Home / Romansa / Skandal sang Nyonya Muda / BAB 2 - PERTUNJUKAN KEDUA

Share

BAB 2 - PERTUNJUKAN KEDUA

Author: UMMA LAILA
last update Last Updated: 2025-01-10 23:13:00

Hotel Imperial – Kamar 403

Air hangat memenuhi bathtub, mengepul perlahan membentuk kabut tipis di ruangan itu. Namun tak ada kehangatan sedikit pun di hati Nayara. Ia menatap kosong ke genangan air yang semakin naik, memantulkan wajahnya sendiri—pucat, sembab, tak lagi mengenali siapa dirinya.

Perasaannya hancur. Terlalu hancur.

Suaminya berselingkuh.

Ayahnya yang ia harapkan memilih perusahaan daripada dirinya.

Ibunya—bahkan ibunya—tak mampu membela dan hanya bisa menangis setelah ditampar.

Dan kini… ia benar-benar sendirian.

Dengan tangan gemetar, Nayara melepas pakaian mandinya. Ia masuk ke dalam bathtub pelan-pelan, membiarkan air hangat menyelimuti tubuhnya. Tapi air itu tak bisa menenangkan. Tak bisa menyembuhkan.

Ia bersandar, menengadah ke langit-langit sejenak, lalu perlahan… menenggelamkan tubuhnya ke dalam air.

Kepalanya ikut masuk. Rambutnya terurai, matanya terbuka memandang langit-langit dari balik air. Napasnya tertahan, dan sesak mulai datang. Tapi ia tak peduli. Ia ingin menghilang. Ia ingin semua sakit itu ikut tenggelam bersamanya.

Air meresap ke telinganya. Sunyi.

Hanya detak jantungnya yang masih terdengar pelan.

"Kalau aku mati, mereka semua bebas, kan? Bebas dari aib ini. Bebas dari beban bernama Nayara."

Tapi di tengah gelap dan bisu itu, tiba-tiba bayangan ibunya muncul.

Wajahnya basah air mata.

“Maafkan Ibu…”

Lalu bayangan masa kecilnya muncul—dirinya tertawa, memakai seragam TK, dipeluk sang ibu dengan penuh bangga.

Bayangan dirinya di pelaminan. Meski pernikahan itu kini terasa seperti jebakan, tapi dirinya di masa itu… masih percaya akan cinta.

Nayara tersentak. Matanya membelalak. Ia mengangkat tubuhnya keluar dari air, terbatuk-batuk keras, menggigil hebat. Rambutnya basah menempel di wajah, napasnya terengah-engah seperti baru bangkit dari kematian.

Ia menatap sekeliling. Masih hidup. Masih di dunia yang menyakitkan ini.

Tapi di balik tangis yang kembali pecah, untuk pertama kalinya… ada secuil tekad muncul di hatinya.

"Kenapa hanya aku yang hancur? Kenapa aku harus mati?" bisiknya, suaranya lirih namun penuh amarah yang terpendam.

Ia menghela napas panjang, lalu bangkit. Dengan gemetar, ia mengenakan mantel mandi, menatap wajahnya yang sembab di cermin. Mata yang dulunya lembut kini menyala dengan kebencian. Jika Raka dan Selena bisa mengkhianatinya seperti itu, maka mereka pun harus merasakan sakit yang sama.

Tanpa membuang waktu, Nayara meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor.

"Datang ke Hotel Imperial. Lantai empat, Kamar 403," katanya dengan suara dingin, lalu menutup teleponnya. “Ada yang ingin aku diskusikan.”

***

Ballroom Hotel Avalon malam itu dipenuhi gemerlap lampu gantung dan lantunan musik klasik. Orang-orang penting dan berkuasa berseliweran dalam balutan gaun mewah dan topeng-topeng elegan. Gelas-gelas kristal berdenting, tawa-tawa palsu memenuhi udara.

Di antara keramaian itu, Nayara melangkah masuk bersama Mayunda, sahabatnya. Gaun hitam beludru membentuk lekuk tubuhnya, topeng emas dengan detail halus menutupi wajahnya. Auranya mencuri perhatian siapa pun yang melihat.

