MasukLangkah keduanya berhenti tepat di depan pintu keluar gedung catatan sipil. Tanda tangan sudah dibubuhkan, stempel sudah ditekan, dan buku nikah resmi ada di tangan Winter, buku kecil itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.
Udara luar lebih dingin dari perkiraannya. Winter masih mencoba menata napas ketika Greyson merapikan lengan jasnya, tak terlihat terpengaruh sedikit pun oleh fakta bahwa mereka baru saja menikah. Greyson menoleh singkat. “Aku ada urusan hari ini.” Nada suaranya datar, profesional, hampir seperti ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan pernikahan. Winter mengangguk pelan, meski tenggorokannya terasa kering. “Baik.” Greyson memasukkan ponselnya ke saku celana. “Pindahlah ke apartemenku malam ini.” Winter terkejut, tapi Greyson tidak memberi ruang untuk bertanya. Ia sudah berbalik, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan. Tanpa ucapan selamat, tanpa obrolan ringan, tanpa jeda. Hanya instruksi. Winter menatap punggung Greyson yang menjauh dengan langkah tenang, tegap, dan sulit ditebak. Mobil itu pergi beberapa detik kemudian, meninggalkan Winter sendirian di tangga gedung. Angin bertiup lembut, tapi tubuh Winter terasa kaku. Baru beberapa menit menikah, ia bahkan belum sempat memahami apa artinya itu. Dia menunduk, menatap buku nikah yang digenggamnya. Hidupnya berubah hari ini. Tapi ia menjalaninya seorang diri di trotoar, tanpa ada yang menuntun tangannya. Bukan pernikahan seperti ini yang dia inginkan namun keuntungan yang Greyson tawarkan adalah hal yang paling Winter butuhkan saat ini. Winter menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. “Baik, Greyson,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku akan datang.” *** Winter berdiri di depan pintu unit apartemen Greyson dengan satu koper besar di sampingnya. Topi yang menutupi sebagian wajah membuatnya tampak seperti seseorang yang berusaha tidak menarik perhatian siapa pun. Memang, barang-barangnya tidak banyak, sebagian besar pakaian dan perhiasannya selama ini berasal dari endorse, bukan milik pribadi. Ia menatap keypad pintu cukup lama sebelum akhirnya menekan kode sandi yang diberikan Greyson. Pintu terbuka dengan bunyi klik lembut. Sekali lagi Winter terpaku, pria itu benar-benar membiarkannya keluar masuk apartemen ini bahkan sebelum mereka resmi menikah, dan sekarang dia sudah menjadi istrinya secara hukum. Masuk ke ruang milik seseorang yang bahkan tidak berada di dalamnya terasa aneh, canggung, dan sedikit membuat jantungnya berdebar karena mereka belum membicarakan apapun soal tempat tinggal, apalagi tentang kamar tidur. Winter mendorong kopernya masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia duduk di sofa, koper tetap berada di samping, seolah ia belum yakin harus menaruh barang itu di mana. Setelah beberapa menit, Winter bangkit dan mulai melihat sekeliling. Apartemen Greyson jauh lebih besar dan mewah dibanding unit sederhana yang sebelumnya ia tempati. Perbedaannya sangat mencolok mulai dari interior, kualitas furnitur, sampai luas ruangannya. Semuanya terlihat rapi, modern, dan tidak menyisakan tanda-tanda bahwa seseorang benar-benar tinggal di sini setiap hari. Di sisi kanan, terdapat dapur terbuka dengan meja marmer yang menyatu dengan ruang makan kecil. Rak-rak dapurnya rapi, hampir seperti belum pernah digunakan. Di sisi kiri, terdapat ruang kerja dengan dinding kaca dan meja hitam yang tampak selalu tertata. Lorong kecil di dekat ruang kerja mengarah ke kamar tamu dan kamar mandi