Nasya sudah pasrah, penuh takut dia menunggu reaksi Dika. Kalau pria itu marah bahkan sampai menamparnya, mungkin hal yang pantas. Siapa sih, orang yang mau dibohongi?
Lama menunggu Dika buka suara, Nasya meremas jemarinya, hati berdebar tak karuan, hanya menyisakan siksa dalam hati. "Mas," lirih Nasya memutuskan menyusul. Dia mengangkat wajahnya menatap Dika dengan mata mengabur oleh cairan bening. Dika menarik tangan Nasya yang terasa dingin, menggenggam erat dan meletakkan di pangkuannya. "Aku bisa menerimanya." Nasya semakin menatap Dika dengan tatapan tidak percaya. Semudah itu? Terbuat dari apa hati suaminya ini? Harusnya Dika marah dan memakinya, rapi justru sebaliknya. "Mas, kamu gak marah? Aku..." "Zaman sekarang itu, perawan atau tidaknya, bukan lagi hal utama. Meski salah, tapi itu kamu lakukan sebelum kita menikah. Aku tidak berhak atas masa lalumu. Sekarang, kamu adalah istri ku, jadi lupakan semua kisah yang lalu." See? Sebijak itu? Apakah Dika ternyata adalah malaikat yang menjelma jadi manusia? Sangat berbeda dengan pria yang satunya. Tiba-tiba ingat pada Chris, sudut bibirnya naik sedikit. "Cuih! Mau bilang apa nanti si Om psycho itu kalau tahu mas Dika gak marah padaku?" "Kenapa ekspresi wajahnya begitu?" tegur Dika tersenyum. Wajah Nasya jadi lucu dan menggemaskan saat memasang ekspresi tengil. "Hehehe, gak papa, Mas. Oh iya, mmm... karena gak ada masalah lagi, apa gak sebaiknya kita... kita... Hehehe, jadi malu." Nasya benar-benar salah tingkah. Dika paham maksud istrinya dan hanya tersenyum. Pria itu menarik tangan Nasya agar tubuh gadis itu masuk dalam pelukannya. Pelukan Dika terasa hangat. Di sanalah tempat Nasya seharusnya. Malam itu, Nasya berikrar kalau dia adalah wanita sekaligus istri yang paling beruntung di dunia ini. Kalau tahu sejak dulu bahwa Dika sebaik ini, Nasya tidak akan perlu menolak dan kabur saat dijodohkan. "Mas," panggil Nasya yang masih dalam pelukan Dika. Mengapa dirinya hanya dipeluk dan tidak langsung dieksekusi saja? Bukannya sudah jelas permintaan Nasya? "Apa, Sayang?" "Kita gak buat dedek?" bisik Nasya manja, jemarinya bermain di dada bidang pria itu. Merasa tergelitik, Dika menangkap telunjuk Nasya agar berhenti, lalu mengecup kening Nasya. "Besok aja, ya, Sayang." Nasya menghela napas lalu mengangguk pelan. Oke, malam ini cukup panjang dan sedikit melelahkan. Masih ada esok lusa untuk bercinta, yang terpenting saat ini, Dika sudah tahu kekurangan Nasya dan mau memaafkan gadis itu. Hari-hari Nasya kini dilalui dengan hati plong dan merasa sangat bahagia. Semua tampak sempurna, hanya saja masih ada satu yang mengganjal di hati Nasya. Janji Dika belum juga terealisasi. Saat Dika berkata besok, Nasya sudah bersiap-siap, mengenakan lingerie yang sangat seksi. Namun, harapan tinggal harapan. Hingga saat ini dia juga belum disentuh. Penuh sabar Nasya menunggu Dika masuk ke dalam kamar mereka malam ini. Pria itu tengah berbincang dengan Chris dan juga ayah mertuanya. Kali ini Nasya tidak perlu takut lagi kalau sampai Chris buka suara, toh, Dika juga sudah tahu. "Lebih baik aku dandan tipis-tipis dulu," bangun Nasya sembari tersenyum. Beranjak menuju meja riasnya. Melihat tampilan sudah oke, Nasya pun tersenyum, bergegas masuk ke dalam ruang ganti. Segera membongkar paket dari Airin berisi baju tidur. "Lingerie?" batin Nasya. Pipinya kembali merah membayangkan dia memakai pakaian itu malam ini di depan Dika. Niatnya sudah bulat, dia pun segera mencoba satu. Malu-malu dia berdiri di depan cermin. Rasanya penampilannya terlalu berani, tapi dia ingat nasehat ibunya. 