu tirinya datar. Maia berdiri dengan tang
Winter terbangun ketika ponselnya berdering berkali-kali. Ia mengerjap, menyadari dirinya tertidur di sofa apartemen dengan posisi miring dan leher pegal. Dengan gerakan lambat, Winter menyibak rambutnya ke belakang lalu mengangkat panggilan yang terus memaksa masuk.“Hallo,” ucapnya lirih.“Winter, Ibu sudah lihat berita tentang kau di TV,” suara Maia, ibu tirinya terdengar langsung menghakimi. “Siapa yang akan membayar biaya berobat ayahmu dan kuliah Serena?”Winter menutup mata sejenak. Tentu. Yang ditanyakan bukan kabarnya, bahkan bukan apakah ia baik-baik saja setelah diterpa skandal nasional.“Aku akan cari pekerjaan lain setelah ini,” ucap Winter, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.“Kau harus ingat siapa yang merawatmu sejak kecil. Sebagai balas budimu, pastikan adikmu kuliah tinggi. Jangan sampai dia cuma lulusan SMA seperti dirimu.”Setiap kata itu menusuk. Winter menggenggam ponselnya erat, menahan napas agar tidak pecah.“Iya, aku tahu,” jawabnya perlahan.“Dan ja
Pagi harinya, Winter terbangun seorang diri di kamar hotel dekat bar yang ia kunjungi semalam. Kepalanya berat, seperti baru dipukul dari dalam. Ia mengerjap beberapa kali, ruangan masih gelap, tirai tertutup rapat. Hanya samar-samar ia ingat Greyson yang membawanya ke sini.Setelah sadar penuh, ia segera terduduk dan memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap.Winter mendesah lega sambil menepuk keningnya. “Astaga… apa yang kupikirkan semalam?” gumamnya frustrasi. Untung saja Greyson tidak menanggapi omongan ngawurnya.Namun saat ia bergeser, Winter merasakan sesuatu yang lembap di antara pahanya. Ingatan semalam datang seperti potongan cepat. Greyson yang menariknya, cara pria itu menciumnya tanpa ragu, dan bagaimana Winter tidak sempat mengelak.Winter mengusap wajahnya keras-keras. “Brengsek… dia memang jago,” gumamnya frustrasi. Ia harus mengakui jika Greyson memang mahir mencium. Sayangnya, itu tidak membuktikan apa pun. Di drama pun dia sering mencium lawan mainnya, hanya bagi
Bar itu tidak ramai, tapi cukup penuh untuk menenggelamkan suara di kepala Winter yang sejak pagi terus berputar. Lampu temaram membuat wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Ia mengangkat gelas, menenggak isinya tanpa benar-benar memikirkan rasa. Jika dunia luar ingin menertawakan dan menghakiminya, biarlah. Karirnya sudah rusak. Namanya dicaci. Orang yang mengaku mencintainya menghilang. Setidaknya disini, ia bisa diam tanpa harus menjelaskan apa pun. Kepalanya jatuh ke meja bar, napasnya berat. Suara kursi di sampingnya bergeser perlahan, menandakan ada seseorang baru saja duduk. Winter tidak peduli, sampai orang itu membuka suara memesan minuman. Nada suaranya rendah, familiar. Winter mengangkat kepala dengan susah payah. Tepat di sampingnya, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya, Greyson Hale. Winter tersenyum tipis, miris. “Pria itu lagi,” gumamnya pelan. Apa yang dilakukan seseorang seperti Greyson di tempat semacam ini? Dengan karir gemilang, wajah sempurna, dan