Tanpa basa-basi, Mayunda menarik tangan Nayara, membawanya langsung ke arah bar.

“Kita minum dulu,” ucap Mayunda.

Nayara mengernyit. “Kita di sini bukan untuk ini, May,” tolaknya.

“Ya, ya, aku tahu. Kita di sini untuk mencari saingan bisnis suamimu,” tukas Mayunda. Ia kemudian berdecak. “Tapi bukan berarti kita tidak bisa bersenang-senang.”

Sahabat Nayara itu menoleh kepada bartender dan mengedipkan sebelah mata. Tak berapa lama, wanita itu sudah menyodorkan sebuah gelas minuman pada Nayara.

“Ini, biar rileks. Suamimu saja bisa senang-senang, masa kamu kaku begini.”

Mendengar itu, Nayara mengambil gelas yang disodorkan padanya dan meneguk minuman itu. 

Baru beberapa tegukan, rasa manis dan hangat cocktail itu langsung menyebar di tenggorokannya. Namun hanya hitungan detik setelah itu, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya berkunang-kunang, dan ruangan di sekitarnya mulai berputar.

Nayara mengerutkan kening, memegang pelipisnya. “Aneh… kenapa…,” gumamnya pelan, tubuhnya mulai oleng.

Ia tidak selemah ini dalam hal minum. Namun, kenapa … tubuhnya bereaksi aneh?

“Astaga, kau kenapa, Nay?” seru Mayunda, samar-samar bisa didengar Nayara. “Aduh, kamu. Tolong bantu dia keluar dulu. Cari udara segar.”

Nayata merasakan tubuhnya diseret keluar. Ia yang anehnya sudah setengah sadar hanya bisa mengikuti ke mana orang ini membawanya. Ia nyaris tak sadar saat pelayan itu menggiringnya keluar ballroom, menuju lorong sepi.

Pintu lift terbuka. Pelayan itu membawanya masuk. Di dalam lift hanya mereka berdua.

Nayara berusaha bicara, tapi lidahnya terasa berat. “Aku… kenapa ini…”

Pelayan itu hanya tersenyum kecil. “Tenang, Mbak. Nanti juga baik-baik saja.” Lalu pada seseorang lain, pelayan itu berkata, “Sesuai perintah, kan? Lucu juga, kudengar mereka kawan dekat. Tapi yang satu justru mau menjatuhkan yang lain.”

“Iya.” Suara lain menyahut. “Wanita ini adalah wanita bersuami. Tapi kita justru harus membuatnya seakan-akan sedang tidur bersama pria lain.”

Nayara berkedip. Apa yang dimaksud oleh pelayan ini…?

Lift menutup. Dunia di sekeliling Nayara perlahan menjadi gelap.

Sebelum benar-benar hilang kesadaran, dalam setengah sadar, Nayara sempat melihat sosok pria berdiri di ujung lorong — mengenakan jas hitam, mata tajam itu menatapnya dingin.

“Lepaskan perempuan itu.” Sosok itu berucap.

Dia … Siapa?

Namun, sebelum Nayara bisa memproses lebih jauh, kegelapan menyergapnya.

Saat ia akhirnya sadar, Nayara langsung disuguhi aroma linen mahal dan AC dingin menerpa wajahnya. Nayara mengerjapkan mata perlahan. Kepalanya berat, pandangan buram. 

Baru ketika mulai fokus, jantungnya langsung berdebar keras.

Ini… bukan kamarnya.

Jendela besar memancarkan cahaya pagi. Tirai sutra setengah terbuka, memperlihatkan langit biru. Ruangan itu terlalu mewah. Terlalu asing.

Presidential Suite.

Nayara terlonjak, duduk tergesa. Tubuhnya masih dalam balutan gaun hitam beludru yang kusut. Topeng emasnya entah di mana. Rambutnya berantakan. Leher terasa pegal. 

Tubuhnya aman, tapi ketakutan justru semakin menjadi.

Apa yang terjadi semalam?

