Laura baru saja tiba di kamar kost-annya yang sederhana. Hembusan angin malam yang masuk dari celah jendela membuat suasana terasa sepi dan hening.Ia melepaskan tas selempangnya dan duduk di tepi tempat tidur. Tangannya dengan gerakan pelan membuka laci kecil pada nakas di samping ranjang. Di dalamnya tersimpan sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah tua.Perlahan, Laura membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah cincin pernikahan yang selama ini ia simpan. Ia menatap cincin emas itu dengan tatapan kosong, memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jarinya.“Kenapa dia masih memakai cincin pernikahan ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian kamar.Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadanya, namun pikirannya tetap terikat pada bayangan Smith. “Apa yang membuatmu tidak melepas cincin itu? Seharusnya kau bahagia karena aku pergi, kan?” ucapnya dengan nada lirih, hampir seperti berbicara kepada cincin itu.Laura mendesah pelan, lalu dengan
“Oh, ya?” Laura akhirnya membuka suara, menghela napas kasar. “Berarti benar, apa yang dikatakan oleh Rafael.”Diana mengerutkan dahi, penasaran. “Dia mengatakan hal yang sama?” tanyanya hati-hati.Laura mengangguk pelan, tatapannya masih kosong menatap ke luar jendela. “Ya. Dia mengatakan hal yang sama. Jika sudah dua orang yang mengatakan hal itu, berarti memang benar.”Diana menatap Laura dengan sedikit rasa bersalah, tetapi ia tahu hal ini perlu dibicarakan. “Ya. Memang benar. Kondisi Smith memang sedang tidak karuan setelah kau pergi,” ucapnya, berusaha menegaskan tanpa menambah beban di hati sahabatnya itu.Laura menoleh perlahan ke arah Diana, matanya yang biasanya memancarkan ketegasan kini tampak lelah. “Bukankah seharusnya dia bebas menjalin hubungan dengan Stella? Aku sudah menyerah, maka dia bisa menikah dengan wanita itu.”Diana menyunggingkan senyum tipis, nyaris tak terlihat. “Itu menurutmu. Buktinya, hingga kini dia tidak mengumumkan pernikahannya meskipun semua orang
Laura tertawa kecil mendengar ucapan Diana, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas kasar.Di meja kecil di antara mereka, terdapat kantong belanja yang penuh dengan camilan, hadiah kecil dari Diana untuk menghibur sahabatnya.“Tidak mungkin, Diana. Smith terlihat kacau karena dimarahi oleh ayahnya, bukan karena ditinggal olehku,” ucap Laura dengan nada datar, meski di sudut hatinya, ia merasakan sedikit keraguan.Diana menatap Laura, mencoba membaca ekspresi wajah sahabatnya itu, namun Laura tetap menjaga sikap tenangnya.“Aku pernah melihat Tuan Vincent memarahi Smith saat aku diculik oleh Andy. Dan wajahnya memerah karena menahan amarah. Begitu pula dengan saat ini,” lanjut Laura sambil mengingat kejadian di rumah sakit, saat Vincent nyaris kehilangan kesabarannya terhadap Smith.Diana menghela napas panjang. Ia tahu Laura sedang berusaha keras menyangkal sesuatu yang mungkin ia sendiri belum yakin benar atau tidak. “Baiklah. Kau memang keras kepala dan tidak
"Usia kandunganmu sudah memasuki dua belas minggu, atau tiga bulan. Bayinya sangat sehat, dan bukan hanya satu—kau mengandung bayi kembar, Nyonya Laura."Laura mengerjap-ngerjapkan matanya, seolah kata-kata itu berbisik pelan namun berdentam di pikirannya."Ke—kembar?" bisiknya, suaranya terhenti di tenggorokan seperti sehelai daun yang terperangkap angin.Pikiran Laura melayang pada Smith dan Louis, saudara kembar yang pernah membuatnya merasa begitu kecil di tengah dunia yang terasa begitu luas.Ia tidak menyangka, kini rahimnya menjadi rumah bagi dua jiwa kecil yang bercahaya. Gen Smith terlalu kuat—pikirnya sambil menelan ludah dengan perasaan campur aduk antara kagum dan khawatir."Begitu rupanya," gumamnya akhirnya, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. "Aku akan memiliki dua anak sekaligus." Ucapannya nyaris seperti mantra yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri, meski hatinya meringis halus seperti petir yang berdesir di kejauhan."Ya. Ini adalah anugerah yang sangat inda
