Share

02. Malam Pertama

Jihan mendumel saking kesalnya karena teman kosan dirinya bergurau dengan mengatakan dia melakukan open booking. Padahal ucapan temannya itu tidak sepenuhnya salah. Jihan melakukan itu, tapi hanya dengan seorang pria. Itu pun karena ia sedang membutuhkan sejumlah uang, kalaupun tidak, mana mungkin ia melakukan hal seburuk itu.

Pintu hotel bernomor 234 di hadapan Jihan pun diketuknya. Wanita itu sempat mengatur napas, mengusir rasa kesal yang ada dalam benaknya. Ia berusaha tersenyum kembali. Tak lama, pintu pun terbuka. Mario berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Jihan.

"Masuk!" Mario pun mengeluarkan perintahnya.

Jihan pun masuk lebih dahulu karena Mario memegang pegangan pintu. Pria itu akan segera menutup pintunya setelah Jihan berada di dalam. Pandangan Jihan mengamati setiap sudut ruang kamar mewah tersebut. Pria itu memesan kamar yang mahal dengan segala kenyamanan yang terjamin bagi penghuninya.

Mario yang telah menutup pintu pun duduk di sofa. Ia meraih segelas minuman dewasa dan meneguknya perlahan. Pria itu sempat menawarkannya kepada Jihan, tapi wanita itu menolaknya karena memang ia tidak meminum air yang seperti itu.

"Sudah diminum obatnya?" tanya Mario.

Jihan mengangguk seraya duduk di sofa single di sisi sebelah kanan dari Mario.

"Malam ini kamu cukup temani aku ngobrol, urusan kita tidur bersama atau nggak, kita lihat nanti. Sepulang bertemu sama kamu, aku langsung dapat kerjaan banyak tadi, makanya kepala aku agak mumet," ucap Mario.

"Oke, nggak masalah," timpal Jihan.

"Kamu kerja di mana?" tanya Mario berusaha mencairkan suasana.

"Aku SPG, Om. Cuma dua minggu kemarin aku keluar dan itu awal mulanya aku daftar aplikasi kencan online itu," jawab Jihan sambil mengambil sepotong keju yang ada di hadapannya.

"Kamu butuh uang buat apa sampai akhirnya gabung di aplikasi itu? Itu pun kalau kamu mau jawab, kalau nggak ya terserah," kata Mario.

"Buat biaya hidup, kota besar yang kita tempati ini Om tahu sendiri, semua serba mahal. Yang utamanya sih buat aku kirim ke nenek aku. Beliau sudah sepuh, dari kecil sampai lulus SMA aku tinggal sama nenek. Sekarang nenek mulai sakit-sakitan, jadi aku harus kirim uang buat biaya pengobatan dan keperluannya di kampung," cerita Jihan.

"Orang tuamu ke mana?" Mario mulai penasaran dengan kehidupan Jihan, ia pun membenarkan posisi duduknya agar bisa lebih rileks.

"Aku anak broken home, Om. Mereka sudah punya keluarga masing-masing dan mereka nggak peduli sama aku," sahut Jihan dengan ekspresi wajah santainya.

Mario pun diam. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh soal kehidupan pribadi Jihan lagi. Terlalu sensitif rasanya dan Mario tidak ingin Jihan merasa risih kepadanya. Setidaknya ia cukup paham alasan dibalik Jihan setuju tawaran yang ia berikan.

***

Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Jihan baru saja kembali dari kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Pada akhirnya mereka melakukan malam pertama mereka. Mungkin bukan kali pertama bagi Jihan, tapi bersama Mario, ini adalah malam pertama mereka.

Mario awalnya kaku dan tampak malu, tapi secara naluri pria pada umumnya, ia pun akhirnya mengambil alih seperti seorang ahlinya. Jihan bahkan sempat ragu bahwa pria itu memang masih perjaka dan tidak pernah melakukan hubungan panas tersebut.

Saat ini, Jihan duduk menghadap ke arah cermin sembari mengeringkan rambutnya dengan menggunakan hair dryer. Mario masih terlelap dengan tubuh yang hanya tertutupi oleh sebagian selimut hotel. Pria itu tidur dengan nyenyak, walau sebenarnya permainan mereka tadi sangat luar biasa, tapi tidak ada raut kelelahan di wajahnya.

