LOGINTiba-tiba saja, potongan ingatan soal kejadian di ruang dosen itu kembali terputar di kepala Kanaya, ketika Liam menyinggung sikap Kanaya dengan menyebutnya sebagai wanita yang dijodohkan dengannya.
Saat itu, Kanaya sama sekali tak paham dengan maksud ucapan Liam. Dia pikir, Liam mungkin salah bicara atau asal sebut.
Namun, sekarang semua terasa masuk akal. Mungkin saat itu Liam memang sudah tahu semuanya.
“Jadi… Naya akan dijodohkan, Bu?” tanya Kanaya lirih setelah selesai membaca surat tersebut.
“Ibu tidak akan memaksamu jika kamu tidak mau dijodohkan, Kanaya. Ibu bisa bicarakan baik-baik dengan keluarga teman kakekmu,” jawab Tania lembut. “Lagi pula, perjanjian itu sudah lama. Jika kamu menolak, tidak apa-apa.”
Kanaya menggigit bibir, menunduk.
‘Tapi jika aku menolak… Ibu akan diperlakukan lebih buruk lagi oleh Ayah. Dan aku tidak sanggup melihat Ibu menderita hanya karena aku egois tidak ingin dijodohkan…’ pikirnya.
Suara teriakan dan perlakuan kasar ayah sambungnya masih terngiang jelas di kepala.
“Mungkin… kalau aku menerima perjodohan ini, Ibu akan baik-baik saja. Urusan hati biarkan berjalan apa adanya,” batinnya sambil meremas surat itu erat-erat.
“Aku akan menerima perjodohan ini, Bu,” ucap Kanaya akhirnya, dengan suara mantap yang menutupi getaran dalam hatinya.
“Kamu serius? Ibu tidak mau kalau kamu hanya terpaksa,” sahut Tania terkejut.
Kanaya meraih tangan ibunya, menatapnya dalam. “Tidak apa-apa, Bu. Dari isi suratnya, mereka terdengar keluarga baik-baik. Kakek pasti tidak akan membuat cucunya menderita. Mungkin semua ini demi kebaikan Naya juga.”
Kanaya tersenyum tipis, mencoba menenangkan ibunya. Meskipun di dalam dirinya sendiri ada badai besar yang baru saja dimulai, setidaknya dia tidak boleh membuat ibunya merasa semakin tertekan.
Akhirnya, Kanaya menutup matanya sejenak, mencoba bernapas lebih tenang.
Beberapa waktu yang lalu tanpa sengaja menghabiskan malam panas dengan pria asing. Lalu, bertemu kembali dengan pria itu sebagai dosen pengganti di kampusnya. Dan sekarang … pria itu justru adalah orang yang akan dijodohkan dengannya.
Sama sekali tidak masuk akal. Dunia seolah mempermainkannya, membuatnya terjebak antara malu, kaget, dan bingung harus bersikap seperti apa di depan Liam nanti.
***
Beberapa hari setelah kejadian di rumah dan memutuskan menerima perjodohan itu, Kanaya kembali ke rutinitas kampusnya. Hari ini, dia berniat pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas dan mencari referensi.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat Liam berjalan beriringan dengan salah satu dosen, menuju pintu masuk perpustakaan.
Refleks, Kanaya buru-buru berlari dan bersembunyi di balik salah satu tiang. Jantungnya berdegup cepat, seolah tubuhnya punya alarm otomatis setiap kali pria itu muncul.
“Kenapa dia harus ke perpustakaan sekarang sih… gimana aku mau ngerjain tugas kalau begini,” keluhnya pelan, menatap kesal ke arah pintu perpustakaan yang baru saja menelan Liam dan dosen itu.
Belum sempat menarik napas lega, seseorang tiba-tiba muncul dari sampingnya.
“Kamu lagi sembunyi dari siapa, Nay?” suara Naira terdengar heran.
Kanaya terlonjak kaget, memukul pelan lengan sahabatnya itu. “Astaga, Naira! Kaget tau!”
Naira malah terkekeh. “Terus kamu ngapain sembunyi di sini? Kayak Swiper ‘jangan mencuri’ aja, mengendap-endap begitu.”
Kanaya masih memanyunkan bibirnya, tapi kemudian sebuah ide muncul di kepalanya. Dia menatap Naira dengan mata berbinar.