"Louis?" Mata Laura melebar seperti malam yang tiba-tiba diterangi kilat. Tubuhnya terdorong oleh kejutan, hingga ia beranjak dari duduknya, menatap Louis yang kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Louis." Suara Louis terdengar serak, namun ada nada lega yang bergemuruh di dalamnya."Laura, kami mencarimu ke mana-mana. Jauh sekali kaburnya," lanjutnya, matanya mengerjap, seolah ia masih ragu dengan kenyataan yang sedang ia lihat.Laura tersenyum canggung, tangannya tanpa sadar terangkat untuk menggaruk kepalanya, gerakan kecil yang mengkhianati rasa gelisah di dadanya."Ya. Kabur dari kalian tentu saja harus jauh dan tidak dapat ditemukan," katanya pelan, suaranya seperti angin sepoi yang membawa kepedihan tersembunyi. "Sayangnya, malah ditemukan."Mata Louis membesar lagi, kali ini bukan karena kejutan sederhana. Pandangannya turun ke perut Laura yang sedikit membuncit, dan jemarinya terangkat, menunjuk tanpa kata, seolah berusaha memastikan apa yang dilihatnya benar adanya."Laura, k
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Langit Moza Hotel’s berkilauan dengan semburat lampu-lampu kota, seperti berlian yang tercecer di atas beludru malam.Laura baru saja selesai bekerja, tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya terus berputar, menyusun langkah demi langkah untuk menghadapi pertemuan ini.Dengan gerakan anggun yang terlatih, ia merapikan rambutnya, cermin di depannya memantulkan sosok yang tegar meski menyimpan badai di dalam dada.Di restoran hotel, Louis menunggunya dengan kesabaran yang terlihat rapuh, seperti benang yang hampir putus.Laura akhirnya duduk di depan Louis. Wajahnya tenang, namun matanya menyiratkan emosi yang berlapis, seperti lukisan yang penuh misteri.“Aku pikir kau sudah pulang,” ucapnya, suaranya lembut, tetapi ada serpihan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.“Bagaimana mungkin aku pulang, sementara aku masih penasaran tiba-tiba kau pergi dan membuat semua orang bingung,” jawab Louis, suaranya rendah tetapi tegas, seperti angin malam yang
Di sudut muram sebuah bar yang remang-remang, milik Kevin, sahabat lamanya, Smith terkapar seperti kapal karam di lautan sunyi.Kepalanya bersandar berat di atas meja kayu yang penuh dengan goresan waktu, sementara botol-botol kosong berdiri seperti nisan keputusasaan di hadapannya.Aroma alkohol bercampur asap rokok melingkupi ruangan, membungkus segala luka tak terlihat."Di mana kau, Laura?" desah Smith, suaranya pecah seperti gelas yang dilempar ke lantai. "Sudah dua bulan kau pergi meninggalkanku." Ucapannya mengalun, tenggelam dalam nada-nada mabuk yang menyayat telinga.Kevin menghela napas panjang, nadanya lebih letih daripada marah. "Jika sudah dua bulan berlalu, itu artinya istrimu tak ingin kembali padamu, Smith." Ucapannya terdengar seperti kapak yang menghantam pohon rapuh, santai tapi penuh kepastian.Smith mendongak perlahan, matanya kabur seperti kaca berembun. "Shut up, Kevin. Dia hanya sedang ingin mempermainkanku," gumamnya, tatapan sayu menusuk wajah Kevin.Kevin t
