Share

05. Sebuah Peringatan

Bandar Udara Frankfrurt, Jerman.

Setelah melakukan perjalanan jauh dengan dua kali transit di negara yang berbeda, akhirnya Jihan menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Jerman. Wanita itu pun mengalami jet lag. Kepalanya sakit, badannya terasa tidak enak dan perubahan suasana hati yang cukup signifikan.

Mario yang paham akan kondisi Jihan tersebut pun lantas meminta Jovan untuk membelikan kopi untuk wanitanya itu. Jovan yang tidak dapat membantah perintah dari atasannya itu pun lantas berbelok sebentar ke sebuah coffee shop di bandara. Sembari menunggu kopi datang, Mario pun menunggu koper milik Jihan, Jovan dan dirinya.

Pada akhirnya, memang hanya tiga orang itu saja yang pergi ke negeri Hitler tersebut. Jihan menggantikan sekretaris Mario yang memang sengaja tidak pria itu ajak. Wanita itu diliburkan dengan sogokan uang saku agar tutup mulut dari karyawan lain beserta orang tua Mario.

Beberapa menit pun berlalu. Koper sudah didapatkan, begitupun dengan kopi yang cukup membantu kondisi Jihan agar lebih baik. Mobil jemputan pun datang. Mario memang diberikan fasilitas yang nyaman oleh pemilik perusahaan mobil mewah tersebut. Undangan yang diberikan papanya itu dikirim langsung oleh owner perusahaan tersebut kepadanya.

"Selamat datang di Jerman, Mr. Mario. Perkenalkan saya Alaric dan ini Bruno. Selama berada di Jerman, saya dan rekan saya yang akan membantu Mr. Mario beserta kedua staf Anda," ucap seorang pria berperawakan tinggi dengan tubuh cukup berisi beserta kumis tipis di atas bibirnya.

"Bahasa Indonesia kamu cukup bagus, Alaric. Baiklah, salam kenal dari saya. Ini Jovan, Asisten Pribadi saya dan ini Jihan, sekretaris saya." Mario pun memperkenalkan dua orang yang sengaja ia ajak.

Setelah saling memperkenalkan diri, mereka pun bergegas menuju mobil untuk menuju hotel tempat mereka akan menginap. Di perjalanan, Alaric banyak sekali memberitahukan tempat-tempat bagus yang sekiranya cocok untuk ketiga orang tersebut kunjungi.

"Kalau restoran yang jual makanan lokal, di mana?" tanya Mario.

Alaric pun merekomendasikan beberapa pilihan restoran kepada Mario. Ia bahkan menawarkan diri membantu jika memang Mario menginginkan makanan tersebut. Namun, untuk saat ini lebih baik mereka sampai dulu di hotel. Punggung Mario sudah sangat pegal ia ingin berguling-guling di kasur yang empuk.

Lavender Hotel

Mario memesan dua kamar hotel. Satu untuk Jovan, satu lagi untuk dirinya dan juga Jihan. Mereka pun masuk ke dalam kamar masing-masing. Jihan yang keadaannya sedikit membaik pun memilih untuk membasuh wajahnya ke kamar mandi. Sedangkan Mario merebahkan tubuhnya di kasur.

Begitu urusan Jihan di kamar mandi selesai, saat ia keluar dari ruangan tersebut, ia mendapati Mario yang tengah terlelap di tempat tidur. Wanita itu pun membiarkannya, ia tidak ingin mengganggu waktu istirahat pria tersebut.

Sofa menjadi pilihan untuk Jihan saat ini. Dengan meluruskan kedua kakinya, ia pun menyandarkan kepalanya di tepian sofa. Keningnya ia pijat-pijat untuk mengusir rasa pusing yang masih tersisa. Tak lama dari itu, pintu kamar pun diketuk. Jihan mau tak mau pun bangun dan langsung membukakan pintu.

Di hadapannya kini ada Jovan yang langsung memasang senyum lebar. Pria itu sempat memiringkan kepalanya untuk mengecek kondisi di dalam kamar. Namun, Jihan segera menghalangi penglihatan pria itu dengan tangannya.

"Mau apa?" tanyanya dengan sedikit ketus.

"Mario lagi apa? Ada yang ingin aku sampaikan sama dia," tanya balik Jovan.

"Om Mario tidur. Mau aku bangunin?"