“Untung Naira datang. Kayaknya akan aman kalau aku masuk perpustakaan bareng kamu,” gumamnya penuh harapan. Untuk saat ini, Naira adalah penyelamat jiwa dan kewarasannya.
Kanaya terkekeh kecil sambil menggaruk kepalanya, gerakan spontan yang sebenarnya tidak perlu.
“Cuma iseng aja,” jawabnya mengalihkan topik. Dia tentu tidak mungkin mengatakan bahwa dia sedang berusaha keras menghindari Liam.
“Kamu lagi sibuk nggak? Temenin aku ke perpustakaan buat ngerjain tugas, please…” pinta Kanaya, menggoyangkan lengan Naira dengan nada manja.
Naira pura-pura berpikir, mengusap dagunya dramatis. “Hmm… boleh. Tapi nanti traktir bakso ya.”
Wajah Kanaya langsung cerah. “Sip! Gampang itu. Jadi beneran ya mau nemenin?”
“Ya udah, ayo sekarang. Kebetulan aku juga belum ngerjain tugas,” sahut Naira sambil cengengesan.
Kanaya hanya memutar mata kecil, terbiasa dengan tingkah sahabatnya itu. Yang penting, dia punya alasan masuk perpustakaan tanpa terlihat mencurigakan dan yang lebih penting, dia bisa menjaga jarak dari Liam.
“Ayo,” ucap Kanaya sambil merangkul lengan Naira, kemudian mereka berjalan masuk ke dalam gedung perpustakaan.
Namun begitu mereka duduk, rencana Kanaya langsung berantakan. Fokusnya buyar total karena ternyata meja yang kosong justru berada tepat berdampingan dengan meja tempat Liam dan dosen lainnya duduk.
Jaraknya terlalu dekat, membuat Kanaya merasa napasnya sendiri terdengar begitu keras.
Kanaya sempat melirik ke sekeliling, berharap ada meja lain. Namun, setiap sudut terlihat dipenuhi mahasiswa yang sibuk mengetik dan membuka buku.
Dan yang membuatnya semakin salah tingkah, Liam beberapa kali melirik ke arah mereka. Kanaya hampir menjatuhkan pulpen karena gelisah.
Kanaya menunduk lebih dalam pada laptopnya, berharap bumi membuka diri dan menelannya saja.
“Ra, aku ke toilet sebentar ya. Tolong jagain barangku,” bisik Kanaya pelan.
“Hmm… oke.” Naira mengangguk tanpa banyak bertanya, kembali tenggelam dalam tugasnya.
Kanaya melangkah cepat menuju toilet, mencoba bernapas sedikit lebih lega setelah duduk berdekatan dengan Liam membuat seluruh tubuhnya tegang. Namun begitu dia keluar, langkahnya terhenti seketika.
Liam berdiri tepat di hadapannya.
Kanaya terpaku. Jantungnya berdegup begitu keras hingga rasanya terdengar sampai ke telinga sendiri.
Liam melangkah mendekat, cukup dekat untuk membuat Kanaya mundur setengah langkah. “Kamu berusaha menghindari saya?”
Wajah Kanaya menegang seketika. Dia bisa merasakan tatapan Liam menelusuri setiap gerakannya, seolah membaca kebohongan yang bahkan belum ia ucapkan.
Liam semakin yakin bahwa perilaku Kanaya terlalu jelas.
“Sa–saya tidak menghindari Bapak. Kenapa juga harus menghindar?” jawab Kanaya cepat, memaksakan senyum kaku sambil berusaha terdengar wajar.
Liam menghela napas panjang, tatapannya semakin tajam.
“Beberapa kali saya lihat di kelas, di koridor kampus, bahkan barusan. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kita harus bersikap biasa saja kalau bertemu?”
Kanaya mengernyit bingung. Menurutnya, dia justru melakukan hal yang benar, yaitu menjaga jarak seperlunya, menurunkan intensitas percakapan, dan bertindak normal di depan orang lain.
Bukankah itu lebih aman? Lalu kenapa Liam malah terlihat kesal?
“Saya…” Ucapan Kanaya terputus ketika suara notifikasi ponselnya berbunyi pelan. Dia segera mengambil ponselnya, sebuah pesan dari Ibu muncul di layar.
