Share

Chapter 3 Nak, Apa Kau Merindukan Mama?

"Samuel, kau sudah gila memberikan tawaran itu? Tidak akan pernah bagiku menerima tawaran bodoh itu," tolak Maya.

"Tapi putraku meminta untuk--"

"Ya itu demi putramu tidak ada hubungannya denganku."ucap Maya.

"Kau akan menyesalinya jika menolak. Aku akan memberimu waktu untuk--"

"Aku pergi. Tidak ada gunanya membujukku!" Maya meninggalkan ruangan itu. Lalu dengan buru-buru mencari taksi.

***

Dreet Dreet Dreet

Maya mengabaikan getar di ponselnya karena pikirannya yang kacau. Bohong jika dia mengatakan tidak terpengaruh dengan ancaman itu. Pandangannya hanya menatap kosong jalanan kota yang masih saja ramai lalu mulai sepi saat taksi itu berhenti. Maya langsung keluar setelah membayar. Kakinya menyusuri wilayah luas itu.

"Sayang, mama datang!"

Penampilan Maya saat ini begitu glamor, jelas tidak cocok untuk datang ke tempat yang berisi nisan dan foto-foto orang yang telah tiada. Namun, siapa yang akan memperhatikan penampilannya di larut malam seperti ini. Kakinya terus melangkah sampai tertuju pada sebuah foto. "Akhirnya aku dapat menemuimu!"

Maya menatap foto bayi yang masih berkulit merah terbujur kaku. Di bawah foto itu tertera sebuah nama Mario Ren Lin, itu adalah nama yang dipilihnya sendiri, karena suaminya mengabaikan anak yang mati ini karena kelahiran anak dari wanita yang dicintai suaminya. "Ini sudah 6 tahun, nak. Apa kau merindukan mamamu?"ucapnya menyapa putranya.

Maya kembali melanjutkan berbicara dengan foto Mario. "Maafkan mamamu ini yang tidak bisa menjagamu dan membuatmu berakhir seperti ini. Andai saja, aku tidak melawan wanita itu, kau pasti masih hidup, tumbuh tinggi dan tampan. Walaupun ayahmu tidak akan menyayangimu, tapi ibu yang akan merawatmu. " Senyum menyedihkan terukir di balik bibirnya.

Maya tidak pernah melupakan putranya. Dia selalu membayangkan bagaimana jika putranya masih hidup. "Aku sangat ingin kau memanggilku mama, tersenyum dan mengenggam tanganku. Kita akan menghadapi dunia bersama, hanya ada kau dan aku, tapi sayang sekali....hiks...."

Maya tidak tahan. Dia tidak pernah menangis kecuali untuk peran. Satu-satunya saat dia menangis saat mengetahui putranya tidak bernyawa, sekarang dia tidak tahan untuk menangis. Maya masih mencoba menyuguhkan senyum di bibirnya. "Maaf, kau harus melihat mamamu menangis. Jangan sedih, mama akan tetap kuat."

Maya tidak tahan dan air mata menjadi semakin deras. Semua kesedihan yang telah dia tahan bertahun-tahun, rasa sakit yang telah dia tekan selama bertahun-tahun seolah semuanya meluap. Tangannya menutupi wajahnya yang berurai air mata, seolah dia ingin menutupi tangisannya dari anaknya. "Kenapa aku tiba-tiba menjadi cengeng begini, ini memalukan untuk menangis di depan putraku."

Maya berusaha menenangkan emosi bergejolak yang menyelimuti hatinya, jari-jarinya dengan kasar menghapus air matanya-membuang segala kesedihan yang dirasakan olehnya. "Apa kau tahu, nak. Aku bertemu dengan ayahmu," ucap Maya dengan ekspresi datar.

"Sayang sekali aku tidak bisa membawanya menemuimu ke sini." Senyum pahit terukir di bibirnya.

"Pria itu kembali membuat hidup mamamu ini berantakan. Bahkan dia memberi persyaratan yang begitu sulit. Dia ingin aku kembali menjadi istrinya dan bertindak sebagai ibu dari anak itu, dia mengkhawatirkan anak dari wanita yang telah menghancurkan keluarga kita dan merebut posisimu." Ada kepahitan dalam ekspresinya.

Maya tidak berhenti membicarakan sikap Samuel yang membuatnya kecewa. "Dia bahkan tidak mengkhawatirkan ketika kau meninggal. Kenapa dia begitu khawatir dan takut anak itu sedih karena menginginkan ibunya? Bagaimana denganmu, nak? Kau harus sendirian di sini. Bukankah kau juga perlu di khawatirkan olehnya?"

"Nak, apa mama harus menerima tawarannya? Apa mamamu ini egois karena memikirkan karir mama juga?" Maya mengeluarkan segala kegelisahannya.

"Percuma kau bicara dengan abu. Apa dia bisa menjawabmu?" Suara dingin yang dipenuhi dengan ejekan membuat Maya menoleh. Bola matanya membesar.

"Kau?"

***

Seorang anak kecil melemparkan barang-barang mengusir seorang wanita muda berpakaian putih. "Tuan kecil, anda harus tidur. Tuan Muda akan marah jika anda tidak tidur."

"Aku tidak mau tidur sebelum mama datang. Papa berjanji membawa mama pulang. Kau pergi! Jangan paksa aku tidur!" Putra satu-satunya keluarga Ren mengamuk.

Pengasuh itu menjadi bingung untuk menanggapi Tuan kecil. "Tuan, mama anda akan datang jika anda tidur. "

"Kau bohong. Jika aku tidur mama akan pergi. Aku akan mengenggam tangan mama. Aku harus menunggu mama di depan pintu masuk."

Tuan kecil turun dari tempat tidur, berlari menuruni anak tangga dengan cepat dan lincah. Tuan kecil itu-Stelio Ren, membuka pintu masuk utama. Udara dingin menembus kulitnya.

"Mama, kau pasti datang, kan?" ucapnya dengan penuh harap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
ceritanya berat thur..tapi salut... menarik dan menegangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status