tamu. Keduanya bersih, netral, dan terkesan jarang disentuh. Winter melangkah lebih jauh ke area dalam apartemen hingga berhenti di depan satu pintu yang berbeda dari yang lain. Pintu itu tertutup rapat, dan ketika ia mencoba memutar gagangnya, pintu tidak bergerak. Terkunci. Ia tidak perlu menebak dua kali, itu pasti kamar Greyson. Winter mundur selangkah. Tidak ingin terlihat terlalu ingin tahu, meski di dalam dadanya ada rasa penasaran yang sulit diabaikan. Ia kembali ke ruang tengah, menatap koper yang masih tergeletak di lantai. Apartemen ini kini menjadi tempat tinggalnya. Tapi di bagian tertentu dari ruangan, ia masih merasa seperti tamu yang tidak tahu harus duduk di mana. Winter mengusap pelan pipinya yang mulai panas oleh kecanggungan pikirannya sendiri. Ia menarik napas panjang. Malam ini mungkin akan panjang. Dan Greyson belum memberi tahu apa pun. Bahkan tentang apakah ia seharusnya tidur di kamar tamu atau …Langkah keduanya berhenti tepat di depan pintu keluar gedung catatan sipil. Tanda tangan sudah dibubuhkan, stempel sudah ditekan, dan buku nikah resmi ada di tangan Winter, buku kecil itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.Udara luar lebih dingin dari perkiraannya. Winter masih mencoba menata napas ketika Greyson merapikan lengan jasnya, tak terlihat terpengaruh sedikit pun oleh fakta bahwa mereka baru saja menikah.Greyson menoleh singkat. “Aku ada urusan hari ini.”Nada suaranya datar, profesional, hampir seperti ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan pernikahan.Winter mengangguk pelan, meski tenggorokannya terasa kering. “Baik.”Greyson memasukkan ponselnya ke saku celana. “Pindahlah ke apartemenku malam ini.”Winter terkejut, tapi Greyson tidak memberi ruang untuk bertanya. Ia sudah berbalik, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.Tanpa ucapan selamat, tanpa obrolan ringan, tanpa jeda. Hanya instruksi.Winter menatap punggung Greyson yang menj
Winter melangkah masuk, dan baru setelah itu Greyson menutup pintu. Ia berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuh dengan santai dan menyandarkan satu tangan di punggung sofa. Tatapannya mengikuti setiap gerak Winter yang terlihat lebih kaku dari biasanya. “Kau sebenarnya bisa langsung masuk tanpa menunggu,” katanya, nada datarnya tetap sama. “Kode sandi ku masih sama.” Winter mengangkat wajah, mencoba terlihat tenang. “Aku harus memastikan kau ada di rumah. Tidak mungkin aku menerobos masuk begitu saja.” Greyson mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu tanpa komentar tambahan. “Lalu,” ia menatap lebih fokus, “maksud kedatanganmu kemari?” Winter menggenggam ujung jaketnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Soal tawaran mu yang kemarin …” Greyson menghela napas pendek, menatap ke arah meja seolah ingin mengakhiri pembicaraan itu. “Benar. Soal itu. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Anggap saja—” “Aku setuju,” potong Winter tiba-tiba. Greyson terdiam. Tatapannya kembali ke Winte
Winter hampir berlari ketika keluar dari mobil dan memasuki rumah. Serena mengabari lewat pesan bahwa ayah mereka terjatuh saat berusaha mengambil minuman di meja kecil dekat tempat tidur. Tubuh ayahnya yang lumpuh sebagian sejak kecelakaan kerja lima tahun lalu membuat hal sederhana seperti itu menjadi berbahaya. “Bagaimana ayah?” tanya Winter begitu melihat Serena di ruang tengah. Serena hanya mengangguk ke arah kamar, wajahnya tegang. Winter masuk dan napasnya tercekat. “Oh, Tuhan…” Lututnya melemas melihat kening ayahnya yang robek, darahnya sudah mengering bercampur obat merah seadanya. Perbannya kusut, jelas dipasang terburu-buru. Winter langsung mendekat, meraih tangan ayahnya yang tergeletak lemah di sisi tubuh. Telapak tangannya dingin. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” suara Winter pecah, tapi ia menahannya tetap stabil. Serena menunduk. Sebelum adiknya menjawab, Maia muncul di ambang pintu. “Kita tidak punya uang,” ucap ibu tirinya datar. Maia berdiri dengan tang