Pikiran Jihan tiba-tiba kembali mengingat bagaimana perkasanya Mario tadi. Tubuh kekar dengan dada yang bidang itu bahkan terlihat lebih menarik ketimbang milik kekasihnya. Jihan bukan tipe wanita yang tak setia, tapi kebutuhan mendesak yang tidak dapat ia tunda itu pun membawanya hingga berakhir di hotel ini bersama Mario.

Kekasih Jihan sebenarnya bisa saja membantu kesulitannya, karena ia pun berasal dari keluarga cukup berada. Apalagi jabatannya di tempat kerja juga cukup tinggi. Namun, Jihan tidak mau membebani pria itu dengan masalahnya. Jikapun Jihan meminta bantuan, ia tidak enak karena takut dianggap sebagai wanita matre di mata keluarga kekasihnya itu.

Beberapa menit berlalu. Rambut Jihan sudah kering dan wanita itu telah mengenakan pakaian ganti yang memang sengaja ia bawa dari kosan. Tak mungkin jika pulang nanti ia masih mengenakan gaun yang semalam ia pakai.

Sambil menunggu matahari menampakan wujudnya, Jihan pun memilih untuk kembali tidur di sofa. Tubuhnya yang langsing pun membuat dirinya bisa tidur dengan nyaman di sofa yang ukurannya tidak terlalu besar tersebut. Rasa kantuk memang tidak dapat ia tahan lagi. Tubuhnya juga perlu istirahat setelah 'bertarung' dengan Mario.

***

Jihan terbangun karena ada yang menggoyang-goyangkan lengannya. Matanya beberapa kali mengerjap, mengumpulkan kesadaran setelah terbuai bunga tidur. Begitu ia membuka matanya dengan sempurna, wanita itu melihat Mario dengan rambut yang setengah basah dan sudah berpakaian rapi tengah berdiri di sampingnya.

"Kamu sudah mandi? Kenapa tidur di sofa?" tanya Mario.

Jihan pun bangun dan kini duduk di sofa itu dengan kaki yang ia lipat bersilang. "Sudah tadi jam tiga, Om. Aku langsung mandi pas Om tidur. Aku tidur di sini nggak mau ganggu tidurnya Om, kelihatan nyenyak banget soalnya."

Mario pun duduk di sebelah Jihan seraya mengenakan arlojinya. "Padahal di tempat tidur saja, di sini dingin dan kurang nyaman. Aku juga nggak bakalan keberatan, kok."

Jihan pun mengangguk. "Iya, Om. Lain waktu begitu deh aku."

"Cuci muka, gih! Habis ini kita cari sarapan atau kamu mau langsung pulang saja?" Mario menoleh ke arah Jihan.

"Langsung pulang saja, Om. Takut ada yang kenal sama kita, nanti urusannya panjang. Om 'kan bilang kalau kerjasama kita ini nggak boleh sampai ada yang tahu," sahut Jihan.

"Ya, sudah kalau begitu. Aku keluar duluan. Kamu bisa cuci muka, habis itu pergi setelahnya. Bagaimana?" Mario pun memberikan solusi untuk hal tersebut.

"Iya, Om. Begitu saja," jawab Jihan setuju.

Mario pun berpamitan dan ia keluar lebih dahulu dari kamar hotel tersebut. Jihan pun masuk ke dalam kamar mandi, setelahnya ia juga keluar dari kamar itu untuk kembali ke kosan dengan menaiki taksi.

***

Seminggu berlalu. Dalam tujuh hari tersebut, Jihan sudah bertemu dengan Mario sebanyak tiga kali. Sebenarnya tak masalah, hanya saja teman kosan Jihan mulai curiga karena wanita itu tidak pergi bekerja setiap hari dan jika pergi di malam hari, ia akan kembali esoknya.

"Aku rasa harus cari tempat tinggal baru, Om," kata Jihan.

"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Mario.

"Teman-teman di kosan mulai rese, Om. Padahal aku bilang kalau aku sekarang freelance kerjanya. Cuma gara-gara kalau aku ketemu Om malam, terus pulangnya pagi-pagi, jadi mereka agak curiga gitu," curhat Jihan.

Mario berpikir sejenak untuk mencari solusi bagi permasalahan Jihan, karena secara tidak langsung ia juga harus membantu wanita itu agar kerjasama mereka tidak terhalang oleh masalah apapun.

"Jihan, gimana kalau kamu tinggal sama aku saja?" tanya Mario seraya memberikan penawaran untuk wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status