Share

04. Sugar Baby

Jihan membantu mengeringkan rambut Mario yang basah. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Wanita itu tidak jadi pergi ke klub bersama Hana karena Mario menghubunginya. Jihan mengalah karena dia lebih mengutamakan sugar daddy-nya itu ketimbang teman baiknya. Untung saja Hana dapat mengerti hal itu.

"Om, mau nginep atau pulang?" tanya Jihan.

"Aku numpang tidur sampai matahari terbit, habis itu aku pulang soalnya harus pergi kerja juga. Kalau kamu nggak nyaman berbagi tempat tidur, aku bisa kok tidur di sofa," jawab Mario.

"Ya, nggak gitu juga kali, Om. Tidur saja nggak apa-apa sekasur juga. Nggak apa-apa," sahut Jihan.

Mario membalikkan tubuhnya. Dia mengambil hair dryer yang tengah dipegang oleh Jihan. Pria itu pun mematikan alat tersebut dan menyimpannya di atas meja rias.

"Jihan, kamu mau ikut aku ke Jerman, nggak?" tanya Mario.

"Jerman? Ngapain, Om? Itu nggak ada di kontrak kita loh, ya! Jangan mendadak rubah-rubah isi kerjasamanya, dong!" protes Jihan.

"Bukan gitu, aku ada acara di Jerman beberapa hari. Jadi ada niatan buat ajak kamu ke sana. Masalah paspor dan hal lainnya, nanti ada yang urus kalau memang kamu mau ikut, Jihan," ungkap Mario.

Jihan tidak langsung menjawabnya. Ia tampak berpikir untuk beberapa saat. Bohong jika ia tidak merasa khawatir atas ajakan yang diberikan oleh Mario kepadanya. Ia takut jika Mario akan berniat jahat.

Mario yang menyadari jika Jihan tengah berpikir atas ajakannya itu pun tersenyum. "Jangan takut, aku nggak bakalan buat jahat kok sama kamu! Aku beneran cuma pengen ajak kamu saja, kok."

"Aku nggak Om jual 'kan di Jerman? Takut beneran nih akunya, Om. Habis ngedadak banget tiba-tiba ngajak ke Jerman segala. Di negara sendiri saja, aku belum keliling semua kotanya," tutur Jihan dengan polosnya.

Mario melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu. Ia mendongak dan tersenyum. "Kalau kamu dijual, biar aku saja yang beli kamu. 1 Miliar? Aku beli, deh," guraunya.

Jihan memukul pelan pundak Mario dengan tawa gelinya karena tangan nakal pria itu mulai naik turun di bagian belakang tubuhnya.

"Uang sebanyak apapun yang Om punya nggak bakalan bisa beli aku, soalnya aku 'kan bukan barang," jawab Jihan.

Mario kini berdiri dan meraih dagu wanita di hadapannya. Jarak kedua bibir pun hanya tersisa beberapa inci saja. Tangan kanannya menyisipkan helaian rambut di wajah Jihan ke telinga wanita itu.

"Kamu boleh tolak uangku, tapi aku nggak akan terima tolakan soal keingiananku bermain-main di atas tempat tidur denganmu," bisiknya.

Pipi Jihan bersemu. Ia paham jika Mario menginginkannya lagi. Padahal mereka telah usai dengan permainan tengah malam tadi. Namun, sesuai dengan isi kontrak, Jihan harus siap kapanpun ia dibutuhkan.

"Om yakin kali ini bisa mengalahkan aku?" balas Jihan dengan menggoda Mario seraya melepas setiap kancing yang ada di kemeja pria itu.

"Kamu mungkin pelatihnya, tapi aku pandai dalam belajar sesuatu. Nggak usah khawatir, aku bisa mengimbangi setiap permainan kita nanti. Aku yakin bahkan nanti kamu yang akan terus-terusan kalah dan kewalahan. Jangan salahkan aku pas itu terjadi, ya!" Mario menyentuh hidung Jihan dengan telunjuknya.

Setelah itu, Mario membawa Jihan kembali ke tempat tidur. Melepas semua hal yang menempel pada tubuh mereka. Dengan perasaan yang meluap, mereka salurkan semuanya di atas tempat tidur. Melakukan banyak gaya demi sampai pada titik kepuasan.

