LOGINKanaya membulatkan matanya, ini akan benar-benar menjadi akhir dari perkuliahannya.
Entah apa yang dilakukannya di masa lalu hingga harus menghadapi situasi seperti ini sekarang. Kini, dia hanya bisa menghela napas dan menerima semua ini. Setidaknya jika dia tidak melawan, mungkin hidupnya masih akan berjalan cukup normal.
“Baik, saya akan tutup mulut dan melupakan kejadian itu, karena saya juga tidak ingin kabar ini sampai tersebar dan merugikan perkuliahan saya yang tinggal dua semester lagi.” Kanaya mencoba tetap tenang, meski sekarang pikirannya sudah kemana-kemana.
Cara terbaik untuk mengamankan kuliahnya saat ini dengan mengikuti apa yang diminta pria yang berada di hadapannya ini, jangan sampai kerja kerasnya untuk kuliah sampai di tahap ini sia-sia karena skandal tersebut.
Dia hanya ingin selesai kuliah tepat waktu, bekerja dengan baik dan membahagiakan ibunya.
“Saya juga minta bapak untuk benar-benar menjaga rahasia ini, meskipun saya sudah tutup mulut tidak menutup kemungkinan malah rahasia ini bisa bocor dari pihak bapak.”
Kanaya juga akan menuntut pria tersebut, jika nanti ternyata benar rahasia ini bocor dari pihak Liam. Kanaya tidak ingin dirinya yang dirugikan sendiri nantinya, karena pasti pada akhirnya pihak wanita yang selalu banyak disalahkan oleh semua orang.
Liam tidak menjawab, hanya melempar senyum remeh. Kemudian, dia membetulkan letak kacamatanya.“Tapi kamu harus ingat point terakhir Kanaya, jika rahasia ini bocor dari kamu jangan harap kamu bisa lepas dari saya begitu saja.”
“Lepas? Memang saya burung di dalam sangkar, Pak?” Kanaya menghela napas pasrah.
Liam tidak bersuara, hanya menatap Kanaya dengan tajam.
Merasa tidak nyaman, Kanaya berdehem dan membetulkan posisi duduknya. “Kalau begitu, saya permisi, Pak. Masih ada kelas yang harus saya ikuti”
Namun, baru saja Kanaya berdiri, Liam telah lebih dulu berdiri lalu menahan bahu Kanaya. “Siapa yang mengizinkan kamu pergi?”
Kanaya menahan napasnya. Tatapan Liam kali ini terasa lebih menusuk.
“T–Tapi … saya masih ada kelas lagi, Pak,” lirih Kanaya sedikit terbata.
“Masih ada waktu,” kata Liam singkat. “Masih ada yang perlu saya bahas.”
Kanaya menggerutu pelan, wajahnya sudah tampak kesal dan lelah dengan semua yang terjadi hari ini.
“Ah, apalagi yang harus saya lakukan, Pak? Saya kan sudah setuju untuk diam, saya juga sudah minta maaf soal sikap saya di kelas tadi,” keluh Kanaya tanpa sadar.
Liam menghela napas berat, lalu menjauhkan tangannya dari bahu Kanaya. Sambil berdecak pelan, dia berkata, “Seperti ini kah sikap wanita yang dijodohkan denganku?”
Mendengar itu, Kanaya mengernyitkan dahinya, lalu menatap Liam dengan kebingungan.
“Maksud Bapak apa?” tanya Kanaya penuh kebingungan.
Liam tampak menaikkan satu alisnya melihat respon Kanaya. “Sikapmu itu, buruk sekali.”
Namun, jawaban itu tidak membuat Kanaya puas. Bukan itu yang membuatnya bingung.
“Bukan itu. Tadi … kenapa Bapak bilang wanita yang dijodohkan dengan Bapak?” jelas Kanaya penasaran.
Liam terdiam sejenak. Matanya menelisik jauh ke dalam tatapan Kanaya, hingga akhirnya menyadari satu hal.
“Tidak ada. Sudah, kamu boleh keluar.” Tanpa menunggu jawaban Kanaya, Liam langsung berbalik badan dan kembali ke meja kerjanya.