Tangannya bergetar saat memeriksa tubuh. Tak ada luka. Tak ada bekas dan pakaiannya pun masih terpasang di tubuhnya dengan sempurna. Tapi pikiran buruk menari di kepalanya.

Kemudian — suara berat, tenang, tapi mengancam, memecah keheningan.

“Kau sudah bangun.”

Nayara menoleh cepat. Seorang pria duduk santai di sofa. Kemeja putih, lengan tergulung, kopi mengepul di tangan. Wajahnya tampan, rahang keras, sorot mata tajam menusuk.

Bukan orang yang dikenalnya.

“Siapa kamu?” desis Nayara, suara serak dan panik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB-176 PERASAAN YANG USAI (TAMAT)

    Suara gemericik air kolam ikan di taman samping rumah itu terdengar menenangkan, memantul lembut di antara dedaunan dan dinding marmer. Nayara duduk di bangku kayu dekat ayunan tua—ayunan yang dulu sering ia dorong dengan kaki mungilnya sambil tertawa memanggil ayahnya. Sekarang, ia duduk diam. Tangannya menggenggam wadah kecil berisi pakan ikan berwarna cerah. Ikan-ikan koi itu berenang berputar di air jernih, seolah menunggu kehadirannya. Sekali-sekali, ia tersenyum kecil melihat warna-warna itu bergerak. Damai. Hanya saja, di hatinya masih tersisa ruang kosong—kosong yang bahkan waktu belum sepenuhnya sembuhkan. Ia menghembuskan nafas pelan, lalu menaburkan pakan ke permukaan air. “Masih ingat caranya, rupanya,” suara dalam dan hangat itu terdengar dari belakang. Nayara tertegun. Tubuhnya kaku seketika. Ia menoleh perlahan. Seseorang berdiri di bawah pohon kamboja yang sedang berbunga. Bram Adinata. Ayahnya. Rambutnya sedikit beruban, tapi sorot matanya tet

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 175 — TAK ADA YANG TERSISA

    Langkahnya berat, tapi tak lagi disertai amarah—hanya penyesalan yang membatu di dada.Dulu ia berjalan dengan keyakinan, merasa bisa mengatur dunia, menaklukkan siapapun dengan kekuasaan dan kata-kata. Sekarang, setiap langkah terasa seperti hukuman.Raka menyalakan mobil tanpa tahu hendak ke mana.Suara mesin memecah keheningan, namun hanya sebentar. Radio di dashboard menyala, memutar lagu lawas yang dulu sering diputar Nayara di rumah mereka. Lagu yang dulu membuatnya tersenyum, kini terdengar seperti ejekan.Tangannya mencengkeram stir erat, urat di punggung tangannya menegang, wajahnya menunduk.“Semua ini... salahku,” gumamnya lirih.Mobil itu terus melaju, melewati lampu jalan yang redup, hingga akhirnya berhenti di depan gedung tinggi yang kini tampak asing—penthouse lama milik Selina.Tempat itu dulu penuh cahaya.Wangi parfum mawar putih selalu menyambutnya di pintu. Suara tawa Selina menggema dari ruang tamu, lembut, hangat, menenangkan. Kini, hanya sunyi yang tinggal.Rak

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB-174 DUA EMOSI

    Raka menekan pedal mobilnya lebih dalam dari yang seharusnya. Mesin meraung, ban menderu di atas aspal basah—seolah ia berusaha mengusir semua amarah itu ke udara. Tangan kanan menggenggam roda kemudi sampai urat-uratnya mengeras; tangan kiri berkali-kali memukul setir, ritme pukulan seirama dengan kalimat-kalimat kasar yang menggelegar di kepalanya.“Kenapa kau melakukan ini, Nayara?!” geramnya dalam hati, suaranya nyaris pecah. “Kenapa kau berikan semuanya pada Reinhardt Aldebaran? Kenapa bukan padaku? Aku—aku bisa membeli saham itu! Aku akan menebusnya! Daripada menyerahkannya pada ular licik itu!”Hujan semalam masih menyisakan udara lembab. Lampu jalan memantul di kaca depan, membentuk garis-garis panjang yang terdistorsi oleh air. Sepanjang jalan, Raka membayangkan skenario demi skenario: bagaimana ia akan merebut kembali Mahendra Group, bagaimana ia akan menghancurkan rencana Reinhardt. Namun setiap rencana yang muncul di kepala selalu berakhir pada satu kata: terlambat.Ia tib

