Share

7

"K-kamu sedang apa?" tanya ayah River sambil mematung di pintu kantornya. Pria paruh baya itu jelas terkejut saat mendapati adegan-adegan tak senonoh yang sedang dilakukan putranya yang mengaku 'perjaka' itu. "Tadi, Mama kamu cerita, katanya dia sudah kehilangan harapan sama kamu. Tapi ... Ini apa?"

Dengan gerakan sigap, River bangkit dan berdiri dengan canggung, sementara Islandia langsung menutup wajahnya dengan blazer oversize yang gadis itu pakai.

Sial. Mereka baru saja terpergok sedang melakukan yanh iya-iya dihadapan bos super besar! Ini lebih parah daripada tadi mereka berhadapan dengan ibu River. Bisa-bisa Islandia langsung dipecat dan di-blacklist dari semua kantor di kota ini.

Gara-gara River yang tidak bisa menahan diri! Padahal tadi mereka sedang sesi pijat normal. Lalu, semua tiba-tiba saja berubah jadi ke arah lain.

"Ini ... Bukan apa-apa. Kita nggak ngapa-ngapain, kok," elak River yang mendadak jadi bodoh. Apanya yang tidak melakukan apa-apa! Mana mungkin ayahnya tidak melihat adegan ciuman itu. Gila saja. "Isla! Bilang sama Ayah kalau kita nggak ngapa-ngapain!"

Dasar bos gemblung! Sengaja Islandia menutup wajahnya supaya tidak ketahuan. Dia tadinya berencana akan menutup wajah sampai akhir, lalu kabur dari situasi tidak mengenakkan itu. Eh, River malah menyebut namanya! Tamat sudah karir Islandia.

Terdengar suara helaan napas dari ayah River. "Kamu pikir Papa buta dan tolol? Kalian baru aja bergulat di atas sofa, sampai nggak dengar suara ketukan dari luar. Nggak ngapa-ngapain apanya?" tukas pria itu.

Dan karena sudah ketahuan, Islandia pun bangkit duduk dan membuka penutup wajahnya, lalu menunduk malu. Sumpah. Tadi, dia sama sekali tidak ada intensi untuk berbuat yang tidak-tidak. River saja yang punya pikiran mesum, lalu menyerangnya dengan liar.

Ruangan itu pun hening sejenak, sebelum akhirnya sang super bos besar kembali angkat suara. "Ya sudah, kalau kamu memang berniat merahasiakan ini dari Mama dan Papa. Papa nggak akan bilang sama siapa pun juga, toh, ini urusan pribadi kamu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat, kalau Mama sampai tau dan semua sudah terlambat, jangan sampai kalian menyesal."

Sesudahnya, River dengan canggung mengakui kalau dia memang tadi sedang melakukan yang iya-iya, lalu meminta sang ayah untuk tutup mulut dan bertindak seakan tidak melihat apa pun. Pokoknya, anggap saja kejadian barusan tidak pernah terjadi.

Selama percakapan itu pula, Islandia merasa seperti kalau dia adalah rahasia kecil yang kotor. Yang tidak layak diketahui siapa pun juga. Tapi, mau bagaimana lagi? Sedari awal, waktu ditanya apa dia sudah tidur dengan River, Isla selalu menampiknya.

"Ayah ada apa ke sini?" tanya River pada akhirnya.

"Tadi katanya Mama lupa bawa berkas rapat minggu lalu. Kalian tadinya berniat bahas soal proyek baru, kan?" tanya ayah River yang enggan masuk ke dalam dan setia berdiri di pintu kantor. Mungkin pria itu merasa kalau kantor anaknya sudah tercemar.

Padahal tidak, kok! Islandia bisa bersumpah untuk itu. Yang tercemar justru kamar River yang ada di rumah mewah pria itu.

River kemudian berlari ke arah mejanya dan segera mengobrak-abrik berkas di sana. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit saja, berkas yang diminta langsung ketemu dan segera diserahkan.

Lalu, sebelum pergi, pria itu sempat berpesan pada anak bujang lapuk dan sekertarisnya. "Kalian ... Boleh melanjutkan, kalau bisa jangan pakai pengaman," ucapnya sambil kembali menutup pintu kantor dan menghilang dari sana.

Sial. Baru saat itu Islandia bisa bernapas kembali. Tekanan yang dirasakan dari pria turunan bangsawan Spanyol itu sudah menghilang begitu saja. Rasa rendah dirinya yang seakan 'kotor' pun ikut hilang dengan kepergian ayah River.

Hari ini sepertinya adalah hari sial gadis itu. Sudah dijambak, diinterogasi, dicium, eh, sekarang dipergoki. Kurang sial apa lagi, coba? "Pak, kenapa nyebut nama saya, sih? Saya mau kabur diam-diam, tau!" tegur Isla sambil kembali merapikan penampilannya.

"Ck. Tanpa itu pun Papa pasti udah tau itu kamu. Mama pasti tadi cerita soal kejadian tadi, lagian, nggak ada perempuan lain di lantai ini selain kamu," ujar River. "Nah, mau apa kamu rapih-rapih? Kan sebentar lagi bakal saya acak-acak lagi. Kamu dengar 'kan apa kata Papa tadi? Yang soal jangan pakai pengaman."

Maka Islandia pun segera berlari dari tempat itu, tak peduli kalau tasnya ketinggalan. Dia tidak mau menghadapi bosnya yang gila, tidak mau juga mengotori tempat kerjanya dengan hal-hal yang tidak patut. Jadi, gadis itu pun kabur tanpa menoleh ke belakang.