***
Hari ini, Kanaya pulang ke rumah ibunya dan ayah sambungnya. Sejak masuk kuliah, Kanaya tinggal di asrama kampus dan biasanya hanya pulang saat libur panjang saja. Sudah lama ia tidak merasakan suasana rumah.
Baru saja melangkah masuk melewati pintu, Kanaya mendengar suara percakapan dari ruang tengah. Suara ayah sambungnya, Rio, terdengar keras dan tajam.
“Bodoh sekali kamu! Kenapa tidak setuju saja menjodohkan Kanaya dengan cucu teman Ayahmu itu? Dengan begitu, dia tidak akan menjadi beban tanggungan aku lagi!” bentak Rio tanpa menahan volume suara.
Kanaya tertegun.
‘Dijodohkan?’ gumamnya dalam hati.
Ini pertama kalinya ia mendengar rencana itu.
Suara ibunya terdengar bergetar menahan emosi. “Aku tidak bisa setuju begitu saja. Itu menyangkut masa depan Kanaya. Semua harus seizin dia juga.”
Belum sempat ucapan itu selesai sepenuhnya, suara tamparan keras terdengar memecah ruangan, diikuti isak kecil yang langsung mengoyak hati Kanaya. Tubuhnya membeku, jemarinya mengepal begitu kuat hingga memutih.
Kanaya sama sekali tak menyangka bahwa Rio, yang selama ini terlihat tenang dan biasa saja di hadapannya, bisa memperlakukan ibunya seperti itu. Ternyata selama ini, ia hanya melihat topeng.
“Pakaian, pendidikan, makanan, tempat tinggal, semua itu dari siapa, hah?! Kalau bukan dari aku, dari mana?!” Rio menghardik sambil menarik rambut Tania, ibunya, semakin keras hingga wanita itu meringis menahan sakit.
Suara Tania pecah dalam tangis. “Kenapa kamu menjadi begitu perhitungan? Dulu kamu bilang akan menganggap Kanaya seperti anakmu sendiri…”
Kanaya menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan gemetar yang merambat di seluruh tubuhnya. Hatinya terasa seperti diremas.
‘Apa… sebaiknya aku menerima saja perjodohan itu,’ pikirnya getir.
‘Kalau itu bisa menghentikan ayah memperlakukan Ibu seperti ini. Selama ini… ternyata dia hanya menganggapku beban,’ gumam Kanaya lagi dalam hati.
Selama ini Kanaya selalu berusaha memahami sikap ayah sambungnya yang dingin dan sering mengabaikannya. Ia pikir itu hanya karena mereka belum dekat. Ia percaya setiap orang punya karakter yang berbeda.
Namun kini, ia tahu kebenarannya, yaitu ayah sambungnya tidak pernah menganggapnya sebagai keluarga.
“Ibu,” sapa Kanaya dengan senyum kecil yang dipaksakan, seolah ia tidak mengetahui apa pun yang baru saja terjadi.
Rio menatapnya tajam. “Lebih baik kamu bicarakan tentang yang tadi sekarang.”
Suaranya dingin, sebelum ia berbalik dan berjalan pergi menuju kamar tanpa menunggu jawaban.
Kanaya pura-pura kebingungan, menoleh pada ibunya. “Ada apa, Bu?” tanyanya pelan.
Tania menarik napas panjang, berusaha terlihat tenang meski matanya masih memerah.
“Tidak apa-apa. Kamu sudah makan? Kalau belum, ayo makan dulu,” ajaknya dengan senyum yang dipaksakan.
Kanaya mendekat dan menggenggam kedua tangan ibunya erat. “Aku sudah makan sebelum ke sini, Bu.”
Tania mengangguk pelan. “Kalau begitu… ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan. Kita ngobrol di kamar kamu saja, ya.”
“Tentu. Aku juga merasa ini hal yang penting,” jawab Kanaya, berusaha tetap netral.
Tania tidak menjawab lagi, hanya memegang tangan putrinya dan menuntunnya menuju kamar. Sesampainya di sana, keduanya duduk di tepi tempat tidur. Hening sejenak, hanya suara napas gugup Tania yang terdengar.
“Apa yang ingin Ibu sampaikan?” tanya Kanaya, menatap ibunya dalam-dalam.
