Hotel Imperial – Kamar 403
Air hangat memenuhi bathtub, mengepul perlahan membentuk kabut tipis di ruangan itu. Namun tak ada kehangatan sedikit pun di hati Nayara. Ia menatap kosong ke genangan air yang semakin naik, memantulkan wajahnya sendiri—pucat, sembab, tak lagi mengenali siapa dirinya.
Perasaannya hancur. Terlalu hancur.
Suaminya berselingkuh.
Ayahnya yang ia harapkan memilih perusahaan daripada dirinya.
Ibunya—bahkan ibunya—tak mampu membela dan hanya bisa menangis setelah ditampar.
Dan kini… ia benar-benar sendirian.
Dengan tangan gemetar, Nayara melepas pakaian mandinya. Ia masuk ke dalam bathtub pelan-pelan, membiarkan air hangat menyelimuti tubuhnya. Tapi air itu tak bisa menenangkan. Tak bisa menyembuhkan.
Ia bersandar, menengadah ke langit-langit sejenak, lalu perlahan… menenggelamkan tubuhnya ke dalam air.
Kepalanya ikut masuk. Rambutnya terurai, matanya terbuka memandang langit-langit dari balik air. Napasnya tertahan, dan sesak mulai datang. Tapi ia tak peduli. Ia ingin menghilang. Ia ingin semua sakit itu ikut tenggelam bersamanya.
Air meresap ke telinganya. Sunyi.
Hanya detak jantungnya yang masih terdengar pelan.
"Kalau aku mati, mereka semua bebas, kan? Bebas dari aib ini. Bebas dari beban bernama Nayara."
Tapi di tengah gelap dan bisu itu, tiba-tiba bayangan ibunya muncul.
Wajahnya basah air mata.
“Maafkan Ibu…”
Lalu bayangan masa kecilnya muncul—dirinya tertawa, memakai seragam TK, dipeluk sang ibu dengan penuh bangga.
Bayangan dirinya di pelaminan. Meski pernikahan itu kini terasa seperti jebakan, tapi dirinya di masa itu… masih percaya akan cinta.
Nayara tersentak. Matanya membelalak. Ia mengangkat tubuhnya keluar dari air, terbatuk-batuk keras, menggigil hebat. Rambutnya basah menempel di wajah, napasnya terengah-engah seperti baru bangkit dari kematian.
Ia menatap sekeliling. Masih hidup. Masih di dunia yang menyakitkan ini.
Tapi di balik tangis yang kembali pecah, untuk pertama kalinya… ada secuil tekad muncul di hatinya.
"Kenapa hanya aku yang hancur? Kenapa aku harus mati?" bisiknya, suaranya lirih namun penuh amarah yang terpendam.
Ia menghela napas panjang, lalu bangkit. Dengan gemetar, ia mengenakan mantel mandi, menatap wajahnya yang sembab di cermin. Mata yang dulunya lembut kini menyala dengan kebencian. Jika Raka dan Selena bisa mengkhianatinya seperti itu, maka mereka pun harus merasakan sakit yang sama.
Tanpa membuang waktu, Nayara meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor.
"Datang ke Hotel Imperial. Lantai empat, Kamar 403," katanya dengan suara dingin, lalu menutup teleponnya. “Ada yang ingin aku diskusikan.”
***
Ballroom Hotel Avalon malam itu dipenuhi gemerlap lampu gantung dan lantunan musik klasik. Orang-orang penting dan berkuasa berseliweran dalam balutan gaun mewah dan topeng-topeng elegan. Gelas-gelas kristal berdenting, tawa-tawa palsu memenuhi udara.
Di antara keramaian itu, Nayara melangkah masuk bersama Mayunda, sahabatnya. Gaun hitam beludru membentuk lekuk tubuhnya, topeng emas dengan detail halus menutupi wajahnya. Auranya mencuri perhatian siapa pun yang melihat.
