"Kamu sakit?" tanya Rangga sembari memicingkan mata. Dia sudah memperhatikan Hana sejak beberapa waktu yang lalu. Ada yang berbeda dari sikap adiknya.
Hana menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kak. Aku nggak sakit."Rangga masih curiga. Dia tidak percaya dengan yang diucapkan Hana baru saja. Nggak mungkin, batin Rangga."Susi sedang masakin opor ayam, kamu makan dulu, ya."Sekali lagi, Hana merasakan tenggorokannya tercekat. Mual sekali. Hana biasanya sangat menyukai masakan Mbak Susi, tetapi mengapa akhir-akhir ini, mencium baunya saja sudah membuat Hana kewalahan.Setelah pernikahan gagalnya dengan Bima, Hana tinggal di rumah Rangga, kakaknya."Nah, ini sudah matang," ujar Susi. Dia berjalan menuju meja makan.Lagi-lagi aroma masakan yang menguar di ruang makan, membuat Hana tidak bisa lagi menahan rasa mualnya."Huek ... huek ... huek ...." Hana menutup mulutnya, dan segera berlari menuju kamar mandi. Semua mata memandang ke arahnya. Rangga menggigit pipi bagian dalam. Ini sudah beberapa hari terakhir sejak Rangga memperhatikan kebiasaan baru Hana.Adiknya itu jadi sering mual dan selalu saja berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang ada di perutnya.
"Hana lagi sakit, Ga," kata Susi yang baru saja meletakkan piring berisi opor ayam."Mukanya pucat banget."
"Sama seperti waktu kamu hamil Elsa," seloroh Rangga mengingatkan Susi tentang kehamilan anak pertama mereka."Hush, ngomongnya nggak boleh begitu. Ini beda. Hana memang sakit," Susi membela Hana. Dia perempuan, sehingga dia tahu bila perkataan suaminya itu pasti akan menyakiti hati Hana.Rangga melotot ke arah Susi. "Tapi memang begitu! Dia muntah-muntah terus setiap hari! Ini pasti anaknya si Bima! Laki-laki kurang ajar itu pasti yang buat Hana hamil!" Wajah Rangga mengeras. Suaranya sudah meninggi. Satu bulan sudah berlalu sejak pernikahan Hana yang gagal."Rangga, kamu nggak boleh ngomong seperti itu!" Suara Susi ikut meninggi. Dia benar-benar merasa tidak senang dengan tuduhan Rangga kepada adiknya sendiri."Kenapa saya nggak boleh ngomong seperti ini! Dia adik saya! Si berengsek tengik itu sudah menghamili adik saya! Laki-laki kurang ajar itu sudah meninggalkan Hana di hari pernikahan mereka! Hari ini juga saya akan ke rumah Bima! Saya harus minta pertanggungjawaban dari lelaki bodoh itu!""Rangga!" teriak Susi, kedua tangannya bergetar di samping kedua pinggangnya.Hana sudah ada di sana. Kakinya gemetar. Wajahnya sangat pucat, sementara giginya bergemeretak. Dia benar-benar gugup. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Dari mana kakaknya bisa menebak tentang ini? Padahal Hana tidak pernah bercerita apa-apa kepada siapa pun tentang malam itu, ketika dia menggeliat di bawah Romeo. Dan kini kakaknya mengatakan bahwa Bima lah yang telah menggaulinya. Muka Hana benar-benar pucat. Dia takut sekali bila kakaknya akan mendatangi Bima saat ini juga."BILANG KE SAYA SIAPA YANG SUDAH MENGHAMILI KAMU!" teriak Rangga kepada Hana dengan amarah yang sudah menghiasi wajahnya.Hana ketakutan. Dia meremas ujung pakaiannya. Kedua telapak tangannya terasa lembap."Rangga! Kamu apa-apaan! Jangan begitu sama adik kamu sendiri! Hana nggak hamil! Dia cuma pucat! Dia capek! Pasti karena masalah satu bulan lalu masih membayangi pikirannya! Aku perempuan, Ga! Jadi aku tau perasaan dia bagaimana saat ini!" Susi segera berlari ke tengah-tengah kedua kakak beradik itu. Kedua tangannya terentang agar Rangga tidak bisa memarahi Hana secara langsung."Jangan halangi saya, Sus!" Napas Rangga tersengal-sengal. Matanya basah. Ada sakit hati dan kecewa yang tercetak jelas pada setiap kata-kata yang diucapkan laki-laki itu. "Bilang sama saya, Hana! Siapa yang sudah hamili kamu! Kita nggak dididik seperti ini sama almarhum kedua orangtua kita, Han! Tolong, Hana. Kasih tau sama saya sekarang juga, biar saya minta orang itu untuk bertanggung jawab sama kamu." Ketika Rangga mengatakan ini, Hana bisa melihat satu bulir bening muncul di kedua sudut mata kakaknya itu.Hati Hana hancur. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia terluka melihat Rangga begitu kecewa padanya. Mendiang kedua orangtua mereka memang tidak pernah mengajarkan kepada Rangga dan Hana untuk berbuat hal-hal yang melanggar etika, karenanya mengingat apa yang sudah dia lakukan pada malam itu dengan Romeo, membuat Hana ketakutan setengah mati.Tapi ... mustahil untuk berkata bahwa Romeo yang telah menghamilinya."Kak Rangga! Kakak nggak usah ke Bima! Ini nggak ada hubungannya sama Bima! Bagiku Bima sudah mati!" pekik Hana berusaha untuk menahan segala putus asa dan malunya. Rangga terkesiap mendengar jawaban Hana. Berarti benar bahwa adiknya itu sedang hamil. Dia hampir saja jatuh dari tempatnya berdiri. Tulang-tulang kakinya sudah seperti jeli, tidak ada lagi yang dapat menyangga tubuhnya.Susi membalikkan badannya menatap Hana. Dia memegang dadanya. "Ha-Hana ... kamu jangan ngomong apa-apa lagi yang bisa membahayakan diri kamu sendiri," ungkap Susi dengan jantung berdebar cepat. Dia takut saat ini juga suaminya akan menghajar mati-matian lelaki yang sudah menghamili Hana."Kalau begitu siapa laki-laki itu, Han. Kasih tau ke Kakak sekarang juga," pinta Rangga dengan suara memohon. "Kakak nggak mau orang-orang menghina kedua orangtua kita," tambah Rangga. Wajahnya terlihat pucat pasi. "Aku nggak bisa kasih tau siapa yang sudah menghamili aku, Kak.""Berarti kamu benar-benar hamil," ulang Rangga masih tidak percaya bahwa adik satu-satunya sudah hamil di luar nikah.Hana ketakutan. Matanya menatap kakaknya dengan pandangan nanar.Pikirannya sudah kacau sekali.
Tetapi, tidak akan pernah dia mengatakan bahwa ayah dari anak ini adalah Romeo."Aku ke bar, aku nggak tau siapa anak ini," dusta Hana.Mendengar pernyataan Hana, tubuh Rangga dan Susi kaku seketika. Mulut Rangga terbuka lebar. Dia segera menegakkan tubuhnya dan berjalan ke arah Hana. Plak!"Kenapa kamu menjadi seperti ini!" Mata Rangga melotot ke arah Hana. Dia tidak habis pikir kenapa Hana bisa melakukan hal-hal bodoh semacam ini.Air mata Hana merebak. Dia memang bodoh. Sangat bodoh. Mengapa dia bisa berbuat sesuatu di luar etika dan norma seperti ini."Saya sudah besar, Kak," lontar Hana disela isak tangisnya. Tangannya memegangi pipinya yang kini terasa sangat sakit dan perih. Baru kali ini Rangga benar-benar marah padanya. Kakaknya yang paling dicintai dan dihormatinya, menampar dirinya. Hati Hana sakit. "Saya akan membesarkan anak ini sendiri," tutup Hana, dia tidak bisa lagi berada di tempat ini. Hatinya terlalu hancur mengetahui kakaknya yang sudah sangat kecewa terhadap dirinya."Kamu memang sudah besar untuk membuat sebuah keputusan, tetapi kamu nggak boleh untuk melakukan hal-hal buruk seperti itu, Hana," komentar Rangga putus asa.Susi menangis tersedu-sedu. Hana melihat kakak iparnya yang sudah bersimbah air mata."Lebih baik, kamu pindah dari kota ini ke tempat di mana orang-orangnya nggak kenal kamu. Daripada kamu nggak mau mengakui siapa yang sudah membuat kamu hamil!" perintah Rangga tanpa bisa dibantah yang segera membuat hati Hana mencelus.Rangga duduk melamun di dalam bar. Dia memikirkan kembali pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan Hana kemarin.Rasa kecewa, marah, serta putus asa