Tania perlahan melepas genggaman tangannya, kemudian berdiri dan membuka laci meja. Ia kembali membawa sebuah kotak persegi panjang berwarna gelap.
“Apa ini, Bu?” Kanaya bertanya hati-hati ketika ibunya menyerahkan kotak itu ke tangannya.
“Bukalah.” Suara Tania bergetar, tetapi tegas.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Kanaya membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah foto, dua pria berdiri merangkul satu sama lain, tampak sangat akrab. Bersama foto itu, ada sepasang cincin, sebuah kalung, dan sepucuk surat yang warnanya sudah menguning dimakan waktu.
Kanaya mengalihkan pandangannya ke cincin dan kalung itu sejenak, lalu mengambil surat tersebut dan membukanya perlahan. Ia mulai membaca isi surat itu dengan seksama, sementara Tania menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Ternyata … pria yang akan dijodohkan denganku itu Pak Liam.”
Kanaya membeku di tempat, tubuhnya seolah kehilangan tenaga saat membaca nama lengkap yang tertera dalam surat itu. Yang mampu ia lakukan hanya menatap lembaran putih itu dengan tangan bergetar.
‘Kenapa bisa jadi seperti ini?’
Pagi ini Kanaya bergegas menuju ruang dosen, beberapa saat yang lalu Liam telah mengirimnya pesan untuk segera mengambil formulir surat kepindahannya dari asrama.Begitu sampai di ruang dosen, Kanaya langsung disambut oleh tatapan dingin Liam yang duduk di kursi kerjanya.“Mau ambil formulir pindahan?” tanya Liam tanpa basa-basi.“I…iya pak.” Kanaya mengangguk cepat.Liam langsung berdiri menuju mesin printer dan mengambil kertas yang sudah tercetak sebelumnya disana.Sembari menunggu Liam, Kanaya hanya bisa diam dan memperhatikan punggung pria itu. Hingga tak lama, pria itu telah kembali ke hadapannya.Liam menyerahkan formulirnya kepada Kanaya. ”Tinggal kamu isi setelah selesai kamu berikan kepada pengelola asrama.”Kanaya menerima formulir tersebut dan membacanya sekilas. ”Baik pak, kalau begitu saya permisi sekarang, nanti saya berikan kepada kepala pengelola asrama setelah selesai kelas.”“Kabari jika sudah selesai semuanya, nanti saya jemput kamu di dekat asrama untuk bawa baran
Kanaya terdiam, terasa seperti baru ditampar kata-katanya sendiri.“Tidak … bukan begitu …”Mobil menepi perlahan.“Selesai. Silakan,” gumam Liam datar.Kanaya menghela napas, lalu buru-buru membuka pintu, menunduk dalam. “Terima kasih sudah mengantar. Selamat malam.”Dia melangkah cepat pergi tanpa berani menoleh kembali, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.****Beberapa hari berlalu. Siang itu Kanaya berlari tergesa menembus kerumunan orang di trotoar. Waktu hampir habis dan sekarang dia terjebak macet dalam perjalanan menuju kantor catatan sipil.Padahal hari ini adalah jadwal Kanaya dan Liam menandatangani berkas akhir pembuatan akta nikah setelah semua proses online selesai.“Tadi kenapa nggak naik motor saja…” gumam Kanaya pelan sambil memijat betis yang mulai kram. Namun dia kembali berlari, menuruni tangga dengan hampir saja terpeleset karena terburu-buru.Sebelumnya, Liam sempat menghubunginya untuk menjemput di dekat asrama, katanya permintaan Nenek Riana. Kanaya me
