Share

Bab 4 Siapa yang Menghamili Kamu?

"Kamu sakit?" tanya Rangga sembari memicingkan mata. Dia sudah memperhatikan  Hana sejak beberapa waktu yang lalu. Ada yang berbeda dari sikap adiknya.

Hana menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kak. Aku nggak sakit."

Rangga masih curiga. Dia tidak percaya dengan yang diucapkan Hana baru saja. 

Nggak mungkin, batin Rangga.

"Susi sedang masakin opor ayam, kamu makan dulu, ya."

Sekali lagi, Hana merasakan tenggorokannya tercekat. Mual sekali. 

Hana biasanya sangat menyukai masakan Mbak Susi, tetapi mengapa akhir-akhir ini, mencium baunya saja sudah membuat Hana kewalahan.

Setelah pernikahan gagalnya dengan Bima, Hana tinggal di rumah Rangga, kakaknya.

"Nah, ini sudah matang," ujar Susi. Dia berjalan menuju meja makan.

Lagi-lagi aroma masakan yang menguar di ruang makan, membuat Hana tidak bisa lagi menahan rasa mualnya.

"Huek ... huek ... huek ...." Hana menutup mulutnya, dan segera berlari menuju kamar mandi. 

Semua mata memandang ke arahnya. Rangga menggigit pipi bagian dalam. Ini sudah beberapa hari terakhir sejak Rangga memperhatikan kebiasaan baru Hana.

Adiknya itu jadi sering mual dan selalu saja berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang ada di perutnya.

"Hana lagi sakit, Ga," kata Susi yang baru saja meletakkan piring berisi opor ayam.

"Mukanya pucat banget."

"Sama seperti waktu kamu hamil Elsa," seloroh Rangga mengingatkan Susi tentang kehamilan anak pertama mereka.

"Hush, ngomongnya nggak boleh begitu. Ini beda. Hana memang sakit," Susi membela Hana. Dia perempuan, sehingga dia tahu bila perkataan suaminya itu pasti akan menyakiti hati Hana.

Rangga melotot ke arah Susi. "Tapi memang begitu! Dia muntah-muntah terus setiap hari! Ini pasti anaknya si Bima! Laki-laki kurang ajar itu pasti yang buat Hana hamil!" Wajah Rangga mengeras. Suaranya sudah meninggi. 

Satu bulan sudah berlalu sejak pernikahan Hana yang gagal.

"Rangga, kamu nggak boleh ngomong seperti itu!" Suara Susi ikut meninggi. Dia benar-benar merasa tidak senang dengan tuduhan Rangga kepada adiknya sendiri.

"Kenapa saya nggak boleh ngomong seperti ini! Dia adik saya! Si berengsek tengik itu sudah menghamili adik saya! Laki-laki kurang ajar itu sudah meninggalkan Hana di hari pernikahan mereka! Hari ini juga saya akan ke rumah Bima! Saya harus minta pertanggungjawaban dari lelaki bodoh itu!"

"Rangga!" teriak Susi, kedua tangannya bergetar di samping kedua pinggangnya.

Hana sudah ada di sana. Kakinya gemetar. Wajahnya sangat pucat, sementara giginya bergemeretak. Dia benar-benar gugup. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. 

Dari mana kakaknya bisa menebak tentang ini? Padahal Hana tidak pernah bercerita apa-apa kepada siapa pun tentang malam itu, ketika dia menggeliat di bawah Romeo. Dan kini kakaknya mengatakan bahwa Bima lah yang telah menggaulinya. Muka Hana benar-benar pucat. Dia takut sekali bila kakaknya akan mendatangi Bima saat ini juga.

"BILANG KE SAYA SIAPA YANG SUDAH MENGHAMILI KAMU!" teriak Rangga kepada Hana dengan amarah yang sudah menghiasi wajahnya.

Hana ketakutan. Dia meremas ujung pakaiannya. Kedua telapak tangannya terasa lembap.

"Rangga! Kamu apa-apaan! Jangan begitu sama adik kamu sendiri! Hana nggak hamil! Dia cuma pucat! Dia capek! Pasti karena masalah satu bulan lalu masih membayangi pikirannya! Aku perempuan, Ga! Jadi aku tau perasaan dia bagaimana saat ini!" Susi segera berlari ke tengah-tengah kedua kakak beradik itu. Kedua tangannya terentang agar Rangga tidak bisa memarahi Hana secara langsung.