Winter terbangun ketika ponselnya berdering berkali-kali. Ia mengerjap, menyadari dirinya tertidur di sofa apartemen dengan posisi miring dan leher pegal. Dengan gerakan lambat, Winter menyibak rambutnya ke belakang lalu mengangkat panggilan yang terus memaksa masuk.“Hallo,” ucapnya lirih.“Winter, Ibu sudah lihat berita tentang kau di TV,” suara Maia, ibu tirinya terdengar langsung menghakimi. “Siapa yang akan membayar biaya berobat ayahmu dan kuliah Serena?”Winter menutup mata sejenak. Tentu. Yang ditanyakan bukan kabarnya, bahkan bukan apakah ia baik-baik saja setelah diterpa skandal nasional.“Aku akan cari pekerjaan lain setelah ini,” ucap Winter, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.“Kau harus ingat siapa yang merawatmu sejak kecil. Sebagai balas budimu, pastikan adikmu kuliah tinggi. Jangan sampai dia cuma lulusan SMA seperti dirimu.”Setiap kata itu menusuk. Winter menggenggam ponselnya erat, menahan napas agar tidak pecah.“Iya, aku tahu,” jawabnya perlahan.“Dan ja
Pagi harinya, Winter terbangun seorang diri di kamar hotel dekat bar yang ia kunjungi semalam. Kepalanya berat, seperti baru dipukul dari dalam. Ia mengerjap beberapa kali, ruangan masih gelap, tirai tertutup rapat. Hanya samar-samar ia ingat Greyson yang membawanya ke sini.Setelah sadar penuh, ia segera terduduk dan memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap.Winter mendesah lega sambil menepuk keningnya. “Astaga… apa yang kupikirkan semalam?” gumamnya frustrasi. Untung saja Greyson tidak menanggapi omongan ngawurnya.Namun saat ia bergeser, Winter merasakan sesuatu yang lembap di antara pahanya. Ingatan semalam datang seperti potongan cepat. Greyson yang menariknya, cara pria itu menciumnya tanpa ragu, dan bagaimana Winter tidak sempat mengelak.Winter mengusap wajahnya keras-keras. “Brengsek… dia memang jago,” gumamnya frustrasi. Ia harus mengakui jika Greyson memang mahir mencium. Sayangnya, itu tidak membuktikan apa pun. Di drama pun dia sering mencium lawan mainnya, hanya bagi
Bar itu tidak ramai, tapi cukup penuh untuk menenggelamkan suara di kepala Winter yang sejak pagi terus berputar. Lampu temaram membuat wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Ia mengangkat gelas, menenggak isinya tanpa benar-benar memikirkan rasa. Jika dunia luar ingin menertawakan dan menghakiminya, biarlah. Karirnya sudah rusak. Namanya dicaci. Orang yang mengaku mencintainya menghilang. Setidaknya disini, ia bisa diam tanpa harus menjelaskan apa pun. Kepalanya jatuh ke meja bar, napasnya berat. Suara kursi di sampingnya bergeser perlahan, menandakan ada seseorang baru saja duduk. Winter tidak peduli, sampai orang itu membuka suara memesan minuman. Nada suaranya rendah, familiar. Winter mengangkat kepala dengan susah payah. Tepat di sampingnya, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya, Greyson Hale. Winter tersenyum tipis, miris. “Pria itu lagi,” gumamnya pelan. Apa yang dilakukan seseorang seperti Greyson di tempat semacam ini? Dengan karir gemilang, wajah sempurna, dan