Kanaya membuka mulutnya, namun tak satu kata pun keluar. Jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menyakitkan.“Saya…” suaranya nyaris tidak terdengar, tenggorokannya seakan terkunci.Liam menatapnya lebih dalam, lalu berkata, “Katakan nanti saja di pertemuan keluarga.”Setelah itu, Liam langsung melangkah pergi, meninggalkan Kanaya yang masih kebingungan.Kanaya mematung beberapa detik setelah punggung Liam menghilang dari pandangannya. Nafasnya tercekat, batang tenggorokannya terasa mengering. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan dirinya yang hampir limbung.Tanpa benar-benar sadar, kakinya melangkah kembali ke perpustakaan. Langkahnya terdengar terburu-buru di antara derit kursi dan suara ketikan keyboard. Naira sempat menoleh ketika Kanaya muncul dengan wajah pucat.“Eh, Nay—”“Aku pulang dulu, ada urusan” ucap Kanaya cepat, berusaha terdengar tenang meski suaranya bergetar. Naira hendak bertanya, namun Kanaya hanya tersenyum tipis sebelum meraih tasnya, memasukka
Tiba-tiba saja, potongan ingatan soal kejadian di ruang dosen itu kembali terputar di kepala Kanaya, ketika Liam menyinggung sikap Kanaya dengan menyebutnya sebagai wanita yang dijodohkan dengannya.Saat itu, Kanaya sama sekali tak paham dengan maksud ucapan Liam. Dia pikir, Liam mungkin salah bicara atau asal sebut.Namun, sekarang semua terasa masuk akal. Mungkin saat itu Liam memang sudah tahu semuanya.“Jadi… Naya akan dijodohkan, Bu?” tanya Kanaya lirih setelah selesai membaca surat tersebut.“Ibu tidak akan memaksamu jika kamu tidak mau dijodohkan, Kanaya. Ibu bisa bicarakan baik-baik dengan keluarga teman kakekmu,” jawab Tania lembut. “Lagi pula, perjanjian itu sudah lama. Jika kamu menolak, tidak apa-apa.”Kanaya menggigit bibir, menunduk.‘Tapi jika aku menolak… Ibu akan diperlakukan lebih buruk lagi oleh Ayah. Dan aku tidak sanggup melihat Ibu menderita hanya karena aku egois tidak ingin dijodohkan…’ pikirnya.Suara teriakan dan perlakuan kasar ayah sambungnya masih terngian
Kanaya membulatkan matanya, ini akan benar-benar menjadi akhir dari perkuliahannya.Entah apa yang dilakukannya di masa lalu hingga harus menghadapi situasi seperti ini sekarang. Kini, dia hanya bisa menghela napas dan menerima semua ini. Setidaknya jika dia tidak melawan, mungkin hidupnya masih akan berjalan cukup normal.“Baik, saya akan tutup mulut dan melupakan kejadian itu, karena saya juga tidak ingin kabar ini sampai tersebar dan merugikan perkuliahan saya yang tinggal dua semester lagi.” Kanaya mencoba tetap tenang, meski sekarang pikirannya sudah kemana-kemana.Cara terbaik untuk mengamankan kuliahnya saat ini dengan mengikuti apa yang diminta pria yang berada di hadapannya ini, jangan sampai kerja kerasnya untuk kuliah sampai di tahap ini sia-sia karena skandal tersebut.Dia hanya ingin selesai kuliah tepat waktu, bekerja dengan baik dan membahagiakan ibunya.“Saya juga minta bapak untuk benar-benar menjaga rahasia ini, meskipun saya sudah tutup mulut tidak menutup kemungkin
“Uhh … tolong pelan-pelan …”Kanaya menggeliat ketika pria itu menjamah tubuhnya. Rasa geli sekaligus nikmat menyerang seluruh indera di tubuh Kanaya.Beberapa menit yang lalu, gadis–tidak, wanita itu masih dalam keadaan sadar di pesta ulang tahun temannya. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia telah berada di kamar hotel ini dalam keadaan tanpa baju.Terlebih, pria itu terus menghujani Kanaya dengan sentuhan-sentuhan yang memabukkan.Kanaya ingin menolak karena dia tahu ini tidak benar. Namun, tubuhnya berkhianat dan justru menikmati semua itu.“Ahh … sakit …” rintih Kanaya lagi ketika sesuatu yang asing menerobos tubuhnya.“Sakit atau enak?” tanya pria itu dengan suara rendah. “Tubuhmu bilang sebaliknya.”Kanaya menggelengkan kepalanya dengan mata setengah terpejam. Sementara pria itu mulai bergerak perlahan, tapi sangat pasti seolah ingin menikmati tiap inci dari tubuh Kanaya.“Mhhh …” pria itu menggeram rendah, seperti merasa puas dengan apa yang diberikan Kanaya.Rasa saki