meliputi hati Rangga. Belum pernah dia merasa benar-benar kecewa seperti saat ini.Hana sungguh mengecewakan dirinya. Bagaimana bisa Hana bertindak bodoh seperti sekarang."Sudah lama kamu menunggu?" tanya Romeo yang baru saja datang ke dalam ruangan yang biasa mereka datangi sebelum Rangga menikah dengan Susi.Rangga menengok ke sumber suara, itu sahabatnya yang sudah lama dia tunggu hampir setengah jam terakhir ini."Hay ... macet?" tanya Rangga tidak segera menjawab pertanyaan Romeo.Romeo mengedikkan alisnya. "Iya, begitulah." Romeo duduk tidak jauh dari Rangga. Dia memperhatikan Rangga, sedikit waswas.Apa yang akan dibicarakan Rangga malam ini? pikir Romeo gugup.Akhir-akhir ini, di kantor, Hana berubah menjadi sosok yang pendiam. Wajahnya lebih
"Halo, Han," sapa Romeo di ujung sambungan telepon. Rahangnya masih sakit akibat bogem mentah dari Rangga.Hana terkesiap mendapat telepon dari Romeo. Dia menggigit bibirnya. Jantungnya deg-degan menerima telepon dari Romeo. Seharusnya menerima panggilan telepon dari Romeo adalah hal yang wajar; sudah puluhan kali Hana menerima telepon dari Romeo, atasannya. Tetapi mengapa kali ini dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari panggilan Romeo?Dadanya berdebar terlalu cepat."Halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hana gugup.Baru kemarin, Rangga meminta Hana untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya karena Hana tidak mau memberitahukan siapa lelaki yang bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Hana."Kakak kamu sudah tau kalau saya yang telah melakukannya ke kamu," cetus Romeo secara tiba-tiba yang segera membuat mulut Hana terbuka lebar. Dia benar-benar sangat terkejut. Jantungnya bertalu-talu dan lututnya terasa lemas se
"Kamu mau mengundurkan diri?" Ada sesuatu yang aneh dalam diri Romeo ketika mendengar Hana mengatakan ini. Sudah empat tahun lamanya Hana bekerja dengannya. Melihat Hana setiap hari adalah hal yang biasa. Mereka sering melakukan segala sesuatu berdua. Tetapi semua adalah tentang pekerjaan, dan itu adalah hal yang sangat biasa. Sebelum Hana bekerja untuknya, Romeo juga sering melihatnya di rumah Rangga. Sehingga melihat Hana adalah sesuatu yang amat biasa.Namun hal yang tidak biasa adalah ... apabila Hana meninggalkannya.Dan kejadian hari ini membuktikan semua ketakutannya ... bermula dari Rangga yang hanya dalam hitungan detik saja menjadi begitu murka setelah mengetahui bahwa dirinyalah yang telah menghamili Hana ... disusul dengan berita bahwa Hana akan pergi meninggalkannya, membuat segala sesuatu menjadi runyam dan tidak menentu bagi Romeo.Ada yang salah di sini, pikir Romeo, tetapi dia tidak tahu apa itu."Iya, Pak," jawab
Lima menit telah berlalu sejak Romeo mendatangi rumah Rangga."Romeo!"Suara berat dari belakang Romeo, membuat perhatian lelaki itu teralihkan."Mau apa kamu ke rumah saya!" tanya seseorang yang suaranya sudah familier di pendengaran Romeo."Rangga," lontar Romeo setelah dia membalikkan badan."Masih berani kamu ke sini! Sudah saya bilang, saya nggak akan biarin kamu nikah sama adik saya!" perintah Rangga dengan emosi yang segera tertumpah. Romeo benar-benar telah menginjak-injak harga diri keluarganya."Rangga, kalau kamu memang cari orang yang sudah berbuat kesalahan ke Hana. Itu saya, Rangga! Sekarang saya sudah di sini! Saya mau tanggung jawab! Tolong jangan halangi saya untuk menikahi Hana! Beberapa bulan lagi perut Hana akan bertambah besar, orang-orang akan tau. Saya mau bertanggung jawab untuk janin yang ada dalam tubuh Hana." Napas Romeo tersengal-sengal.Rangga masih menatap Romeo dengan kebencian yang belum meredup. &
