Nayara membuka pintu rumah dengan langkah lelah. Ruang tamu tampak sepi, tapi sesosok tubuh sudah menunggunya di sana. Raka berdiri tegak di dekat sofa, matanya tajam memandang Nayara saat dia masuk. “Kau ke mana saja?” suaranya dingin, langsung mengarah ke topik utama. “Kau selingkuh, ya?” Nayara terkejut. “Apa?” suaranya serak, hampir tak percaya. “Selingkuh? Justru kau yang selingkuh, Raka!” Raka tertawa sinis, matanya mengejek. “Aku tahu semuanya, Nayara. Kau tidur dengan pria asing di hotel Avalon semalam. Lihat saja penampilanmu sekarang, seperti wanita panggilan yang melayani pelanggan.” Ia melangkah maju, matanya tetap menyorot Nayara penuh kebencian. “Kau pikir aku bodoh?” Jantung Nayara berdetak kencang. Dia menatap Raka bingung, tubuhnya kaku. Dia tak menyangka Raka tahu dirinya semalam di hotel Avalon, padahal yang mengetahui kalau dirinya ke sana hanya Mayunda dan Bagas. Raka tertawa puas melihat kebingungannya. “Tentu aku tahu. Berita kau tidur dengan lelaki asing ba
Kantor Reinhardt terletak di lantai atas sebuah gedung perkantoran mewah di pusat kota. Bangunan kaca berarsitektur modern itu memantulkan cahaya matahari siang, membuatnya tampak berkilau megah. Nayara memarkir mobilnya di basement dan berjalan menuju lift dengan langkah tenang, meski di balik kacamata hitam itu, matanya menyimpan bara amarah yang belum padam. Begitu sampai di lantai lima belas, Nayara disambut oleh seorang resepsionis wanita muda yang langsung berdiri sopan. “Selamat siang, Ibu Nayara. Silakan masuk, Tuan Reinhardt sudah menunggu Anda di dalam,” ucapnya ramah. Tanpa banyak bicara, Nayara melangkah menuju pintu ruang kerja Reinhardt. Ia mengetuk pelan, lalu membukanya. Di dalam, pria itu tengah duduk santai di balik meja kerja besar berbahan kayu mahoni. Jas hitamnya tergantung di kursi, menyisakan kemeja putih yang bagian atasnya sedikit terbuka. Matanya menatap Nayara dengan senyum tipis. “Nayara Adinata,” sapa Reinhardt, suaranya berat namun tenang. “Senang
[Bu Nayara, suami Anda sekarang ada di kantor bersama seorang wanita.]Pesan yang diterima Nayara itu diikuti kiriman foto. Dalam foto itu tampak sosok Raka, suaminya, yang sangat ia kenal, tengah berjalan sambil merangkul pinggang seorang perempuan. Foto itu diambil dari arah belakang, namun wajah Raka terlihat jelas karena pria itu menoleh ke arah perempuan dalam dekapannya, menyunggingkan senyum lebar.Bibir Nayara bergetar. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, berharap matanya keliru. Namun tidak. Kata-katanya jelas, tegas, dan menohok batin.[Mohon maaf karena telah lancang, Bu. Tapi saya rasa Anda perlu tahu. Mereka sudah sering datang berdua larut malam seperti ini.]Sebuah pesan kembali masuk, seakan memutar pisau yang kini menancap di dada Nayara, menyakitinya lebih jauh.Ini bukan pertama kalinya, batin perempuan itu. Suaminya selingkuh di belakangnya–berkali-kali.“Pak, ke Mahendra Group. Sekarang,” ucap Nayara dingin kepada sopirnya kemudian. Ia harus melihatnya sendir
Hotel Imperial – Kamar 403Air hangat memenuhi bathtub, mengepul perlahan membentuk kabut tipis di ruangan itu. Namun tak ada kehangatan sedikit pun di hati Nayara. Ia menatap kosong ke genangan air yang semakin naik, memantulkan wajahnya sendiri—pucat, sembab, tak lagi mengenali siapa dirinya.Perasaannya hancur. Terlalu hancur.Suaminya berselingkuh.Ayahnya yang ia harapkan memilih perusahaan daripada dirinya.Ibunya—bahkan ibunya—tak mampu membela dan hanya bisa menangis setelah ditampar.Dan kini… ia benar-benar sendirian.Dengan tangan gemetar, Nayara melepas pakaian mandinya. Ia masuk ke dalam bathtub pelan-pelan, membiarkan air hangat menyelimuti tubuhnya. Tapi air itu tak bisa menenangkan. Tak bisa menyembuhkan.Ia bersandar, menengadah ke langit-langit sejenak, lalu perlahan… menenggelamkan tubuhnya ke dalam air.Kepalanya ikut masuk. Rambutnya terurai, matanya terbuka memandang langit-langit dari balik air. Napasnya tertahan, dan sesak mulai datang. Tapi ia tak peduli. Ia i