Tanpa basa-basi, Mayunda menarik tangan Nayara, membawanya langsung ke arah bar.
“Kita minum dulu,” ucap Mayunda.
Nayara mengernyit. “Kita di sini bukan untuk ini, May,” tolaknya.
“Ya, ya, aku tahu. Kita di sini untuk mencari saingan bisnis suamimu,” tukas Mayunda. Ia kemudian berdecak. “Tapi bukan berarti kita tidak bisa bersenang-senang.”
Sahabat Nayara itu menoleh kepada bartender dan mengedipkan sebelah mata. Tak berapa lama, wanita itu sudah menyodorkan sebuah gelas minuman pada Nayara.
“Ini, biar rileks. Suamimu saja bisa senang-senang, masa kamu kaku begini.”
Mendengar itu, Nayara mengambil gelas yang disodorkan padanya dan meneguk minuman itu.
Baru beberapa tegukan, rasa manis dan hangat cocktail itu langsung menyebar di tenggorokannya. Namun hanya hitungan detik setelah itu, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya berkunang-kunang, dan ruangan di sekitarnya mulai berputar.
Nayara mengerutkan kening, memegang pelipisnya. “Aneh… kenapa…,” gumamnya pelan, tubuhnya mulai oleng.
Ia tidak selemah ini dalam hal minum. Namun, kenapa … tubuhnya bereaksi aneh?
“Astaga, kau kenapa, Nay?” seru Mayunda, samar-samar bisa didengar Nayara. “Aduh, kamu. Tolong bantu dia keluar dulu. Cari udara segar.”
Nayata merasakan tubuhnya diseret keluar. Ia yang anehnya sudah setengah sadar hanya bisa mengikuti ke mana orang ini membawanya. Ia nyaris tak sadar saat pelayan itu menggiringnya keluar ballroom, menuju lorong sepi.
Pintu lift terbuka. Pelayan itu membawanya masuk. Di dalam lift hanya mereka berdua.
Nayara berusaha bicara, tapi lidahnya terasa berat. “Aku… kenapa ini…”
Pelayan itu hanya tersenyum kecil. “Tenang, Mbak. Nanti juga baik-baik saja.” Lalu pada seseorang lain, pelayan itu berkata, “Sesuai perintah, kan? Lucu juga, kudengar mereka kawan dekat. Tapi yang satu justru mau menjatuhkan yang lain.”
“Iya.” Suara lain menyahut. “Wanita ini adalah wanita bersuami. Tapi kita justru harus membuatnya seakan-akan sedang tidur bersama pria lain.”
Nayara berkedip. Apa yang dimaksud oleh pelayan ini…?
Lift menutup. Dunia di sekeliling Nayara perlahan menjadi gelap.
Sebelum benar-benar hilang kesadaran, dalam setengah sadar, Nayara sempat melihat sosok pria berdiri di ujung lorong — mengenakan jas hitam, mata tajam itu menatapnya dingin.
“Lepaskan perempuan itu.” Sosok itu berucap.
Dia … Siapa?
Namun, sebelum Nayara bisa memproses lebih jauh, kegelapan menyergapnya.
Saat ia akhirnya sadar, Nayara langsung disuguhi aroma linen mahal dan AC dingin menerpa wajahnya. Nayara mengerjapkan mata perlahan. Kepalanya berat, pandangan buram.
Baru ketika mulai fokus, jantungnya langsung berdebar keras.
Ini… bukan kamarnya.
Jendela besar memancarkan cahaya pagi. Tirai sutra setengah terbuka, memperlihatkan langit biru. Ruangan itu terlalu mewah. Terlalu asing.
Presidential Suite.
Nayara terlonjak, duduk tergesa. Tubuhnya masih dalam balutan gaun hitam beludru yang kusut. Topeng emasnya entah di mana. Rambutnya berantakan. Leher terasa pegal.
Tubuhnya aman, tapi ketakutan justru semakin menjadi.