Smith membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seperti pintu tua yang engselnya berkarat.Cahaya redup dari jendela menyelinap masuk, menciptakan bayangan-bayangan samar di kamar yang sunyi.Ia menyandarkan punggungnya pada dashboard tempat tidur, membiarkan kesadarannya bangkit perlahan dari kabut tidur. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang dingin, sebuah pemberitahuan mencuri perhatiannya.Pesan dari Stella. Kalimat sederhana yang mengajaknya bertemu, dibumbui dengan kata-kata rindu yang terasa kosong dan hampa.Smith memijat batang hidungnya dengan jari-jari yang gemetar, seolah ingin menghapus bayangan Stella dari pikirannya. Ia menghela napas panjang, seperti mengusir beban yang menekan dadanya.“Kevin benar,” gumamnya, suaranya nyaris tak lebih dari bisikan yang tenggelam di udara. “Aku tidak perlu memikirkan Stella lagi. Karena milikku yang sebenarnya adalah Laura.”Ia mengabaikan pesan itu, membiarkan layar ponselnya kembali padam seperti lilin yang kehabisa
Diana tidak akan memungkiri perasaannya kepada Louis meskipun dia belum bisa mengatakan bahwa itu adalah perasaan cinta.Namun, rasa nyaman dan lepas yang dirasakannya bagi Diana sudah cukup membuatnya yakin kalau Louis adalah orangnya. Tapi lagi-lagi bayangan ketika dirinya menangis tersedu-sedu setelah mengetahui bahwa lelaki yang dia cintai, lelaki yang juga sering mengatakan cinta padanya malah berkhianat terlintas di pikiran.Diana sangat benci perasaan itu tapi dia juga sulit sekali menghilangkannya karena sudah membentuk trauma. Dan itu semua adalah tugas Louis, Louis harus menyembuhkan Diana dan membuat gadis itu dapat berdamai dengan traumanya."Diana, kamu tahu aku, kita sudah lama kenal. Ke mana pun aku pergi kamu selalu ikut. Kamu juga tahu perempuan mana saja yang ingin dekat denganku tapi aku menolak mereka, kan? "Kamu harus tahu, Di, penolakan demi penolakan yang kulakukan semata karena aku ingin kamu bisa lihat kalau selama kita bersama, aku bukan lelaki yang mudah t
Diana memejamkan matanya mendengar ucapan Louis yang sungguh di luar dugaan. Gadis itu membeku di tempatnya sekarang tanpa bereaksi apa-apa.Sementara itu, Smith langsung menghampiri Louis dan mempertanyakan keseriusan sang adik atas ucapannya barusan. "Aku serius, Smith. Aku mencintai Diana bahkan sebelum dia jadi asisten pribadiku, aku sudah memiliki rasa suka padanya meskipun, ya ... cinta itu baru benar-benar tumbuh setelah kami sering bersama," ungkap Louis lagi.Diana dapat mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak percaya. Apa yang Louis lakukan terhadapnya selama masa kerja sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Louis ungkapkan barusan."Diana, maafkan aku," ucap Louis.Diana tak menjawab dan malah geleng-geleng kepala. Setelah itu, Diana pergi karena merasa sudah tak sanggup lagi berada di situasi itu."Om, Laura, Smith, aku pulang dulu, ya," pamitnya.Vincent ingin menahan tapi dia paham akan perasaan Diana yang sudah pasti merasa bingung atas sikap Louis yang sangat m
Diana baru selesai menyiapkan jadwal Louis untuk besok ketika dia hendak pulang. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan rasanya badan Diana sangat remuk saking sibuknya hari ini."Ini sudah terlalu malam, kamu pulang ke rumahku saja supaya besok bisa langsung berangkat denganku. Kamu, kan, suka lelet," ujar Louis.Mendengar ejekan Louis padanya, Diana langsung menyipitkan matanya. "Apa maksud kamu bilang begitu? Aku lelet? Hey, sudah hampir satu bulan aku bekerja denganmu dan setiap hari aku pulang jam 6 atau jam 7 malam. "Setiap hari juga, aku sampai jam 8 malam dan baru bisa istirahat setelah jam 10 malam karena kamu selalu menyuruhku banyak hal. Aku capek dan kamu malah bilang aku suka lelet?" Diana memelototi Louis saking kesal."Lah, memang kenyataannya kamu lelet, kamu sering terlambat setengah jam bahkan sampai satu jam. Itu dinamakan lelet, kan?" balas Louis."Iya, tapi seharusnya kamu memahami alasanku sampai lelet begitu, aku kurang istirahat dan seharusnya kamu juga jangan me