Jovan menggeleng. "Nggak usah, biarkan saja dia tidur. Kalau gitu, boleh kita ngomong sebentar?"

"Buat apa? Om mau cari tahu soal aku? Katanya teman dekat om Mario, kan?" Jihan menatap tak suka kepada Jovan, menurutnya pria itu sedikit mencurigakan.

"Kamu takut sama aku? Justru karena aku temannya Mario, kamu harusnya tenang jadi nggak perlu khawatir kayak gini," sahut Jovan.

"Ya, sudah. Mau ngomong di mana? Kalau om Mario marah, Om yang tanggung jawab tapi ya!" kata Jihan mengingatkan.

Jovan mengangguk. "Iya, gampang. Dia kalau tidur gitu nyenyak gitu bakalan lama, kok. Kita ngomong di kafe depan hotel saja gimana?"

"Boleh. Aku ambil tasku dulu, sebentar!" Jihan masuk ke dalam kamar hotelnya untuk mengambil tas beserta ponselnya, takut nanti Mario akan menghubunginya begitu tahu bahwa dia tidak ada di dalam kamar.

***

Jihan mengaduk minuman di hadapannya. Ia menunggu Jovan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Namun, pria itu saat ini tengah mengobrol dengan seseorang dalam sebuah panggilan telepon. Obrolannya tidak jauh dari pekerjaan. Pria itu memasang ekspresi serius saat berbicara dengan lawan bicaranya.

"Oke, kalau begitu urus dengan baik. Jangan sampai saat saya kembali, proyek kita itu gagal dan membuat pak Mario marah. Saya tutup dulu teleponnya." Jovan pun mengakhiri percakapan tersebut dengan memberikan sebuah penekanan.

"Maaf, aku nggak bisa abaikan pekerjaan. Sekarang apa aku boleh tahu kamu ini punya pasangan? Kayak pacar, tunangan atau suami gitu." Jovan langsung to the point.

"Aku punya pacar, tapi dia kerja diluar kota sekarang," jawab Jihan berterus terang.

"Itu berarti pacar kamu nggak tahu 'kan kalau kamu punya kontrak kerjasama dengan Mario?"

"Ya, iyalah, Om. Buat apa aku kasih tahu dia?" Jihan pun tersenyum menyungging.

"Kamu udah biasa open booking kaya gini?" Mata Jovan kali ini menyipit dengan jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk meja.

"Aku nggak sehina itu, Om. Aku baru kayak gini sama om Mario saja. Itu pun karena terpaksa soalnya aku butuh uang mendesak. Kenapa? Om tertarik sama aku? Kalau uangnya sepadan, boleh nanti habis om Mario lanjut sama Om Jovan," tutur Jihan dengan sengaja supaya pria itu merasa tak nyaman dengannya.

"Kenapa nggak minta sama pacarmu? Dia nggak ada duitnya?" Jovan tahu cara membalas Jihan.

"Ck!" Jihan berdecak kesal dan merotasikan matanya malas.

"Aku bercanda. Nggak usah tersinggung. Lagian aku juga biasa saja. Aku cuma mau ingatkan, kamu jangan sampai punya perasaan lebih sama Mario. Keluarga dia itu melihat wanita dari bibit, bebet dan bobotnya. Kamu cuma dipandang wanita yang bisa dibayar buat dia tiduri, jangan berharap menjadi Cinderella di kehidupanmu saat ini," ungkap Jovan memperingatkan.

Bibir Jihan tertarik ke atas sebelah. Ia merasa diremehkan saat ini oleh Jovan. Wanita itu tahu, saat ini ia hanyalah seorang wanita bayaran yang bertugas mengajari Mario permainan di atas ranjang, tapi apa yang dikatakan Jovan menurutnya sudah berlebihan.

"Aku mungkin wanita bayaran, tapi aku tidak semurahan itu sampai-sampai Om harus berbicara seperti itu. Nggak usah khawatir, aku nggak minat menggeser posisi calon istri calon om Mario untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku tak tertarik untuk hal itu! Entah memang kamu peduli kepadanya karena kalian berteman sudah lama atau kamu berbicara seperti ini karena iri tidak bisa mendapatkan lawan yang tepat di atas ranjang seperti apa yang temanmu dapatkan saat ini. Aku nggak peduli, tapi jangan usik aku!" tegas Jihan seraya bangkit dan meninggalkan Jovan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status