เข้าสู่ระบบSetelah bertarung dengan libidonya yang terpancing ke permukaan, Irgi pun akhirnya berhasil juga membawa sang perempuan ke dalam kamar hotel yang disewanya.
"Ahh, panas ... gue gerah, pengen banget mandi! Emhh," rintih Agnia belum tuntas. Untungnya, kini ia sudah dibaringkan di atas ranjang berseprai putih. Dibiarkan bergerak gelisah, sembari melepas kemejanya secara utuh. "Apa aku perlu melakukannya?" Gumam Irgi menimbang-nimbang. Sejenak, ia menyentuh bibirnya yang tadi sempat Agnia lumat dengan rakusnya. "Ayo ke sini! Masukin gue please. Disini gatel banget," ujar perempuan itu seraya membuka kancing celana jeans-nya. Melihat itu, Irgi pun semakin terdorong untuk menuntaskan libidonya yang sempat tertahan. "Jika aku melakukannya, apakah tindakanku tepat?" Irgi bertanya-tanya pada diri sendiri. Agnia melengkungkan tubuhnya ke atas. Celananya pun sudah akan ia turunkan karena merasa tak sabar untuk memasukkan jemarinya ke dalam sana. Rasa gatal dan geli bercampur menjadi satu. Membuat Agnia terus mendesah, diikuti oleh keringat yang bercucuran. "Di sini sudah basah, apa lo akan terus berdiri di sana dan cuma menonton?" Agnia kesal, dia sungguh tidak mengerti pada jalan pikiran si pria. Mendengar pernyataan sang perempuan, Irgi kembali menggeram. "Hei, lo gak normal, ya? Lo beneran diemin gue yang bahkan udah setengah telanjang begini?" Teriak Agnia setengah frustrasi. Bahkan, air matanya sudah merebak membasahi pipi. "Sial! Jadi wanita ini menantangku, hm?" Bisik Irgi terusik. Sejujurnya, ia akui ia sudah mulai tergoda sejak di mobil tadi. Hanya saja, ia tidak mau asal gegabah dengan langsung menjamahnya detik itu juga. "Pantes aja gue diselingkuhin. Ternyata gue emang gak menarik, ya?” tiba-tiba saja Agnia menangis tanpa alasan yang jelas, membuat pria itu mengerutkan kening. “Seburuk itu ya lekuk tubuh gue?" Tangisnya meratap. Untuk sesaat, Irgi termangu dan berusaha mencerna perkataan Agnia yang seperti orang baru putus cinta. "Argh! Yaudah, kalo lo gak mau masukin gue. Biar jari gue aja yang masuk ke sini," erang Agnia muak. Kemudian, ia benar-benar memasukkan jarinya ke dalam underwear-nya tanpa ragu. Akan tetapi, sebelum sempat jari itu menyentuh lembah yang basah nan panas, Irgi justru sudah lebih dulu mencegahnya dengan cara menarik tangan Agnia keluar dari dalam celananya. "Akan kulakukan jika memang kamu menginginkan," cetus Irgi pada akhirnya. Kini, dia sudah turut naik ke ranjang dan memposisikan diri di atas sang perempuan yang sejak tadi sudah berbaring terlentang. "Ayo cepat!" Seru Agnia tergesa. Saking tak sabarnya lagi, Agnia sampai menarik kemeja sang pria agar condong ke arahnya. Ia kembali melumat bibir itu dengan sangat rakus tanpa ampun. Sementara Irgi, tangannya mulai sibuk menurunkan celana Agnia hingga ke ujung kaki. Tersisa underwearnya saja, bersama bra merah yang masih terpasang utuh di tempatnya. "Emhh, manis banget bibir lo. Apa lo suka merokok?" Racau Agnia di sela kegiatannya. Namun, sepertinya Irgi tidak tertarik untuk menyahut. Karena di detik selanjutnya, ia sudah menurunkan bibirnya ke arah leher sang gadis yang sejak di bar tadi sudah memerah. "Ahh, ya … ya di situ," desah Agnia. Kepalanya menengadah seiring dengan penghayatan yang ia rasakan ketika tangan sang pria menyentuh titik sensitifnya. "Basah sekali," geram Irgi mulai mengoyak. "Kan udah gue bilang, di sana udah sangat gatal. Lo aja yang kelamaan," komentar si perempuan kesal. Walau begitu, kini ia sangat menikmati sentuhan manja yang pria itu berikan. Irgi sendiri mulai terlena. Setelah sekian lama tak menjelajahi gunung kembar, akhirnya kini Irgi memiliki kesempatan besar untuk merasainya lagi. "Buka aja, emh …." titah Agnia sambil melengkungkan badannya ke atas. Memberi akses pada sang pria agar ia melepas pengait bra yang masih utuh terpasang. Irgi menurut. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk melepas pengait bra tersebut. Selagi itu, tangan satunya lagi masih sibuk menari indah di dalam sana. "Ahh ya, ya ... gue suka. Ini, nikmat banget … emh," gumam Agnia dalam pejaman matanya. Merasa sangat dimanja oleh permainan mulut Irgi di puncak dadanya. "Masukin sekarang, please! Gue udah gak tahan," rengek Agnia lagi. Tangannya bergerak gesit membuka kancing celana sang pria. Lalu, ia turunkan juga sampai pusaka Irgi teraba menegang, seolah siap melesak masuk ke dalam sarangnya. "Cepetan!" Desak Agnia tak sabar, sembari sigap mengenyahkan celana dalamnya sendiri. Kini, keduanya sudah sama-sama tak terhalang busana. Kemudian, mula-mula Irgi memposisikan diri di atas Agnia. Perlahan, ia pun memasukkan miliknya ke dalam sang perempuan. "Pe-lan pe-lan ...." Irgi mengernyit. Padahal, bukannya sejak tadi ia minta dimasuki. Tapi sekarang, kenapa justru perempuan ini minta pelan-pelan? "A-ahh, sa ... kit," pekik Agnia tertahan, di kala milik Irgi menembus dinding yang menghalangi inti si perempuan. Melotot, Irgi pun baru sadar. "Jadi, ini yang pertama?" Agnia tidak menjawab. Akan tetapi, Irgi sangat yakin bahwa Agnia memang masih perawan sampai pada saat Irgi berhasil menjebol dinding keperawanannya. "Ahhh, e ... nak," desah Agnia merem melek. Sementara itu, Irgi bergerak dengan ritme yang dirasa pas. Apalagi ini adalah moment pertama bagi Agnia. Tentu saja, Irgi harus memberi kesan yang indah bagi perempuan yang sedang ditindihnya ini. "Apa masih sakit?" Tanya Irgi pelan. Agnia menggeleng. Kemudian, ia menarik kepala Irgi yang lagi-lagi dilumatnya rakus bibir manis tadi. Agnia mendesah kencang ketika Irgi tak memberi celah. Tubuhnya bergetar hebat, ketika sesuatu akan datang tak lama lagi. "Jangan keluar sendiri," bisik Irgi di bibir sang wanita. Tidak lama dari itu, Agnia menjerit kencang sembari menancapkan kuku-kukunya di punggung sang pria. Malam ini, mahkota Agnia telah Irgi ambil. Bukan karena paksaan, melainkan Agnia sendiri yang meminta. Sadar atau tidak, tapi Agnia seperti baru saja memberi peluang pada Irgi untuk mengikatnya secara batin. "Aahh," desah Agnia nikmat. Bersamaan dengan itu, ia pun langsung terlelap kelelahan tanpa sempat membersihkan diri ke kamar mandi. *** Paginya, matahari datang di ufuk timur. Memberi sinar mentari yang menembus gorden menyilaukan mata. Agnia terbangun dengan posisi dipeluk oleh lengan besar. Hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata adalah, Agnia mendapati wajah tampan yang tentu tidak asing dalam ingatannya. "P-pak dosen?" Bisik Agnia tercekat. Sejenak, ia mengucek matanya karena takut keliru dengan penglihatannya. Akan tetapi, setelah memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Barulah matanya terbelalak horor seakan ia sedang menyaksikan ada kepala dibelah menjadi tiga bagian. Agnia mengintip ke dalam selimut. Rasa syok lantas menyergap ketika ia menemukan tubuhnya yang benar-benar polos tak terhalang sehelai benang pun. "I-ini apa? Kenapa gue bisa terdampar di sini bersama ... Pak dosen," lontarnya penuh tanya. Sekilas, ia meraba kepalanya yang sedikit berdenyut. "Ke-kenapa gue bisa ada di sini? Di atas ranjang, dalam keadaan telanjang bersama Pak dosen Irgi? A-apa yang sebenarnya udah terjadi dan menimpa gue semalem?" Rasanya, Agnia tidak bisa berpikir jernih. Rasanya, baru kemarin Agnia menangis karena dikhianati oleh pacar serta sahabatnya. Rasanya, ini terlalu tabu. Agnia kaget bukan kepalang. Dia sungguh tidak tahu bagaimana hal seserius ini bisa sampai terjadi. "Kamu sudah bangun?" Tiba-tiba, sebuah suara serak khas orang bangun tidur terdengar menyapa. Membuat Agnia menoleh ke sisi kirinya, dan detik itu juga ia beradu pandang dengan dosen tampan yang selama ini mengajarinya ketika di kampus."P-Pak Irgi?" Lontar Agnia tersendat. Merasa sangat kaget karena entah dari mana dosennya ini bisa tahu nomor ponselnya. "Kamu sedang sibuk?" Tanya Irgi kemudian.Agnia gelagapan. Belum tuntas rasa kagetnya, dia justru malah harus diterpa kebingungan dengan pertanyaan dosennya sekarang. Membuat Agnia memutar otak, hingga ia merasa harus bertanya lagi."Me-memangnya ada apa ya, Pak? Dan ... da-dari siapa Bapak tau nomor saya," tukas Agnia tergagap. Bahkan, jantungnya pun ikut bertalu saking terkejutnya ia ditelepon sang dosen. "Sore ini bisa bertemu?" Agnia mendesis. Alih-alih menjawab pertanyaan, dosennya ini malah seenak jidat terus bertanya. Menyebabkan emosi Agnia terpacu, di tengah usahanya menahan diri agar tidak keceplosan berkata kasar pada dosennya ini."Di-dimana, Pak?" Kali ini, Agnia menyerah. Biar saja nanti Agnia tanyakan lagi ketika mereka bertemu."Saya kirim lokasinya," ujar Irgi datar. Dalam sekejap, membuat Agnia menelan ludahnya kesat karena seolah baru sadar ba
Bukannya segera bersiap, Irgi malah merebahkan tubuhnya di atas ranjang di dalam kamar. Padahal, sebelumnya ia ditelepon oleh asisten rektor yang menginfokan bahwa dirinya diminta untuk hadir dalam rapat bulanan para dosen dan staf kampus. Namun, setelah melepas kemejanya dan melemparnya ke dalam ranjang cucian, ia malah berbaring termenung dengan menjadikan satu lengannya sebagai bantal kepala. "Emh ... ahh, enak banget." Tanpa sadar, Irgi membayangkan wajah agresif Agnia saat sedang mendesah keenakan. Perlahan, kejadian tadi malam pun kembali Irgi tarik hingga berkelebatan jelas di benaknya."Ya ... ahh di situ, nikmat sekali." Racauan Agnia ketika sedang melakukan penyatuan semalam, rupanya benar-benar mengganggu kedamaian pikirannya. Menyebabkan Irgi mendesis kesal, karena untuk kedua kalinya, Irgi merasa libidonya naik ke permukaan."Sial! Apa yang sebenarnya terjadi padaku," bisiknya mendecak. Kemudian, ia lekas menarik diri dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri
Agnia menahan diri untuk tidak berlaku kasar pada lelaki di hadapannya. Paling tidak, sampai neneknya undur diri untuk memberi waktu pada cucunya berduaan dengan si lelaki. Walau sebenarnya Agnia merasa tak sudi jika harus berinteraksi lagi dengan Theo, tapi sepertinya ini adalah satu-satunya kesempatan yang Agnia punya sebelum mungkin nanti Agnia akan benar-benar memblokade lelaki itu agar tak lagi masuk ke hidupnya."Ya sudah, kalian kalau mau ngobrol silahkan. Kebetulan nenek mau ke warung dulu buat beli sayuran. Kalau ada yang harus diselesaikan ... selesaikan dengan cara baik-baik. Kalian, kan, sudah sama-sama dewasa juga," tukas Desi memberi nasehat. Walau tidak tahu pasti permasalahan yang menimpa kedua sejoli itu, tapi neneknya ini cukup peka bahwa sang cucu diduga sedang berselisih paham dengan pacarnya itu.Theo mengangguk kikuk. Sempat menyahut sedikit, agak berbasa-basi. Lain hal dengan Agnia, sejak diajak masuk ke dalam oleh neneknya, ia memilih untuk diam di tengah per
Setelah menyelesaikan urusan sarapannya di kafe yang tadi mereka kunjungi, akhirnya Irgi memutuskan untuk mengantarkan Agnia pulang sebelum aktivitas hariannya kembali dimulai.Selama di perjalanan, keduanya memilih diam. Lebih tepatnya, Irgi seolah membatasi Agnia untuk banyak bicara apalagi jika harus membahas soal permintaan Agnia sebelumnya. Setidaknya, sampai Irgi siap kembali membuka topik pembicaraan tersebut."Bapak turunin saya di depan aja," celetuk si wanita memecah sunyi. Sejenak, Irgi menaikkan sebelah alisnya di tengah ia yang melirik ke sumber suara. "Kenapa?" Tanyanya datar.Mendecak pelan, Agnia yang balas melirik pun menjawab, "Ya gak kenapa-kenapa, Pak! Saya cuma gak mau aja kalo sampe nenek saya liat saya diantar sama bapak.""Alasannya?" Irgi menoleh singkat.Sedikit membuat Agnia jengkel, tapi tetap saja ia harus memberi jawaban. "Nenek saya galak," ujarnya bohong. Padahal, Agnia hanya tidak mau jika sampai neneknya banyak bertanya mengenai siapa dan kenapa Agn
PLAK.Satu tamparan telak telah mendarat sempurna di pipi Beni. Agnia menatap marah seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kenapa lo lakuin itu ke gue, Ben?" Beni menunduk. Disaksikan oleh Irgi yang anteng melipat kedua tangannya di dada."JAWAB, BENI!" raung Agnia kesal. Lelaki itu tampak ragu bahkan untuk sekadar menaikkan pandangan. Akan tetapi, Agnia terus mendesak hingga akhirnya Beni terpaksa buka suara."Maafin gue, Nia. Gue khilaf," gumam Beni setia menunduk. Namun, sepertinya Agnia tidak cukup puas dengan jawaban yang Beni layangkan."Saya sudah melaporkan perbuatanmu pada pemilik bar di mana kamu bekerja."Mendengar itu, Agnia yang berniat untuk meluapkan lagi kekesalannya pada Beni pun turut menoleh ke sumber suara."Karena itu merupakan tindakan kejahatan, saya juga akan melaporkan temanmu ini pada pihak berwajib. Itupun, jika kamu mau …." ucap Irgi memberi akses. Tentu saja, hal itu membuat Beni ketakutan hingga tanpa diduga, ia sigap bersimpuh di kaki Agnia. "Jangan
"Jujur aja! Tadi malem bapak apain saya? Kok, bisa-bisanya saya jadi satu ranjang sama bapak dalam keadaan telanjang bulat gini," tukas Agnia resah. Dalam keadaan tubuh dibalut selimut hotel, ia mencoba mengorek informasi dari pria yang saat ini sedang duduk bersandar ke kepala ranjang. Melirik, Irgi yang merasa masih sedikit ngantuk dengan keadaan rambut berantakan lantas menjawab, " Kamu tanya sama saya?"Membulatkan mata, Agnia yang kepalang panik pun lalu kembali terpancing untuk melayangkan sahutan. "Maksud bapak apa? Ya, iyalah! Kalau bukan tanya sama Bapak, terus saya harus tanya sama tembok? Bapak ini ngigau, ya?"Mendengkus, Irgi membalas, "Kamu yang ngigau. Saya cuma ikutin kemauan kamu saja."Lagi, mata Agnia terbelalak seiring dengan mulutnya juga yang ikut ternganga. "Ikutin kemauan saya? Maksud bapak apa?" Irgi mendecak. "Tadi malam, kamu sendiri yang minta saya masukin kamu. Kamu memaksa saya, akhirnya saya melakukan apa yang kamu minta."Mendengar itu, Agnia terper