Kantor Reinhardt terletak di lantai atas sebuah gedung perkantoran mewah di pusat kota. Bangunan kaca berarsitektur modern itu memantulkan cahaya matahari siang, membuatnya tampak berkilau megah. Nayara memarkir mobilnya di basement dan berjalan menuju lift dengan langkah tenang, meski di balik kacamata hitam itu, matanya menyimpan bara amarah yang belum padam. Begitu sampai di lantai lima belas, Nayara disambut oleh seorang resepsionis wanita muda yang langsung berdiri sopan. “Selamat siang, Ibu Nayara. Silakan masuk, Tuan Reinhardt sudah menunggu Anda di dalam,” ucapnya ramah. Tanpa banyak bicara, Nayara melangkah menuju pintu ruang kerja Reinhardt. Ia mengetuk pelan, lalu membukanya. Di dalam, pria itu tengah duduk santai di balik meja kerja besar berbahan kayu mahoni. Jas hitamnya tergantung di kursi, menyisakan kemeja putih yang bagian atasnya sedikit terbuka. Matanya menatap Nayara dengan senyum tipis. “Nayara Adinata,” sapa Reinhardt, suaranya berat namun tenang. “Senang
Nayara membuka pintu rumah dengan langkah lelah. Ruang tamu tampak sepi, tapi sesosok tubuh sudah menunggunya di sana. Raka berdiri tegak di dekat sofa, matanya tajam memandang Nayara saat dia masuk. “Kau ke mana saja?” suaranya dingin, langsung mengarah ke topik utama. “Kau selingkuh, ya?” Nayara terkejut. “Apa?” suaranya serak, hampir tak percaya. “Selingkuh? Justru kau yang selingkuh, Raka!” Raka tertawa sinis, matanya mengejek. “Aku tahu semuanya, Nayara. Kau tidur dengan pria asing di hotel Avalon semalam. Lihat saja penampilanmu sekarang, seperti wanita panggilan yang melayani pelanggan.” Ia melangkah maju, matanya tetap menyorot Nayara penuh kebencian. “Kau pikir aku bodoh?” Jantung Nayara berdetak kencang. Dia menatap Raka bingung, tubuhnya kaku. Dia tak menyangka Raka tahu dirinya semalam di hotel Avalon, padahal yang mengetahui kalau dirinya ke sana hanya Mayunda dan Bagas. Raka tertawa puas melihat kebingungannya. “Tentu aku tahu. Berita kau tidur dengan lelaki asing ba
Nayara menatap pria di hadapannya dengan kecurigaan yang tak disembunyikan. Sorot matanya tajam, tak gentar, meskipun jantungnya berdetak tak karuan. “Kau tahu namaku, tapi kau tak mau menyebutkan siapa dirimu?” desis Nayara sambil berdiri dari ranjang, mencoba menjaga keseimbangan meski kepalanya masih terasa berat. Pria itu tetap berdiri tenang, menyilangkan tangan di depan dada. “Namaku tidak penting malam ini.” “Lucu,” Nayara mencibir. “Kau menyeret ku ke kamar hotel mewah, menyelamatkanku katanya, lalu bicara seperti tokoh utama dalam film mata-mata?” “Aku tidak menyeret mu. Aku menyelamatkanmu,” ulangnya, matanya tak lepas dari wajah Nayara. “Dan aku tidak suka drama. Tapi kamu sudah terlalu dalam.” Nayara berjalan mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Terlalu dalam ke mana?” “Ke lubang yang dikira kau kendalikan. Tapi sebenarnya… bukan milikmu.” Ia menyesap kopi di tangannya, tenang seolah tak baru saja menyampaikan ancaman terselubung. Nayara mengepalkan
Hotel Imperial – Kamar 403Air hangat memenuhi bathtub, mengepul perlahan membentuk kabut tipis di ruangan itu. Namun tak ada kehangatan sedikit pun di hati Nayara. Ia menatap kosong ke genangan air yang semakin naik, memantulkan wajahnya sendiri—pucat, sembab, tak lagi mengenali siapa dirinya.Perasaannya hancur. Terlalu hancur.Suaminya berselingkuh.Ayahnya yang ia harapkan memilih perusahaan daripada dirinya.Ibunya—bahkan ibunya—tak mampu membela dan hanya bisa menangis setelah ditampar.Dan kini… ia benar-benar sendirian.Dengan tangan gemetar, Nayara melepas pakaian mandinya. Ia masuk ke dalam bathtub pelan-pelan, membiarkan air hangat menyelimuti tubuhnya. Tapi air itu tak bisa menenangkan. Tak bisa menyembuhkan.Ia bersandar, menengadah ke langit-langit sejenak, lalu perlahan… menenggelamkan tubuhnya ke dalam air.Kepalanya ikut masuk. Rambutnya terurai, matanya terbuka memandang langit-langit dari balik air. Napasnya tertahan, dan sesak mulai datang. Tapi ia tak peduli. Ia i
[Bu Nayara, suami Anda sekarang ada di kantor bersama seorang wanita.]Pesan yang diterima Nayara itu diikuti kiriman foto. Dalam foto itu tampak sosok Raka, suaminya, yang sangat ia kenal, tengah berjalan sambil merangkul pinggang seorang perempuan. Foto itu diambil dari arah belakang, namun wajah Raka terlihat jelas karena pria itu menoleh ke arah perempuan dalam dekapannya, menyunggingkan senyum lebar.Bibir Nayara bergetar. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, berharap matanya keliru. Namun tidak. Kata-katanya jelas, tegas, dan menohok batin.[Mohon maaf karena telah lancang, Bu. Tapi saya rasa Anda perlu tahu. Mereka sudah sering datang berdua larut malam seperti ini.]Sebuah pesan kembali masuk, seakan memutar pisau yang kini menancap di dada Nayara, menyakitinya lebih jauh.Ini bukan pertama kalinya, batin perempuan itu. Suaminya selingkuh di belakangnya–berkali-kali.“Pak, ke Mahendra Group. Sekarang,” ucap Nayara dingin kepada sopirnya kemudian. Ia harus melihatnya sendir