'Jangan malu menunjukkan milikmu pada suami. Ingat, kamu itu sudah jadi miliknya!' Nasya menarik napas lalu menegakkan bahunya. Samar terdengar suara pintu dibuka. Nasya pun bergegas keluar dari ruang ganti. "Mas," panggil Nasya dengan suara mendayu. Dia berdiri diambang pintu ruang ganti dengan pose seksi yang sempat dia cari di g****e. Jari telunjuknya bergerak-gerak meminta Dika mendekat. "Kamu pakai lingerie, seksi sekali," puji Dika tersenyum. Nasya merasa senang dipuji oleh suaminya. "Malam ini kita malam pertama, yuk?" bisik Nasya mengalungkan tangan di leher Dika. "Aku capek banget hari ini. Besok, ya?" jawab Dika mengangkat tubuh Nasya ke atas ranjang. "Besok lagi? Gak ada habisnya kata besok buat mas Dika!" sungut Nasya cemberut. Nasya terus mengamati hingga Dika berbaring. "Sini, Sayang, jangan cemberut. Sini aku peluk." Dika merentangkan tangan. Nasya luluh, dia pun merangkak naik ke atas tempat tidur. Menutup semua khayalnya akan bercumbu dengan suami itu. *** "Apa lihat-lihat, Om?" Tanya Nasya jutek. Pria itu sejak tadi terus saja melihatnya. Sarapan di depannya dianggurin hingga kopinya sejak awal mengepul jadi dingin. "Wajah ditekuk terus, udah jelek tambah jelek," jawab Chris mengamati raut wajah Nasya yang cemberut sejak bergabung dengannya di meja makan. Nasya mengabaikan ucapan Chris. Melihat ke arah anak tangga, Dika masih saja belum turun. "Aku tebak, kayaknya gak dikasih jatah ya, sama Dika? Kasihan. Gimana kalau sama aku aja?" bisik Chris mendekatkan kepalanya ke arah Nasya. Pelototan Nasya justru membuat Chris tertawa ngakak. Dia begitu menikmati setiap momen saat menggoda Nasya. "Apa ada cerita lucu?" Dika muncul dengan senyum di bibir. Dia memandang pada mereka bergantian dan mulai ikut duduk. Chris hanya mengangkat bahu lalu mengangkat cangkir kopinya. "Sayang?" "Gak ada apa-apa, Mas. Habisin sarapannya, nanti kamu terlambat." Nasya sudah menyiapkan roti yang sudah dioles selai. "Kamu hari ini mau ngapain? Jadi ke rumah mami?" "Jadi, Mas. Tapi nanti ke kampus dulu." Dika hanya mengangguk lalu bergegas menghabiskan sarapannya. *** "Wah, anak gadis mami datang," sambut Anisa memeluk gembira. Wanita itu segera menanggalkan celemek nya dan maju memeluk Nasya. "Mami sehat?" "Alhamdulillah, sehat. Wajah kamu kok, kusut? Oh, mami tahu, pasti Dika buat kamu begadang terus, ya? Baguslah, biar mami papi cepat dapat cucu." Nasya terduduk lemas. Kepalanya menengadah melihat langit-langit. Ucapan ibunya justru menjadi beban. Dia juga ingin buat orang tuanya bahagia, tapi bagaimana mungkin, sampai sekarang saja Dika belum menyentuhnya. "Airin belum sampai, Mi?" Tanya Nasya mengalihkan topik. Hari ini dia janji pada sahabatnya untuk bertemu di sini. Nasya berharap mereka akan bertemu di kampus, membahas tempat magang mereka, tapi Airin tidak jadi ke kampus dan janji akan langsung ke rumah Nasya. "Belum. Ih, kamu ini, ucapan mami kok, gak disambut. Gimana? Udah jadikan buat adonannya?" "Adonan? Mami tahu sendiri aku gak bisa buat bolu." Anisa hanya tersenyum, lalu duduk di samping Nasya. " Maksud mami kamu sama Dika udah jadi buat cucu mami?" "Mami, ih, masa bahas begituan." Wajah Nasya berubah murung. Rasanya dia ingin cerita sama ibunya, tapi malu. "Kalau malu cerita sama mami, sama aku aja sini,"celetuk Airin muncul dari ambang ruang tamu, tak lupa menyalam Anisa dan mencium pipi wanita itu, lalu menarik tangan Nasya bergegas menuju lantai dua kamar Nasya. "Mungkin mas Dika doyan cowok kali," bisik Airin di telinga Nasya tepat di anak tangga kedua.Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid