ログイン
"Nuri, lo tidur, ya?"
Ucapan Agnia tidak terjawab. Dia baru saja memasuki apartemen Nuri yang tampak sepi. Sebelumnya, dia sudah menghubungi sahabatnya itu yang tak hadir di kampus hari ini karena sakit. Karena khawatir, Agnia pun mendatanginya langsung. "Nuri …." panggilnya lagi berulang. Sampai ketika ayunan langkahnya mendekat ke arah pintu kamar yang digantungi ukiran pahat bertuliskan ^MySweetRoom^, Agnia pun seperti menangkap suara bising berupa desahan yang menggelikan indra pendengarannya. "Nuri lagi apa, sih? Apa jangan-jangan, dia tidur terus mimpi buruk lagi," gumam Agnia menaikkan alis. Tidak mau terjadi apa-apa pada sahabatnya, secepat kilat gadis itu pun bergegas mendorong pintu yang tak dikunci. Namun, pada saat pintu berhasil dibuka, tubuh Agnia pun membeku untuk beberapa saat. Matanya menatap lurus ke arah ranjang di mana dua insan manusia yang sangat ia kenal sedang bergumul saling menindih tanpa mengenakan sehelai busana. "Ni-nia," seru sebuah suara tercekat. Kedua manusia di atas ranjang sana terlihat sama syoknya tatkala mendapati Agnia yang sedang berdiri mematung di ambang pintu. Mata Agnia memanas. Jantungnya pun berpacu cepat seiring dengan melihatnya ia pada sosok lelaki yang baru saja beranjak dari atas tubuh Nuri, dan berjalan ke arahnya. "Sa-sayang," gumam lelaki itu berniat menyentuh lengan Agnia. Untungnya dengan gesit, Agnia berjalan mundur, seolah jijik apabila tangan itu sampai menyentuhnya. "Nia, gue bisa jelasin," lontar Nuri ikut bangun. Melihat pemandangan menjijikan seperti barusan, tentu saja Agnia tersenyum kecut. "Jadi kegiatan itu yang bikin lo sakit sampe gak bisa ngampus?" ucap Agnia serak. "Pantes, sakitnya di area selangkangan, ya? Pasti jadi gak bisa jalan," senyum Agnia jijik. Kedua buah pipinya bahkan sudah basah sejak pertama kali ia melihat Theo beranjak dari atas tubuh Nuri. "Sa-sayang, aku—" "GAK USAH PANGGIL GUE SAYANG!" Jari telunjuk Agnia mengacung tegas di depan wajah Theo yang penuh peluh. Demi Tuhan! Hati Agnia sakit melihat ini. Maka dari itu, ia tidak mau berlama-lama lagi berdiam diri di dalam unit tersebut. Tidak peduli pada suara Nuri yang memanggil dan usaha Theo yang mengejarnya, Agnia terus berlari meninggalkan unit apartemen sahabat biadabnya. "Gue pikir kita beneran sahabatan, Ri," bisik Agnia parau. Setelah ini, Agnia tidak yakin kalau dia akan mampu melihat Nuri dengan pandangan biasa saja. *** Sakit di area tubuh, larinya ke rumah sakit. Tapi, jika sakit itu di area hati, maka bar adalah satu-satunya tempat untuk Agnia meluapkan kesakitannya. "Yang sabar, ya, gue tahu hati lo pasti ancur banget sekarang. Tapi mau gimana lagi? Emang dasar cowoknya aja yang tolol!" ungkap Beni mengumpat. Kebetulan, dia adalah teman sekampus Agnia yang bekerja sebagai bartender. "Bukan cuma cowoknya, ceweknya juga sama begonya gak, sih? Udah tau dia cowok sahabatnya, masih aja mau diajak enak-enak!" Sambar Agnia geram. Di tengah kemarahan yang mencuat, ia sampai nekat menenggak minuman beralkohol sebagai tanda bahwa dia benar-benar sedang sakit hati. "Iya, sih. Gak nyangka juga gue, si Nuri sampe segitunya. Padahal, gue perhatiin dari lama, kalian tuh udah kayak besti sedekat nadi gitu, loh. Tapi, nyatanya malah nusuk. Udah gak waras tuh anak," lontar Beni mengompori. Agnia diam. Sakit hatinya tidak tertahan. Menyaksikan pacar yang sudah menjalin hubungan dengannya sejak SMA bersenggama dengan sahabatnya sendiri, itu benar-benar di luar prediksi sekali. Maka, wajar saja kan jika sekarang Agnia melampiaskannya dengan cara begini? "Saran gue, lo stay di sini dulu aja ya, Nia. Kebetulan, gue ada ruangan khusus kalo lo mau nenangin diri, dan menghindar dari kebisingan. Sebentar lagi, bakal ada DJ. Gue yakin, lo pasti gak akan suka sama bunyi berisiknya. Makanya, gue siap kasih ruang kalo kalo lo mau nenangin diri tanpa harus buru-buru pulang," urai Beni menawari. Sejenak, Agnia menatap ke arah Beni. "Gue di sini aja. Justru, gue butuh yang berisik biar bisa ngeredam bunyi bising di kepala gue. Tapi, makasih tawarannya. Untung aja ada lo, Ben. Jadi, paling enggak gue punya temen cerita yang bisa sedikit ringanin kesakitan gue sehabis dikhianatin pacar sama sahabat gue sendiri," tutur Agnia mendesah pelan. Lagi, ia menenggak minuman dari gelasnya hingga kosong. "Its oke. Gue akan selalu ada saat lo butuh," sahut Beni tersenyum penuh misteri. Agnia mengangguk. Kembali menurunkan gelas kosongnya ke atas meja, sekaligus meminta Beni untuk mengisi lagi dengan cairan yang sama. Tanpa Agnia sadari, Beni mencelupkan sesuatu ke dalam gelas yang sudah diisi dengan cairan serupa. Sejenak, Beni menyunggingkan senyuman miringnya, sembari menunggu detik-detik Agnia meminum lagi cairan alkohol tersebut. "Gue layanin pengunjung lain dulu, ya, Ni. Lo diem diem aja di sini. Jangan kemana-mana, sebentar lagi bar bakalan mulai membludak sama orang-orang. Jadi, lo gak usah pindah tempat. Tunggu gue kembali!" Seru Beni mewanti-wanti. Mengangguk, Agnia pun meminum cairan dalam gelasnya sampai tak bersisa. Membuat Beni tersenyum puas dari kejauhan, di tengah rasa tak sabarnya menanti reaksi yang akan ia dapati dari Agnia tak lama lagi. Selagi Beni sibuk melayani pengunjung lain, Agnia mulai diterpa pusing. Padahal, sebelumnya ia masih merasa baik-baik saja. Namun, setelah menghabiskan minuman yang terakhir barusan, pandangannya mulai berkunang-kunang. Ditambah dengan perasaan gelisah yang membuat tubuhnya tak enak diam. "Ishh, kok jadi gerah, ya?" Gadis itu bergumam di tengah kepala yang mulai terasa berat. Sejenak, ia mengipasi lehernya yang memerah menggunakan tangannya silih berganti. Bersamaan itu, seseorang datang menepuk pundaknya. Mengharuskan Agnia menoleh dan pandangannya semakin tak jelas di tengah rasa panas yang menjalari tubuh."P-Pak Irgi?" Lontar Agnia tersendat. Merasa sangat kaget karena entah dari mana dosennya ini bisa tahu nomor ponselnya. "Kamu sedang sibuk?" Tanya Irgi kemudian.Agnia gelagapan. Belum tuntas rasa kagetnya, dia justru malah harus diterpa kebingungan dengan pertanyaan dosennya sekarang. Membuat Agnia memutar otak, hingga ia merasa harus bertanya lagi."Me-memangnya ada apa ya, Pak? Dan ... da-dari siapa Bapak tau nomor saya," tukas Agnia tergagap. Bahkan, jantungnya pun ikut bertalu saking terkejutnya ia ditelepon sang dosen. "Sore ini bisa bertemu?" Agnia mendesis. Alih-alih menjawab pertanyaan, dosennya ini malah seenak jidat terus bertanya. Menyebabkan emosi Agnia terpacu, di tengah usahanya menahan diri agar tidak keceplosan berkata kasar pada dosennya ini."Di-dimana, Pak?" Kali ini, Agnia menyerah. Biar saja nanti Agnia tanyakan lagi ketika mereka bertemu."Saya kirim lokasinya," ujar Irgi datar. Dalam sekejap, membuat Agnia menelan ludahnya kesat karena seolah baru sadar ba
Bukannya segera bersiap, Irgi malah merebahkan tubuhnya di atas ranjang di dalam kamar. Padahal, sebelumnya ia ditelepon oleh asisten rektor yang menginfokan bahwa dirinya diminta untuk hadir dalam rapat bulanan para dosen dan staf kampus. Namun, setelah melepas kemejanya dan melemparnya ke dalam ranjang cucian, ia malah berbaring termenung dengan menjadikan satu lengannya sebagai bantal kepala. "Emh ... ahh, enak banget." Tanpa sadar, Irgi membayangkan wajah agresif Agnia saat sedang mendesah keenakan. Perlahan, kejadian tadi malam pun kembali Irgi tarik hingga berkelebatan jelas di benaknya."Ya ... ahh di situ, nikmat sekali." Racauan Agnia ketika sedang melakukan penyatuan semalam, rupanya benar-benar mengganggu kedamaian pikirannya. Menyebabkan Irgi mendesis kesal, karena untuk kedua kalinya, Irgi merasa libidonya naik ke permukaan."Sial! Apa yang sebenarnya terjadi padaku," bisiknya mendecak. Kemudian, ia lekas menarik diri dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri
Agnia menahan diri untuk tidak berlaku kasar pada lelaki di hadapannya. Paling tidak, sampai neneknya undur diri untuk memberi waktu pada cucunya berduaan dengan si lelaki. Walau sebenarnya Agnia merasa tak sudi jika harus berinteraksi lagi dengan Theo, tapi sepertinya ini adalah satu-satunya kesempatan yang Agnia punya sebelum mungkin nanti Agnia akan benar-benar memblokade lelaki itu agar tak lagi masuk ke hidupnya."Ya sudah, kalian kalau mau ngobrol silahkan. Kebetulan nenek mau ke warung dulu buat beli sayuran. Kalau ada yang harus diselesaikan ... selesaikan dengan cara baik-baik. Kalian, kan, sudah sama-sama dewasa juga," tukas Desi memberi nasehat. Walau tidak tahu pasti permasalahan yang menimpa kedua sejoli itu, tapi neneknya ini cukup peka bahwa sang cucu diduga sedang berselisih paham dengan pacarnya itu.Theo mengangguk kikuk. Sempat menyahut sedikit, agak berbasa-basi. Lain hal dengan Agnia, sejak diajak masuk ke dalam oleh neneknya, ia memilih untuk diam di tengah per
Setelah menyelesaikan urusan sarapannya di kafe yang tadi mereka kunjungi, akhirnya Irgi memutuskan untuk mengantarkan Agnia pulang sebelum aktivitas hariannya kembali dimulai.Selama di perjalanan, keduanya memilih diam. Lebih tepatnya, Irgi seolah membatasi Agnia untuk banyak bicara apalagi jika harus membahas soal permintaan Agnia sebelumnya. Setidaknya, sampai Irgi siap kembali membuka topik pembicaraan tersebut."Bapak turunin saya di depan aja," celetuk si wanita memecah sunyi. Sejenak, Irgi menaikkan sebelah alisnya di tengah ia yang melirik ke sumber suara. "Kenapa?" Tanyanya datar.Mendecak pelan, Agnia yang balas melirik pun menjawab, "Ya gak kenapa-kenapa, Pak! Saya cuma gak mau aja kalo sampe nenek saya liat saya diantar sama bapak.""Alasannya?" Irgi menoleh singkat.Sedikit membuat Agnia jengkel, tapi tetap saja ia harus memberi jawaban. "Nenek saya galak," ujarnya bohong. Padahal, Agnia hanya tidak mau jika sampai neneknya banyak bertanya mengenai siapa dan kenapa Agn
PLAK.Satu tamparan telak telah mendarat sempurna di pipi Beni. Agnia menatap marah seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kenapa lo lakuin itu ke gue, Ben?" Beni menunduk. Disaksikan oleh Irgi yang anteng melipat kedua tangannya di dada."JAWAB, BENI!" raung Agnia kesal. Lelaki itu tampak ragu bahkan untuk sekadar menaikkan pandangan. Akan tetapi, Agnia terus mendesak hingga akhirnya Beni terpaksa buka suara."Maafin gue, Nia. Gue khilaf," gumam Beni setia menunduk. Namun, sepertinya Agnia tidak cukup puas dengan jawaban yang Beni layangkan."Saya sudah melaporkan perbuatanmu pada pemilik bar di mana kamu bekerja."Mendengar itu, Agnia yang berniat untuk meluapkan lagi kekesalannya pada Beni pun turut menoleh ke sumber suara."Karena itu merupakan tindakan kejahatan, saya juga akan melaporkan temanmu ini pada pihak berwajib. Itupun, jika kamu mau …." ucap Irgi memberi akses. Tentu saja, hal itu membuat Beni ketakutan hingga tanpa diduga, ia sigap bersimpuh di kaki Agnia. "Jangan
"Jujur aja! Tadi malem bapak apain saya? Kok, bisa-bisanya saya jadi satu ranjang sama bapak dalam keadaan telanjang bulat gini," tukas Agnia resah. Dalam keadaan tubuh dibalut selimut hotel, ia mencoba mengorek informasi dari pria yang saat ini sedang duduk bersandar ke kepala ranjang. Melirik, Irgi yang merasa masih sedikit ngantuk dengan keadaan rambut berantakan lantas menjawab, " Kamu tanya sama saya?"Membulatkan mata, Agnia yang kepalang panik pun lalu kembali terpancing untuk melayangkan sahutan. "Maksud bapak apa? Ya, iyalah! Kalau bukan tanya sama Bapak, terus saya harus tanya sama tembok? Bapak ini ngigau, ya?"Mendengkus, Irgi membalas, "Kamu yang ngigau. Saya cuma ikutin kemauan kamu saja."Lagi, mata Agnia terbelalak seiring dengan mulutnya juga yang ikut ternganga. "Ikutin kemauan saya? Maksud bapak apa?" Irgi mendecak. "Tadi malam, kamu sendiri yang minta saya masukin kamu. Kamu memaksa saya, akhirnya saya melakukan apa yang kamu minta."Mendengar itu, Agnia terper