[Naya, nanti malam kita ke rumah keluarga calon suami kamu. Persiapkan diri ya.]
Jantung Kanaya seketika terasa berhenti berdetak. Tangannya bergetar kecil.
Rumah calon suami?
Berarti… ini benar-benar terjadi malam ini.
Kanaya menutup layar ponselnya perlahan, berusaha menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Ketika menatap ke depan, Liam masih berdiri di sana, tatapannya tajam, mengawasi setiap gerakannya.
“Maaf, Pak. Saya ada keperluan penting, permisi.” Kanaya mencoba melangkah pergi secepat mungkin, namun lengannya tiba-tiba ditahan. Genggaman Liam terasa dingin dan kuat.
“Kamu benar-benar menghindari saya,” ucap Liam rendah, nyaris seperti desis menahan emosi.
“Pak, kalau urusan akademis saya minta maaf. Tapi masalah pribadi tolong jangan dibahas di area kampus.” Kanaya menatapnya tegas, berusaha menarik tangannya, namun Liam belum melepaskannya.
Beberapa detik hening, hingga akhirnya Liam bersuara lagi lebih pelan, tapi jauh lebih menekan.
“Sepertinya kamu sudah tahu soal perjodohan itu, ya?”
Kanaya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Ternyata Liam memang sudah lebih dulu tahu soal perjodohan itu.
Pagi ini Kanaya bergegas menuju ruang dosen, beberapa saat yang lalu Liam telah mengirimnya pesan untuk segera mengambil formulir surat kepindahannya dari asrama.Begitu sampai di ruang dosen, Kanaya langsung disambut oleh tatapan dingin Liam yang duduk di kursi kerjanya.“Mau ambil formulir pindahan?” tanya Liam tanpa basa-basi.“I…iya pak.” Kanaya mengangguk cepat.Liam langsung berdiri menuju mesin printer dan mengambil kertas yang sudah tercetak sebelumnya disana.Sembari menunggu Liam, Kanaya hanya bisa diam dan memperhatikan punggung pria itu. Hingga tak lama, pria itu telah kembali ke hadapannya.Liam menyerahkan formulirnya kepada Kanaya. ”Tinggal kamu isi setelah selesai kamu berikan kepada pengelola asrama.”Kanaya menerima formulir tersebut dan membacanya sekilas. ”Baik pak, kalau begitu saya permisi sekarang, nanti saya berikan kepada kepala pengelola asrama setelah selesai kelas.”“Kabari jika sudah selesai semuanya, nanti saya jemput kamu di dekat asrama untuk bawa baran
Kanaya terdiam, terasa seperti baru ditampar kata-katanya sendiri.“Tidak … bukan begitu …”Mobil menepi perlahan.“Selesai. Silakan,” gumam Liam datar.Kanaya menghela napas, lalu buru-buru membuka pintu, menunduk dalam. “Terima kasih sudah mengantar. Selamat malam.”Dia melangkah cepat pergi tanpa berani menoleh kembali, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.****Beberapa hari berlalu. Siang itu Kanaya berlari tergesa menembus kerumunan orang di trotoar. Waktu hampir habis dan sekarang dia terjebak macet dalam perjalanan menuju kantor catatan sipil.Padahal hari ini adalah jadwal Kanaya dan Liam menandatangani berkas akhir pembuatan akta nikah setelah semua proses online selesai.“Tadi kenapa nggak naik motor saja…” gumam Kanaya pelan sambil memijat betis yang mulai kram. Namun dia kembali berlari, menuruni tangga dengan hampir saja terpeleset karena terburu-buru.Sebelumnya, Liam sempat menghubunginya untuk menjemput di dekat asrama, katanya permintaan Nenek Riana. Kanaya me