Dan tentu saja, momen itu River manfaatkan dengan sangat baik. Pria itu jadi membuntuti Isla sampai ke lobi, di mana para pegawai sudah pada pulang dan kantor mulai sepi. "Jangan cepet-cepet jalannya, ini tas kamu ketinggalan. Memangnya kamu pikir, kamu bisa pulang tanpa tas berisi dompet dan ponsel ini?" tanya River dengan sangat menyebalkan.

Terpaksa Isla berbalik dan mengambil paksa tasnya dari tangan sang bos dengan wajah masam. Kalau saja ini jam kerja, River pasti akan menegurnya karena memasang tampang seperti itu.

Yang lebih menyebalkan adalah, River mengikuti Isla sampai naik bis! Dan karena pria itu tidak punya e-card untuk bayar, terpaksa sang sekertaris lah yang membayari bos besar. "Pak! Ngapain ikutin saya, sih? Saya mau pulang! Bapak yang bangsawan dan berkelas ini nggak sepatutnya naik bis, kan?" bisik Islandia pada sang bos.

Wajah risih River sama sekali tidak bisa disembunyikan. Maklum saja, seumur hidup, pria itu pasti baru pertama kali naik kendaraan umum. Mana pernah sebelumnya River berdesak-desakan di dalam bis atau angkutan kota. River pasti selalu dapat kendaraan yang terbaik dan juga ekslusif. Isla agak iri, sih, tapi, mau bagaimana lagi? Iri pun tidak membuatnya kaya raya.

"Saya mau coba naik yang beginian sama kamu. Ternyata gerah banget dan agak bau, ya," balas River sambil me-review pengalaman pertamanya naik kendaraan umum.

Sontak saja, ocehannya yang cukup keras itu mendapatkan tatapan sinis dari orang lain, sehingga Islandia langsung pura-pura tidak kenal dan mengabaikan ajakan mengobrol River.

Lalu, saat tiba di halte dekat rumah Isla, River pun ikut turun. Juga ikut berjalan mengikuti gadis itu dan ikut masuk ke dalam beranda rumahnya, sehingga Isla naik pitam.

"Pak! Mau ngapain ikut terus, sih? Jangan buat saya marah terus, dong. Saya kalau marah suka jadi jahat. Masa saya harus jahatin orang berumur seperti Bapak?" ujar Islandia sambil memegang kunci rumah dan siap untuk masuk. Namun, karena ada River, gadis itu jadi enggan.

"Saya 'kan nggak bisa pulang sekarang karena nggak ada supir. Mau pulang naik bis pun nggak ngerti dan nggak punya saldo. Memangnya kamu tega lihat saya menggembel sendirian di pinggir jalan?" River pun merebut kunci di tangan Isla, lalu membuka pintunya dan masuk seakan-akan pria itu adalah tuan rumah. "Lagian, enteng banget kamu ngatain saya berumur. Kita ini cuma beda delapan belas tahun. Nggak ada yang salah sama itu, toh sudah legal juga."

Mata Islandia pun melotot. "Memangnya kenapa kalau sudah legal?"

"Ya, itu artinya, mau kita ngapain aja juga itu sah, atas kesadaran dan kemauan kita sendiri."

Islandia kemudian membahas saat kejadian mereka tidur bersama itu, kalau mereka sedang tidak dalam kesadaran dan kemauan sendiri. Lagipula, gadis itu sudah berkata jangan membahasnya, tapi River malah mengungkit-ngungkit terus. Mana seharian ini pria itu menempel padanya seperti lalat yang tertarik pada kotoran, pula.

Bukan apa-apa, hanya saja, Isla ingin River melupakan kehadian itu dan bertindak seakan tidak terjadi apa-apa. Islandia tidak mau membuat hidupnya rumit hanya karena kesalahan satu malam bersama sang bos. Namun, River sendiri malah menyinggungnya dengan enteng.

Karena malas berdebat dengan River, Islandia pun kabur ke kamarnya untuk berganti pakaian dan menghapus riasan tipisnya. Sayang, tepat saat gadis itu tengah membuka pakaian, entah bagaimana River menerobos masuk ke kamarnya yang sudah diselot supaya terkunci. "Astaga, Pak! Kenapa masuk sembarangan, sih?!" pekik Isla sambil menarik selimutnya untuk menutupi diri.

"Oh, saya kira kamu pingsan di dalam, habis lama sekali, sampai pesanan makan sore kita sudah tiba. Ayo cepat keluar dan makan, supaya kegiatan malam kita lebih bermakna dan enak," celetuk River yang matanya sempat jelalatan.

Sebuah bantal pun melayang ke arah pria tampan tersebut.

Parahnya, entah karena refleks atau apa, saat itu ponsel Isla berdering. Ada panggilan video dari Ivy yang langsung membuat Islandia tanpa pikir panjang langsung mengangkatnya.

"Lho, Mbak habis ngapain? Kok kayak yang nggak pakai baju sampai ditutupi selimut gitu?" tembak Ivy langsung, tanpa basa-basi sedikit pun.

Di tengah kepanikan Isla yang sedang memikirkan jawaban, River malah bertingkah dan mendesah, "Ah, iya, enak," ucapnya dengan jahil. Seakan pria itu sedang dilanda perasaan yang bergejolak, padahal River sedang berdiri biasa dan tidak melakukan apa pun.

Wajar kalau pertanyaan yang dilontarkan Ivy adalah, "Mbak, itu siapa?"

Dan tubuh Islandia pun langsung kaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status