Apa yang terjadi semalam?
Tangannya bergetar saat memeriksa tubuh. Tak ada luka. Tak ada bekas dan pakaiannya pun masih terpasang di tubuhnya dengan sempurna. Tapi pikiran buruk menari di kepalanya.
Kemudian — suara berat, tenang, tapi mengancam, memecah keheningan.
“Kau sudah bangun.”
Nayara menoleh cepat. Seorang pria duduk santai di sofa. Kemeja putih, lengan tergulung, kopi mengepul di tangan. Wajahnya tampan, rahang keras, sorot mata tajam menusuk.
Bukan orang yang dikenalnya.
“Siapa kamu?” desis Nayara, suara serak dan panik.
Begitu sampai di rumah, Nayara tidak banyak bicara. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, langkah cepatnya langsung menuju anak tangga. Ia ingin segera masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan menjauh dari Raka.“Nay!” suara Raka memanggil, cukup keras hingga bergema di ruang tengah yang luas itu.Nayara berhenti, lalu membalikkan badan. Tatapannya dingin, penuh tanda tanya seolah berkata: apa lagi yang kamu mau, Raka?“Kita harus membicarakan pesta Aldebaran tiga hari lagi.” Nada suara Raka terdengar menahan amarah, namun tetap berusaha tenang.“Jawabanku sudah jelas, Raka. Jika kamu tetap bersama Selina, maka aku akan datang sendiri. Bukan sebagai istrimu, tetapi sebagai penerus sah Adinata Grup.” Ucapan Nayara meluncur angkuh, setiap katanya seperti cambuk yang mencabik kesabaran Raka.Rahang Raka mengeras. Emosi yang sejak tadi ia tahan di restoran akhirnya pecah. “Kamu selalu begitu, Nayara!” suaranya meninggi.Nayara terperanjat sesaat, lalu ikut terbakar. “Seperti itu apa
“Ingat, Raka. Selina itu gundik, sedangkan aku istri sah. Kalau kamu tetap ingin membawa gundik sialanmu itu, gunakan ini.”Nayara menekankan ucapannya sambil mengetuk pelipisnya sendiri, seolah menegur kebodohan sang suami.Wajah Raka langsung memerah, rahangnya mengeras. Jemarinya mengepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih, namun ia menahan diri sekuat tenaga agar tidak menggebrak meja. Ia sadar, satu gerakan kasar saja akan mengundang tatapan semua tamu restoran.“Gunakan kalimat yang sopan, Nay. Aku ini suamimu,” ujarnya dengan suara rendah, tertahan amarah.“Suami?” Nayara menegakkan tubuh, lalu menyandarkan punggung ke kursinya dengan anggun. Senyum tipis tersungging di bibirnya.“Coba pikir sendiri, Raka. Mana ada istri yang bisa berkata lembut ketika suaminya dengan enteng membicarakan wanita selingkuhannya?” balasnya enteng, disertai gerakan bahu yang digerakkan seolah menepis beban.Raka menghela nafas, frustasi. “Baiklah, aku paham. Tapi… Selina tadi merajuk, ingin ik
Jarum jam dinding menunjuk angka delapan malam. Gedung Adinata mulai sepi setelah meeting direksi yang melelahkan. Lampu-lampu kantor sebagian sudah dipadamkan, menyisakan cahaya putih pucat di ruangan Nayara.Ia sedang membereskan tas kerjanya ketika ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuat jemarinya seketika kaku: Raka.Beberapa detik ia hanya menatap layar, mempertimbangkan untuk mengangkat atau membiarkannya. Pada akhirnya, ia menggeser tombol hijau.“Ada apa menelpon malam-malam, Raka? Kalau ingin menginap di tempat Selina, langsung saja. Tak perlu minta izin segala,” ucap Nayara, sarkas, suaranya datar namun tajam.Terdengar helaan napas berat dari seberang, jelas tertangkap di telinga Nayara.“Aku mau jemput kamu pulang,” kata Raka akhirnya. “Urusanku di kantor sudah selesai, Nay. Ayo kita pulang bareng.”Alis Nayara berkerut. Selama ini ia pulang sendiri dengan mobil, supir, atau kalau terpaksa—taksi. Tawaran Raka terasa aneh. Janggal.“Nay?” suara Raka ke