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 173 — TAKHTA YANG DIRAMPAS

    Pintu ruang CEO Mahendra Group terbuka keras.Raka melangkah masuk dengan wajah merah padam, nafasnya berat, dan urat di pelipisnya menonjol.“Sial!” umpatnya seraya melempar jas hitamnya ke kursi tamu.Tangannya mengepal, matanya menyapu ruangan yang dulu jadi simbol kejayaannya—ruangan yang dibangunnya sendiri, dengan setiap detailnya mencerminkan otoritas seorang pemimpin.Namun hari ini, aroma parfum asing bercampur dengan wangi kopi yang bukan racikannya.Dan di sana—duduk dengan santai di kursinya—Reinhardt Aldebaran.Di sisi lain meja, Bagas Mahendra tengah memeriksa beberapa berkas, tersenyum congkak.Sementara di dekat jendela, berdiri Yasmine Mahendra, dengan blus putih mahal dan tatapan dingin yang nyaris sinis.Raka tertegun sesaat. Kemudian suaranya membelah udara.“Apa yang kalian lakukan di sini?!”Bagas hanya menegakkan tubuhnya, memutar kursi, menatap Raka dengan senyum mengejek.“Tenanglah, Kak Raka. Kau tampak... tidak terbiasa dengan perubahan.”“Perubahan apa maks

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 172 — RAPAT DARAH DAN SAHAM

    Ruang rapat utama Mahendra Group di lantai dua puluh tiga dipenuhi cahaya putih dingin dari lampu gantung kristal. Dinding kaca memantulkan bayangan para direktur, wajah-wajah tegang yang menatap meja panjang dari marmer abu-abu. Di tengahnya, duduk Raka Mahendra — jasnya rapi, dasinya sempurna, tapi matanya menahan letih yang tidak bisa disembunyikan.Hari itu adalah rapat besar pemegang saham, rapat yang sudah tertunda tiga kali karena kisruh internal dan penarikan dana investor asing.Namun bagi Raka, rapat ini punya arti lain — kesempatan untuk melihat Nayara lagi.Sejak perceraian mereka disahkan dua bulan lalu, Nayara belum pernah muncul di publik. Tapi karena ia masih memegang saham besar di Mahendra Group, Raka yakin, cepat atau lambat, mereka akan kembali duduk di ruangan yang sama.Dan hari itu, ia datang dengan harapan yang aneh: sebuah pertemuan bisnis yang diam-diam ingin ia ubah menjadi pertemuan pribadi.Pukul sebelas tepat, pintu kayu tebal di ujung ruangan terbuka. Se

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 171 — SAHAM YANG DITUKAR CINTA

    Cahaya siang menembus kaca tinggi ruang kerja utama Aldebaran Corp, memantul di permukaan meja kerja berlapis kaca hitam dan menyebar ke seluruh ruangan yang nyaris tanpa suara. Aroma kopi pahit samar tercium di udara, bercampur wangi kayu dari furnitur bergaya minimalis — dingin, tertata, dan tanpa cela.Reinhardt Aldebaran duduk di kursinya, jas abu-abu gelapnya jatuh sempurna di bahu, dan jari-jarinya yang panjang memainkan pena perak dengan ritme lambat. Di hadapannya, Nayara Adinata — perempuan yang selama ini disebut-sebut sebagai satu-satunya orang yang bisa membuat Aldebaran menunggu.Ia datang dengan setelan blazer putih gading, sederhana tapi memancarkan kekuasaan. Tatapannya dingin, namun tenang; wajahnya memantulkan cahaya matahari seperti porselen yang rapuh tapi tak bisa disentuh.Di antara mereka terbentang map tebal berlogo Mahendra Group — berkas peralihan saham terakhir yang menjadi inti dari kesepakatan mereka.“Semua sudah sesuai dengan yang kau minta,” ucap Nayara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status