***

Jam menunjukkan pukul sepuluh siang. Jihan tengah mengunyah sereal miliknya dengan mata yang masih terpejam. Ia masih mengantuk karena kurang tidur. Untung saja ia tidak telat membangunkan Mario yang baru tidur beberapa menit itu agar pria itu tidak terlambat masuk kantor.

Beberapa kali Jihan menguap. Ia berniat setelah sarapan akan pergi tidur lagi, mengganti waktu istirahatnya semalam yang benar-benar kacau karena kehadiran Mario yang terlalu menginginkannya itu. Badannya terasa pegal-pegal dan membutuhkan waktu istirahat yang benar.

Belum habis sereal coklat itu ia makan, ponselnya tiba-tiba berdering. Jihan beranjak dari kursi yang ia duduki dan langsung meraih ponselnya di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dan Jihan tahu itu dari siapa. Bergegas wanita itu menjawab panggilan tersebut.

"Ya, Nek. Ada apa?" tanya Jihan setelah menjawab panggilan tersebut.

"Kabarmu baik, Jihan? Ini Nenek sudah ambil uang yang kamu kirim dari bank. Kok banyak banget toh kirim uangnya?"

"Kabar aku baik, kok, Nek. Ia itu aku kirim lebih banyak soalnya aku dapat bonus. Nenek tolong bayar hutang kita di bu Andin, ya. Biar ibu cerewet itu nggak ganggu Nenek lagi. Sisanya buat beli obat Nenek sama beli bahan makanan. Minta belikan obatnya ke pak Badrun saja kalau beliau mau ke kota," terang Jihan.

"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja di sana. Nenek jadi tenang. Makasih, ya. Uangnya Nenek pakai sesuai sama apa yang kamu bilang barusan. Jaga diri, Jihan. Jangan lupa beribadah! Kalau begitu Nenek mau pulang dulu, ya. Itu pak Badrun sudah nunggu Nenek," pamit Nenek Jihan di percakapan mereka.

"Ya, sudah. Kalau begitu Nenek hati-hati, ya."

Percakapan mereka pun berakhir. Jihan duduk di tepi tempat tidur dan menghela napasnya. Mendengar pesan yang neneknya katakan barusan membuat dadanya terasa sesak. Dia sudah sangat jauh dari kewajibannya sebagai umat beragama. Terlalu banyak dosa serta kesalahan yang Jihan lakukan. Padahal dulu saat masih di kampung, ia termasuk wanita taat dan jauh dari hal buruk atas didikan yang diberikan sang nenek kepadanya.

"Maaf, nek. Aku bahkan kasih uang yang aku dapatkan dengan cara gak baik itu buat nenek pakai. Hidup terlalu keras buat kita yang biasa saja, nek. Aku harap nenek mengerti dan bisa memaafkan atas kesalahan aku ini," gumamnya dengan perasaan berat hati.

***

Mario berada di ruang kerjanya. Wajahnya sedikit pucat karena kurang tidur dan belum sarapan. Ia tengah mengobrol dengan asisten pribadinya, Jovan.

"Van, kamu urus soal paspor dan visa atas nama ini, ya. Pakai saja uang dan koneksi yang kamu punya, nanti aku ganti," perintah Mario seraya menyerahkan secara kertas bertuliskan sebuah nama.

"Jihan Mazaya Freya. Siapa ini? Aku baru tahu soal nama wanita ini," tanya Jovan.

Jovan yang merupakan asisten pribadi Mario di kantor tersebut juga merupakan teman kuliah Mario dulu. Oleh sebab itu, mereka sangat akrab dan tentu Jovan menjadi tempat berkeluh-kesah Mario selama ini. Namun, urusan Jihan, pria itu memang belum sempat cerita sama sekali.

"Ceritanya panjang, Van. Kamu urus saja itu, nanti aku ceritakan soal wanita itu kalau kamu sudah selesaikan tugasmu," kata Mario.

"Setidaknya kasih tahu sedikitlah, jujur saja aku saat ini malah menaruh curiga dan penasaran sama kamu, Rio," ungkap Jovan blak-blakan.

"Dia Sugar Baby-ku. Puas kamu?" Mario menatap serius kedua netra temannya itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status