Kanaya membuka mulutnya, namun tak satu kata pun keluar. Jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menyakitkan.“Saya…” suaranya nyaris tidak terdengar, tenggorokannya seakan terkunci.Liam menatapnya lebih dalam, lalu berkata, “Katakan nanti saja di pertemuan keluarga.”Setelah itu, Liam langsung melangkah pergi, meninggalkan Kanaya yang masih kebingungan.Kanaya mematung beberapa detik setelah punggung Liam menghilang dari pandangannya. Nafasnya tercekat, batang tenggorokannya terasa mengering. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan dirinya yang hampir limbung.Tanpa benar-benar sadar, kakinya melangkah kembali ke perpustakaan. Langkahnya terdengar terburu-buru di antara derit kursi dan suara ketikan keyboard. Naira sempat menoleh ketika Kanaya muncul dengan wajah pucat.“Eh, Nay—”“Aku pulang dulu, ada urusan” ucap Kanaya cepat, berusaha terdengar tenang meski suaranya bergetar. Naira hendak bertanya, namun Kanaya hanya tersenyum tipis sebelum meraih tasnya, memasukka
Tiba-tiba saja, potongan ingatan soal kejadian di ruang dosen itu kembali terputar di kepala Kanaya, ketika Liam menyinggung sikap Kanaya dengan menyebutnya sebagai wanita yang dijodohkan dengannya.Saat itu, Kanaya sama sekali tak paham dengan maksud ucapan Liam. Dia pikir, Liam mungkin salah bicara atau asal sebut.Namun, sekarang semua terasa masuk akal. Mungkin saat itu Liam memang sudah tahu semuanya.“Jadi… Naya akan dijodohkan, Bu?” tanya Kanaya lirih setelah selesai membaca surat tersebut.“Ibu tidak akan memaksamu jika kamu tidak mau dijodohkan, Kanaya. Ibu bisa bicarakan baik-baik dengan keluarga teman kakekmu,” jawab Tania lembut. “Lagi pula, perjanjian itu sudah lama. Jika kamu menolak, tidak apa-apa.”Kanaya menggigit bibir, menunduk.‘Tapi jika aku menolak… Ibu akan diperlakukan lebih buruk lagi oleh Ayah. Dan aku tidak sanggup melihat Ibu menderita hanya karena aku egois tidak ingin dijodohkan…’ pikirnya.Suara teriakan dan perlakuan kasar ayah sambungnya masih terngian
Kanaya membulatkan matanya, ini akan benar-benar menjadi akhir dari perkuliahannya.Entah apa yang dilakukannya di masa lalu hingga harus menghadapi situasi seperti ini sekarang. Kini, dia hanya bisa menghela napas dan menerima semua ini. Setidaknya jika dia tidak melawan, mungkin hidupnya masih akan berjalan cukup normal.“Baik, saya akan tutup mulut dan melupakan kejadian itu, karena saya juga tidak ingin kabar ini sampai tersebar dan merugikan perkuliahan saya yang tinggal dua semester lagi.” Kanaya mencoba tetap tenang, meski sekarang pikirannya sudah kemana-kemana.Cara terbaik untuk mengamankan kuliahnya saat ini dengan mengikuti apa yang diminta pria yang berada di hadapannya ini, jangan sampai kerja kerasnya untuk kuliah sampai di tahap ini sia-sia karena skandal tersebut.Dia hanya ingin selesai kuliah tepat waktu, bekerja dengan baik dan membahagiakan ibunya.“Saya juga minta bapak untuk benar-benar menjaga rahasia ini, meskipun saya sudah tutup mulut tidak menutup kemungkin
“Uhh … tolong pelan-pelan …”Kanaya menggeliat ketika pria itu menjamah tubuhnya. Rasa geli sekaligus nikmat menyerang seluruh indera di tubuh Kanaya.Beberapa menit yang lalu, gadis–tidak, wanita itu masih dalam keadaan sadar di pesta ulang tahun temannya. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia telah berada di kamar hotel ini dalam keadaan tanpa baju.Terlebih, pria itu terus menghujani Kanaya dengan sentuhan-sentuhan yang memabukkan.Kanaya ingin menolak karena dia tahu ini tidak benar. Namun, tubuhnya berkhianat dan justru menikmati semua itu.“Ahh … sakit …” rintih Kanaya lagi ketika sesuatu yang asing menerobos tubuhnya.“Sakit atau enak?” tanya pria itu dengan suara rendah. “Tubuhmu bilang sebaliknya.”Kanaya menggelengkan kepalanya dengan mata setengah terpejam. Sementara pria itu mulai bergerak perlahan, tapi sangat pasti seolah ingin menikmati tiap inci dari tubuh Kanaya.“Mhhh …” pria itu menggeram rendah, seperti merasa puas dengan apa yang diberikan Kanaya.Rasa saki