Tiga hari kemudian, Laura pulang ke rumah dan disambut dengan suka cita oleh para asisten rumah tangga serta kerabat dekat yang masih berada di sana. Rencananya, mereka akan pulang hari ini karena Laura sudah sehat dan pulang.Suasana rumah Smith sangat ramai di sana mereka melakukan syukuran kecil-kecilan dengan makan bersama di taman belakang yang sudah dihias sedemikian rupa oleh para pekerja.Smith menggendong Daniel sementara Laura menggendong Davide, mereka mengumumkan nama bayi mereka secara resmi bahkan Diana juga ada di sana."Diana, kesibukan kamu sekarang apa?" tanya Vincent pada gadis yang sudah Laura anggap seperti saudaranya sendiri."Aku baru resign dari pekerjaanku sebelumnya, Om. Aku mau cari kerjaan lagi tapi belum sempat persiapan, mungkin bulan depan aku mulai cari lagi," jawab Diana.Vincent mengusap dagunya, menatap Diana lekat lalu beralih menatap Louis yang dia lihat tak hentinya curi-curi pandang pada Diana.Terlintas ide dalam pikiran Vincent, bagaimana kalau
"Smith ... aku berhasil pulang."Suara itu terdengar sangat lirih di telinga Smith, bahkan hampir tak terdengar. Namun, lelaki itu yakin kalau Laura memang berbicara dan itu membuatnya merasa amat sangat lega.Vincent yang sejak tadi menunggu dengan harap cemas juga langsung mengucap syukur, dia menatap Laura yang masih dalam keadaan setengah sadar karena masih berada dalam efek anestesi."Manantuku, menantu kesayanganku ...." isak Vincent."Ayah, aku bertemu sahabatmu," ucap Laura. "Kami hampir pergi bersama.""Oh, Laura, jangan sampai hal itu terjadi. Anak-anakmu membutuhkanmu," sahut Vincent yang paham bahwa sahabat yang dimaksud Laura sudah pasti Ferdy, ayahnya."Ya, dia bilang takdirku yang sesungguhnya memang di sini," kata Laura pelan."Kamu gak nanya sama aku, Sayang? Aku sejak tadi di sini menunggu kamu sadar tapi saat bangun kamu malah ngobrol sama Ayah," ucap Smith membuat Laura tersenyum."Aku selalu bersamamu bahkan ketika kamu meminta do'a pada anak-anak kita," jawab Lau
Operasi telah selesai dilaksanakan tapi kondisi Laura ternyata malah menurun, tekanan darah yang tinggi membuat detak jantungnya justru semakin melemah.Laura dibawa keluar dari ruang operasi menuju ruang pemulihan dengan berbagai alat yang terpasang di tubunya. Smith sama sekali belum melihat anak kembarnya kecuali hanya di ruang operasi tadi. Dia memilih mendampingi Laura dan meminta perawat menjaganya dengan baik di ruang yang terpisah dari ruang bayi lain."Smith, mana Laura dan cucu-cucu ayah?" tanya Vincent.Lelaki itu datang tergopoh-gopoh setelah mendengar kabar bahwa Laura melahirkan cucunya. Vincent bahkan sampai meninggalkan pekerjaan dan rapatnya dengan klien-klien penting."Cucu-cucu Ayah ada di ruang perawatan khusus, sedangkan Laura masih di ruang pemulihan. Dia belum sadarkan diri dan kondisinya menurun," jawab Smith seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.Vincent tercengang mendengar kabar tersebut sebab saat berangkat tadi dia masih berbincang dengan menantunya.
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu