LOGIN"Jujur aja! Tadi malem bapak apain saya? Kok, bisa-bisanya saya jadi satu ranjang sama bapak dalam keadaan telanjang bulat gini," tukas Agnia resah.
Dalam keadaan tubuh dibalut selimut hotel, ia mencoba mengorek informasi dari pria yang saat ini sedang duduk bersandar ke kepala ranjang. Melirik, Irgi yang merasa masih sedikit ngantuk dengan keadaan rambut berantakan lantas menjawab, " Kamu tanya sama saya?" Membulatkan mata, Agnia yang kepalang panik pun lalu kembali terpancing untuk melayangkan sahutan. "Maksud bapak apa? Ya, iyalah! Kalau bukan tanya sama Bapak, terus saya harus tanya sama tembok? Bapak ini ngigau, ya?" Mendengkus, Irgi membalas, "Kamu yang ngigau. Saya cuma ikutin kemauan kamu saja." Lagi, mata Agnia terbelalak seiring dengan mulutnya juga yang ikut ternganga. "Ikutin kemauan saya? Maksud bapak apa?" Irgi mendecak. "Tadi malam, kamu sendiri yang minta saya masukin kamu. Kamu memaksa saya, akhirnya saya melakukan apa yang kamu minta." Mendengar itu, Agnia terperangah tak percaya akan apa yang baru saja meluncur dari mulut dosen tampannya ini. Untuk sesaat, Agnia bahkan terlihat berpikir keras seakan-akan ia sedang memaksa otaknya untuk menayangkan kembali rekaman kronologi yang sebenarnya terjadi di malam tadi. "Kamu tidak percaya? Perlu bukti?," ujar Irgi santai. Sekaligus, membuat Agnia melayangkan kembali pandangan gelisahnya di tengah otak yang sedang sangat sulit untuk diajak kerja sama. "Bu-bukti?" Irgi mengangguk."Saya bisa minta orang hotel untuk memberi rekaman CCTV semalam, di beberapa titik yang saya dan kamu lewati. Terutama di lift, dan mungkin di dalam mobil saya pun ada CCTV-nya," lontar Irgi tak gentar. Setelah apa yang terjadi semalam, tentu saja ia tak takut memberi bukti. Toh, dia memang melakukannya karena diminta, bukan atas dasar keinginan Irgi sendiri. "Ta-tapi, video bisa direkayasa! Siapa tahu bapak memang sudah merencanakan ini semua. Makanya bapak terlihat tenang dan siap memberi bukti," cetus Agnia tak mau tersudut. Walau begitu, ia merasa sangat penasaran dengan apa yang sudah terjadi kepadanya sebelum pagi ini datang. "Manfaatnya buat saya apa? Saya bukan orang miskin yang akan memanfaatkan keadaan hanya demi uang. Dan saya jujur dengan fakta yang ada," tukas Irgi tegas. Agnia termangu. Dia sungguh kalut sekarang. Terakhir yang dia ingat adalah, dia masuk ke bar dengan tujuan untuk meluapkan sakit hatinya. "Kenapa diam? Menyesal karena sudah menuduh saya, hm?" Lirik Irgi datar, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang sialnya semakin membuatnya tampan berkali-kali lipat. Namun, secepat kilat Agnia pun menepisnya. "Menyesal? Saya bahkan yakin betul, kalau bapak sudah menyusun rencana dengan sangat rapi, kan? Saya juga yakin, sejak lama, bapak udah mantau saya, kan?" Dituding seperti itu, Irgi pun refleks mendengkus. "Memangnya secantik apa kamu sampai harus saya pantau sejak lama? Kalau pun saya mau, saya bisa saja langsung mendatangimu dan mengajakmu tidur di hotel mana pun. Bukan dengan cara klise dan menyusun rencana murahan seperti ini," tandas Irgi mendecak. Merasa tidak habis pikir pada wanita yang bahkan tadi malam saja merengek sendiri minta dimasuki. "Saya emang gak cantik, tapi saya punya harga diri, Pak!" "Oh ya?" Tatap Irgi mencemooh, sebelah alisnya terangkat sinis. "Bapak ngejek saya?" Pekik Agnia melotot. Irgi menggeleng. "Tidak. Tapi, perkataanmu itu sangat berbanding terbalik dengan perlakuanmu semalam," tukas Irgi menggedikkan bahunya sekilas. "Begini saja, sekarang kamu mandi. Berpakaian. Lalu, kita akan sarapan bersama sambil saya tunjukkan beberapa bukti rekaman CCTV untuk kamu." Agnia menahan dongkol. Sama sekali tidak percaya kalau semalam dirinyalah yang memulai. "Gimana caranya gue yang mulai? Sama Theo aja gue belum pernah ngelakuin, kok, meskipun pacaran udah bertahun-tahun lamanya," bisik Agnia lirih. Pikirannya lantas melanglang buana pada kemungkinan demi kemungkinan yang telah terjadi pada saat dirinya tak sadarkan diri. *** Setelah sama-sama berpakaian lagi, kini, bukti rekaman sudah ada di tangan Irgi. Tanpa harus memakan waktu yang lama, ia bisa dengan mudahnya mendapatkan rekaman CCTV ketika di lift. Bukan hanya itu, tapi, Irgi pun sudah mengantongi rekaman CCTV di dalam mobilnya juga. "Kamu bisa lihat dua rekaman itu dengan cermat. No rekayasa!" Pria itu menyodorkan ponselnya ke tangan Agnia. Mula-mula, Agnia yang merasa deg-degan pun tampak mengambil ponsel tersebut dan mulai memutar rekaman CCTV ketika berada di dalam lift. Terlihat dari layar yang tertangkap kamera CCTV, Agnia memang mencium Irgi duluan yang mana awalnya Irgi sedang diam menunggu liftnya terbuka. Meski tanpa suara, tapi Agnia benar-benar disuguhi pandangan mencengangkan yang membuat wajahnya memanas detik itu juga. "I-ini gak mungkin," bisik Agnia tak percaya. "Kamu bisa slide video satunya lagi. Di sana, ada yang lebih jelas dan ber-su-a-ra ...." Irgi sampai harus mengeja kata terakhir yang diucapkannya, supaya Agnia sadar bahwa semalam dia sangat brutal sekali menyosor pada Irgi. "Ahh, bibir lo lembut banget kayak permen jelly." Suara Agnia terdengar jelas dalam video kedua yang ia tonton. Di sana, Agnia juga melihat dengan sangat nyata betapa ia begitu rakusnya melumat bibir Irgi. Bahkan, Agnia juga mengarahkan tangan Irgi agar menyentuh bagian basah di bawah tubuhnya. "Enggak!" Jerit Agnia syok. Ponsel yang semula ia pegang pun kini sudah jatuh menghantam lantai. "Ada apa?" Tanya Irgi datar. Dia tidak peduli walau ponselnya sudah mati karena mendarat di lantai dengan cukup kencang. Agnia menggeleng. Wajahnya semakin terasa panas setelah menyaksikan kebrutalannya semalam. "Itu pasti editan, kan? Bapak sengaja kan, mengedit saya sampe sebrutal itu? Jaman sekarang udah canggih. Saya yakin itu cuma rekayasa video saja, kan?" Irgi sampai harus memutar bola matanya lelah tatkala si wanita masih saja meragukan keaslian rekaman yang sudah ditontonnya tadi. "Apa perlu saya telpon ahli IT?" Tawar Irgi dalam ketenangannya. "Buat apa?" "Supaya kamu berhenti menuduh saya. Sudah jelas itu rekaman nyata tanpa editing. Masih saja kamu tidak percaya," ujarnya datar. Agnia bergeming. Ia menggigit bibir bawahnya di tengah kekalutan yang mendera. "Persis seperti itu kamu semalam," celetuk Irgi menunjuk. Mendongak, Agnia yang tak mengerti pun lantas bertanya, "Maksud bapak?" "Ya itu, kamu gigit bibir bawahmu seperti itu saat kamu tidak kuasa menahan diri. Dan …," Irgi mencondongkan tubuhnya ke hadapan Agnia, lalu berbisik pelan. “Saat menggoda saya.” Lagi, Agnia dibuat melotot oleh pernyataan sang dosen yang kembali mengingatkan. "Enggak. Bapak bohong, kan?" "Terserah. Saya capek," pungkas Irgi tak mau lagi berdebat. Kemudian, ia merunduk guna mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai. *** Setelah sempat mendapat keterangan lebih rinci dari resepsionis hotel dan room servis yang ikut menjadi saksi, Agnia pun akhirnya menyadari kesalahan yang dibuatnya semalam. Iya! Dia mengaku sekarang. "Kenapa saya bisa begitu, Pak?" Cicit si wanita yang sudah tidak punya muka lagi karena merasa sangat malu. Irgi mengangkat bahunya seraya menjawab, "Saya tidak tahu. Tapi saya bisa memberi kamu clue." "Maksud bapak?" Tatap Agnia bingung. "Mungkin, temanmu yang bartender bisa bantu menjelaskan perihal apa yang membuatmu sebrutal itu. Kalau mau, saya bisa antar kamu untuk mendatanginya," ungkap Irgi menawarkan diri. Meski masih sangat bingung dengan maksud sang dosen, tetapi rupanya Agnia bersedia saja diantar Irgi menemui teman lelakinya yang bernama Beni.EMERGENCY!!Tiba-tiba, alarm tanda bahaya seketika muncul dari dalam benak Agnia tatkala menyadari bahwa sekarang dirinya sedang dikelabui oleh pemuda desa yang sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke alamat tertuju. Padahal, Agnia sudah meyakinkan diri jika ia tidak akan sampai dibawa kemana-mana oleh pemuda desa ini selain ke rumah mendiang neneknya Irgi. Akan tetapi, disinilah Agnia sekarang. Di antara semak belukar yang wanita ini sendiri langsung menyadari bahwa dirinya sedang dalam bahaya. “Heh, Bang … sebenernya lo mau bawa gue kemana, sih? Perasaan tadi pas berangkat dari rumah menuju pasar malam, gue gak ada ngelewat semak-semak kayak gini,” lontar Agnia yang berjalan di depan si pemuda. Mulai melayangkan protes sebelum perjalanan semakin ngaco apalagi jika sampai menjauhi peradaban.“Ini jalan yang bener kok, Neng. Mungkin, Neng geulis lupa lagi kalo tadi sempat juga lewat ke sini,” sahut pemuda itu beralasan. Membuat Agnia sontak berhenti dari gerak langkahny
“Cemburu?” Irgi membeo. Merasa tak percaya dengan asumsi pria paruh baya di hadapannya itu. Mengingat Agnia yang selalu menolak setiap kali Irgi memintanya untuk berada di sampingnya, maka tentu saja Irgi tak akan semudah itu untuk sependapat dengan ayah dari sahabatnya ini. “Kalau bukan cemburu, lantas apa lagi sebutannya? Kalian menikah sudah berapa lama memangnya? Kok, kayaknya kamu masih belum bisa peka sama cara ngambek istrimu,” celetuk Kosim bertanya-tanya.Dalam sekejap, cukup berhasil membuat Irgi didera gugup walau tak terlalu gamblang ia menunjukkan. “Bukan begitu, Pak Kosim. Hanya saja, sebelumnya saya sudah memberitahu Agnia bahwa Hanifah adalah adik dari sahabat saya. Lagipula, kami juga ngobrol seperti pada umumnya orang berbincang santai. Tidak ada gelagat yang mencurigakan yang sampai harus membuat siapapun mengira jika di antara kami ada sesuatu yang dianggap hubungan istimewa,” tutur Irgi menguraikan. Akan tetapi, justru membuat Kosim refleks terkekeh dan menepu
“Punten, Kang,” celetuk sebuah suara menginterupsi. Dalam sekejap, Irgi pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perempuan berjilbab hitam tengah meringis canggung padanya. Mengernyitkan dahinya spontan, Irgi yang semula sedang asyik berbincang dengan Hanifah pun kini sudah mengalihkan perhatiannya penuh terhadap si perempuan berjilbab tersebut. “Ada apa ya?” tanya pria itu menatap bingung.“Sebelumnya saya minta ya, Kang. Tapi, perempuan tadi yang Akang suruh buat pilih-pilih pakaian di stand saya, itu istrinya apa adiknya ya? Ah … pokoknya, siapapun itu, dia tadi mutusin untuk gak jadi beli bajunya. Justru, saya malah disuruh tanya Akangnya saja kata si tetehnya tadi. Makanya saya kesini karena buat mastiin aja kalau-kalau Akangnya mau jadi beli atau enggak,” urai si pelayan stand memberanikan diri untuk meminta kejelasan. Pasalnya, sebagai seorang pelayan yang sudah dipercaya oleh pemilik stand-nya untuk menangani konsumen yang masuk ke stand, perempuan ini dianjurkan u
“Udah ya, Pak. Kalo sekiranya udah gak sanggup buat lanjut cerita, Bapak gak usah maksain lagi. Paling nggak, saya sudah bisa menangkap garis besarnya, kok, walaupun Bapak gak ceritain seluruhnya…” ucap Agnia tak ingin memaksa.Dia cukup peka saat ini. Apalagi setelah melihat Irgi yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meluapkan amarahnya di depan Agnia, membuat sang wanita lantas mengulurkan tangannya impulsif guna memberi usapan lembut di pundak dosennya. “Saya turut prihatin ya, Pak. Minimal, sekarang saya jadi tau penyebab Bapak selalu bersikap dingin selama di lingkungan kampus. Karena emang Bapak sengaja jadiin watak dingin itu sebagai tameng dari rasa sakit hati Bapak itu, kan?” lontar Agnia menebak. Tidak peduli jika pun ia salah dengan tebakannya. Yang jelas, kini Agnia sudah sedikit lebih paham dengan kesakitan Irgi di masa lalu bahkan hingga hari ini. Irgi masih bergeming. Namun, perlahan ia pun menaikkan pandangannya. Beradu tatap dengan sang wanita, yang kini seda
“Ru-Rumah Bapak?” beo Agnia tersendat. Menyudahi aksi bersandarnya, Irgi kini sudah kembali duduk tegak seraya mengangguk dan menatap sang wanita serius. “Ya. Menjadi tempat saya pulang ketika letih. Rumah yang benar-benar nyaman, dan tidak seorang pun boleh menempati rumah itu kecuali saya seorang,” tandas Irgi posesif. Untuk sesaat, berhasil telak membuat Agnia tercenung kaget di tengah Irgi yang sigap bangkit dari duduknya dan menggeser meja kayu di hadapannya agak menjauh. Dilanjut dengan ia yang mengambil posisi berlutut, tepat di depan Agnia yang masih duduk di kursi. “Jadilah rumah saya, Agnia. Bukan untuk sementara, melainkan sampai saya meregang nyawa pada suatu hari nanti…” pinta sang pria sangat serius. Menyorotkan pandangan penuh permohonannya pada Agnia seolah ia sedang melamar si wanita secara tidak langsung. Agnia termangu. Kini, pria itu tidak hanya meminta dirinya menjadi miliknya. Tetapi bahkan lebih-lebih dari hanya sekadar memiliki. “Saya tahu ini seperti sed
“Biasanya, doa anak kecil yang masih polos seperti mereka cenderung cepat dikabulkan sama Tuhan. Makanya, saya bantu aminkan saja dulu. Perihal sisanya, biar Tuhan saja yang mengatur,” celetuk Irgi melirik ke sebelahnya. Dilanjut dengan menunjukkan ekspresi jahil yang tentu saja membuat Agnia mendelik seraya berkata, “Apaan sih, Pak! Bapak ngebet banget punya anak kayaknya. Sama istri sendiri emang gak pernah usaha bikin? Kok, ngodenya malah sama saya mulu perasaan. Ajakin istrinya aja sana, Pak, kalo udah gak tahan pengen keturunan.” Entah Agnia yang keterlaluan dalam menyahut, atau memang si prianya saja yang sedang berhati sensitif. Mendengar lontaran kalimat si wanita barusan, Irgi pun mendadak murung di tengah kepala yang menunduk lunglai. Melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang pria, sontak membuat Agnia menjadi peka hingga ia langsung didera perasaan menyesal tatkala mendapati Irgi yang tahu-tahu sudah melenggang sendiri tak mengajak si wanita. “Loh, Pak!” Agn