"Jangan halangi saya, Sus!" Napas Rangga tersengal-sengal. Matanya basah. Ada sakit hati dan kecewa yang tercetak jelas pada setiap kata-kata yang diucapkan laki-laki itu. "Bilang sama saya, Hana! Siapa yang sudah hamili kamu! Kita nggak dididik seperti ini sama almarhum kedua orangtua kita, Han! Tolong, Hana. Kasih tau sama saya sekarang juga, biar saya minta orang itu untuk bertanggung jawab sama kamu." Ketika Rangga mengatakan ini, Hana bisa melihat satu bulir bening muncul di kedua sudut mata kakaknya itu.

Hati Hana hancur. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia terluka melihat Rangga begitu kecewa padanya. Mendiang kedua orangtua mereka memang tidak pernah mengajarkan kepada Rangga dan Hana untuk berbuat hal-hal yang melanggar etika, karenanya mengingat apa yang sudah dia lakukan pada malam itu dengan Romeo, membuat Hana ketakutan setengah mati.

Tapi ... mustahil untuk berkata bahwa Romeo yang telah menghamilinya.

"Kak Rangga! Kakak nggak usah ke Bima! Ini nggak ada hubungannya sama Bima! Bagiku Bima sudah mati!"  pekik Hana berusaha untuk menahan segala putus asa dan malunya. 

Rangga terkesiap mendengar jawaban Hana. Berarti benar bahwa adiknya itu sedang hamil. Dia hampir saja jatuh dari tempatnya berdiri. Tulang-tulang kakinya sudah seperti jeli, tidak ada lagi yang dapat menyangga tubuhnya.

Susi membalikkan badannya menatap Hana. Dia memegang dadanya. "Ha-Hana ... kamu jangan ngomong apa-apa lagi yang bisa membahayakan diri kamu sendiri," ungkap Susi dengan jantung berdebar cepat. Dia takut saat ini juga suaminya akan menghajar mati-matian lelaki yang sudah menghamili Hana.

"Kalau begitu siapa laki-laki itu, Han. Kasih tau ke Kakak sekarang juga," pinta Rangga dengan suara memohon. "Kakak nggak mau orang-orang menghina kedua orangtua kita," tambah Rangga. Wajahnya terlihat pucat pasi. 

"Aku nggak bisa kasih tau siapa yang sudah menghamili aku, Kak."

"Berarti kamu benar-benar hamil," ulang Rangga masih tidak percaya bahwa adik satu-satunya sudah hamil di luar nikah.

Hana ketakutan. Matanya menatap kakaknya dengan pandangan nanar.

Pikirannya sudah kacau sekali. 

Tetapi, tidak akan pernah dia mengatakan bahwa ayah dari anak ini adalah Romeo.

"Aku ke bar, aku nggak tau siapa anak ini," dusta Hana.

Mendengar pernyataan Hana, tubuh Rangga dan Susi kaku seketika. Mulut Rangga terbuka lebar. Dia segera menegakkan tubuhnya dan berjalan ke arah Hana. 

Plak!

"Kenapa kamu menjadi seperti ini!" Mata Rangga melotot ke arah Hana. Dia tidak habis pikir kenapa Hana bisa melakukan hal-hal bodoh semacam ini.

Air mata Hana merebak. Dia memang bodoh. Sangat bodoh. Mengapa dia bisa berbuat sesuatu di luar etika dan norma seperti ini.

"Saya sudah besar, Kak," lontar Hana disela isak tangisnya. Tangannya memegangi pipinya yang kini terasa sangat sakit dan perih. Baru kali ini Rangga benar-benar marah padanya. Kakaknya yang paling dicintai dan dihormatinya, menampar dirinya. Hati Hana sakit. "Saya akan membesarkan anak ini sendiri," tutup Hana, dia tidak bisa lagi berada di tempat ini. Hatinya terlalu hancur mengetahui kakaknya yang sudah sangat kecewa terhadap dirinya.

"Kamu memang sudah besar untuk membuat sebuah keputusan, tetapi kamu nggak boleh untuk melakukan hal-hal buruk seperti itu, Hana," komentar Rangga putus asa.

Susi menangis tersedu-sedu. Hana melihat kakak iparnya yang sudah bersimbah air mata.

"Lebih baik, kamu pindah dari kota ini ke tempat di mana orang-orangnya nggak kenal kamu. Daripada kamu nggak mau mengakui siapa yang sudah membuat kamu hamil!" perintah Rangga tanpa bisa dibantah yang segera membuat hati Hana mencelus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status