"Hana! Hana, bangun!"Romeo bisa mendengar Susi yang sedang menjerit-jerit memanggil nama Hana.Dengan sangat tergesa-gesa, Romeo segera berlari menuju suara itu berasal.Rangga sudah lebih dulu menemui Hana."Hana! Bangun, Hana! Kamu kenapa!" Kali ini suara Rangga.Rahang Romeo mengeras. Pikirannya berputar-putar mencoba menebak apa yang sedang terjadi pada Hana.Itu Hana! Rangga dan Susi sedang menggoncang lengan Hana, berusaha membuat Hana bangun.Entah mengapa mata Romeo segera membelalak. Dia terkejut sekali melihat tubuh wanita ringkih itu yang sedang tergeletak tak berdaya di atas ranjang."Hana!" Kepanikan melanda Romeo. Dia sungguh khawatir melihat bawahannya dalam keadaan seperti itu.Dengan cepat, Romeo segera berlari ke arah Hana. Dan tanpa diduga-duga oleh yang lain, juga oleh dirinya sendiri, Romeo mengangkat tubuh Hana. Dia membopongny
Romeo menepikan mobilnya di klinik terdekat yang berada tak jauh dari rumah Rangga. Pikirannya kacau sekali, melihat Hana seperti ini.Apakah Hana benar-benar tertekan?Apakah Hana tidak mau menikah dengannya sehingga dia jatuh pingsan seperti sekarang?Dia hanya berharap Hana akan segera membaik. Sangat tidak baik untuk ibu hamil berada dalam keadaan tertekan.Romeo mematikan mesin mobil.Dia segera keluar, dan memutari bagian depan mobil menuju pintu mobil bagian penumpang.Romeo menghela napas ketika melihat Hana. Wajah perempuan itu sangat pucat. Tampak tertekan meski dalam keadaan tidur."Hana. Setelah ini, saya harap kamu akan baik-baik saja," bisik Romeo ketika dia mengangkat tubuh wanita itu.Kulitnya halus. Dia pernah merasakan kulit itu menyentuh kulitnya.Pintu mobil tertutup, dan dengan cepat dia berjalan menuju ke klinik."Silakan, Pak," seorang sekuriti klinik membu
Hari telah sangat larut, besok adalah permulaan hari. Di mana semua orang akan sibuk bekerja.Romeo pun sudah mulai merasa lelah.Dia memerhatikan Hana yang sedang terbaring lelap di depannya.Gadis itu memang memiliki wajah seperti malaikat. Teduh dan menenangkan. Romeo duduk di samping brankar tempat Hana berbaring.Tangannya yang semula menyentuh tangan Hana, kemudian bergerak perlahan menyentuh pipi perempuan itu.Ada dorongan dalam hati Romeo untuk memberikan ketenangan pada Hana. Dia tersenyum saat tangannya membelai wajah lembut Hana, menekuri setiap lekuk garis wajah lembut wanita itu. Alis mata wanita itu tebal. Romeo sering memerhatikan Hana beberapa hari terakhir tanpa disadari olehnya, maupun Hana tentunya. Rahang pipi Hana tinggi. Romeo berlama-lama menikmati pemandangan indah di depannya; entah sejak kapan Romeo mulai merasakan bahwa wajah Hana menjadi candu bagi matanya. Hidung Hana mancung. Dia senang sekal
"Tadi kamu pingsan di rumah," jawab Romeo setelah dia duduk kembali ke kursinya. Wajahnya datar dan tanpa ekspresi.Romeo melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan."Pingsan?" Hana membeo. Dia tidak percaya bahwa dia telah pingsan. Berusaha mengingat kembali bahwa memang tadi dia merasa pusing sekali, tetapi dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan."Iya, kamu tadi pingsan di kamar."Mata Hana membelalak lebar. Cukup terkejut, kemudian tersipu karena berpikir bahwa Romeo yang telah menggendongnya. "Terus kenapa Bapak yang bawa saya ke sini? Kak Rangga sama Mbak Susi mana?""Mereka masih di rumah. Tadi, saya langsung bawa kamu ke sini," ujar Romeo tanpa ekspresi berlebihan.Hana masih membayangkan cara Romeo membawa dirinya ke sini.Apakah kulit mereka bersentuhan? Wajah Hana memanas. Dia seakan merasakan tangan kekar itu membalut tubuhnya. Memeluk serta mendekapnya erat.Hana menunduk. Dia menatap ke