Setelah kepergian Pak Hendrik, Raka menatap undangan mewah nan elegan yang tergeletak di meja tamu.Raut wajahnya jelas memperlihatkan keraguan, seolah dirinya terjebak dalam pilihan yang sulit.Ucapan Pak Hendrik terus terngiang-ngiang di kepalanya—ia menunggu jawaban dari Raka.Pandangan Raka bergeser. Dari undangan itu, matanya kini menatap kontrak yang terbuka di depannya.“Sial!” Raka menggebrak meja. Namun detik berikutnya ia sadar, amarahnya tidak akan mengubah keadaan.“Jadi… ini alasan pria itu mau membantuku mengukuhkan posisi sebagai CEO.”Rahangnya mengeras, gigi gemeretuk menahan geram.Entah bagaimana, ayahnya—pemilik perusahaan sebelumnya yang kini telah tiada—pernah membuat perjanjian dengan Aldebaran. Isinya: setelah jatuh tempo, Aldebaran berhak atas 20% saham Mahendra Grup. Dan klausul itu tidak bisa ditebus dengan uang, melainkan mutlak berupa saham.Pikirannya kusut. Selain memikirkan masa depan perusahaan, kini ia juga harus menentukan dengan siapa ia akan datang
Langkah Raka mantap memasuki lobi utama Mahendra Group. Dari kejauhan, ia sudah melihat sekretaris sekaligus tangan kanannya berdiri di dekat resepsionis, seolah tengah menunggu kedatangannya.“Apa sudah datang dari tadi?” tanya Raka sambil membenahi dasinya yang sedikit miring. Ia tidak ingin terlihat kucel—satu hal kecil saja bisa menurunkan kewibawaannya sebagai pemimpin.“Sudah, Pak. Sekitar dua puluh menit yang lalu,” jawab sekretarisnya, pria muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, dengan tenang mendampingi Raka.“Baiklah.” Raka menarik napas singkat, menata diri. Dengan langkah tenang namun penuh wibawa, ia berjalan menuju ruang kerjanya. Sang sekretaris segera membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, sosok pria yang sejak tadi menunggu bangkit dari duduknya di sofa tamu. Raka sempat terkejut. Ia mengira yang akan datang langsung adalah Reinhardt Aldebaran—yang belakangan namanya sering disebut-sebut di berbagai lingkaran bisnis. Namun ternyata bukan.Yang berdiri di hadapann
Aroma krim pasta masih menguar lembut memenuhi ruang makan penthouse. Selina duduk di kursi tinggi dengan rambut panjang yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Sendok garpu di tangannya bergerak pelan, mencicipi pasta yang baru saja disajikan Raka.“Enak?” tanya Raka, duduk di seberangnya sambil menatap penuh perhatian. Ada senyum tipis yang muncul di wajahnya, seakan puas melihat Selina mau menyentuh masakannya.Selina menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. “Lumayan,” jawabnya singkat. Meski suaranya terdengar datar, tatapannya sempat memandangi piring itu sedikit lebih lama. Seolah enggan mengakui kalau ia benar-benar suka.Raka baru saja hendak meneguk air mineral ketika ponselnya berdering. Nada getar yang kaku dan berulang memecah suasana makan siang mereka. Raka melirik layar—sekretarisnya. Ia menahan napas sejenak, lalu menggeser kursinya sedikit menjauh untuk mengangkat telepon.“Ya?” suaranya berat, penuh kewaspadaan.Selina yang masih memegang garpu otomatis berhenti. Tatap