"Nay, apa yang terjadi sama kamu sebenarnya?"Suara Raka parau, nyaris tak terdengar. Tangan Nayara yang dingin digenggam erat oleh jemari besar lelaki itu. Jarum infus menempel di punggung tangan perempuan yang terbaring tak sadarkan diri, dengan selang oksigen melingkar di wajahnya.Raka menatap wajah Nayara yang pucat, tanpa daya. Tak ada jawaban. Tak ada suara.Hanya detak monitor jantung yang menjadi pengingat bahwa Nayara masih hidup.Raka Mahendra menunduk. Matanya memerah.Wanita yang selama ini ia sakiti, rendahkan, dan tuduh macam-macam... kini terbaring diam, seolah tak punya tenaga untuk membalas satupun dari perlakuannya. Hatinya berdenyut sesak.Salah. Semua ini salahnya.Tadi, saat dirinya melihat Nayara pingsan, Raka tak pikir panjang. Ia langsung membopong Nayara dan dengan panik memerintah sopir untuk membawa ke rumah sakit. Raka membawa Nayara ke rumah sakit yang jauh lebih besar dari tempat Selina dirawat. Lelaki itu juga langsung memesan kamar rawat inap VIP untuk
Langit senja mulai meredup di ufuk barat. Angin sore membelai pelan ujung rambut Nayara yang tergerai, sementara tangannya sibuk membolak-balik halaman album foto tua pemberian ibunya.Ia duduk di balkon kamarnya, bersandar pada sandaran sofa single dengan tubuh sedikit lunglai."Aku beneran... nggak inget," gumamnya pelan, lalu memeluk album itu ke dada. Tatapannya menerawang ke langit yang perlahan berubah jingga keunguan.Ia menatap kosong, mencoba menggali ingatannya yang terasa seperti lorong gelap tanpa ujung."Kenapa aku cuma ingat Raka, Selina, sama Mayunda...?" Suaranya makin pelan, seolah hanya berbicara pada senja yang menatapnya balik tanpa jawaban.Matanya kembali menatap foto seorang anak kecil di album itu—sosok mungil dengan senyum yang entah kenapa membuat dadanya terasa sesak. Ia mengerjap. Memaksa otaknya bekerja lebih keras.Dan saat itu juga—Deg!Dadanya terasa seperti ditusuk dari dalam."Haah..." Nayara terperanjat, membuka mulutnya lebar-lebar, berusaha menghi
"Hiks… hiks… a-anak kita, Sayang… anak kita… dia sudah ke surga…!"Selina menangis meraung-raung di atas ranjang rumah sakit, memeluk tubuh Raka erat-erat seperti anak kecil kehilangan boneka kesayangan. Air mata buayanya mengalir deras tanpa rasa malu."Sudah, sudah, Sayang… jangan disalahkan terus, ya… anak kita sudah tenang di surga," bisik Raka lembut sambil mengecup puncak kepala istrinya."Tapi ini semua salahku! Ini salahku, Sayang! Aku nggak pantas jadi ibu… aku egois… andai saja aku nggak ngotot makan di restoran kemarin sore, semua ini nggak akan terjadi… aku nggak akan kehilangan buah hati kitaaa…"Selina kembali merengek dan melempar dirinya ke dada Raka, dramatis sekali. Suaranya cempreng, tangisnya tak henti-henti.Di sudut ruangan, Mayunda yang sedari tadi menyaksikan semua itu hanya bisa memutar bola mata. Wajahnya jelas menunjukkan ekspresi jijik maksimal."Beneran, ya, ratu drama satu ini… tiap kejadian aja yang dibesar-besarin. Kayak sinetron jam sembilan pagi," gum
"Woaah...."Nayara menyandarkan punggung di sofa sambil memegangi kepalanya. Pandangannya kosong, pikirannya berputar cepat. Kebenaran yang baru saja ia temukan masih terasa asing dan mengguncang."Jadi... Rei sudah tahu kalau aku itu temannya pas SMA? Sejak kapan?" gumam Nayara sambil memijit pelipis. "Dan kenapa aku nggak ingat sama sekali kalau Rei itu temenku?"Ia menatap langit-langit ruangan, mencoba mengais ingatan yang mengambang. Namun, semua terasa buram, seolah tertutup kabut masa lalu.Di tengah keheningan itu, matanya melirik ke arah tumpukan album foto yang dibawakan ibunya tadi siang. Satu album berukuran sedang dengan sampul cokelat kusam tampak belum sempat dibuka. Sampulnya usang, bergurat waktu, dengan lapisan plastik yang sudah mulai terkelupas."Hmmm?" gumam Nayara sambil mengangkat alis. Ia mengamati album itu, merasa asing. "Tau ah..." Ia mengangkat bahu, membuang rasa ragu, lalu membuka halaman pertama.Mata Nayara melebar. Nafasnya tertahan.Itu adalah fotonya
“Sepi amat?” gumam Nayara pelan begitu melangkah masuk ke rumah. Matanya menyapu ruang tamu yang sunyi. Tak ada suara televisi, tak ada aroma masakan, hanya keheningan yang menyambutnya.“Bibi?” panggil Nayara, suaranya melengking memecah kesunyian.Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki tergesa dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk muncul, tersenyum lelah sambil mengusap tangannya pada celemek.“Iya, Nyonya?”“Bi, ini... Tuan Mahendra sudah pulang?”Bibi mengerutkan kening, tampak bingung. “Loh? Bukannya Tuan pergi bersama Nyonya tadi?”Nayara hanya menatap bibi itu sebentar, lalu melambaikan tangan seolah menyuruhnya tak usah ribut.“Ya sudah, lupakan saja, Bi. Aku tahu ke mana Tuanmu itu pergi.”Nada suaranya dingin, sinis, membuat bibi yang polos itu otomatis menunduk. Tak berani bertanya lebih jauh.“Tapi, Nyonya—”“Sudah. Aku capek.” Nayara memotong, lalu menaiki tangga dengan langkah malas. Suasana hatinya sudah buruk, dan mendengar nama Raka ha
"Hmm, jadi begitu ya..."Rei duduk tenang di balik meja kerjanya di gedung megah milik Aldebaran. Jari-jarinya bermain dengan bandul perak yang menghiasi sudut meja, namun sorot matanya tajam—berbahaya."Iya, Tuan. Nona Nayara saat ini sedang pulang dengan taksi," lapor Bima, berdiri tegap di hadapan atasannya. "Sementara Mayunda menuju penthouse tempat Tuan Mahendra dan Nona Selina masih berada."Rei mengangkat dagu sedikit, matanya mengerjap pelan. "Mayunda terlalu lambat. Tekan dia lebih kuat lagi. Kalau perlu—ancam. Bukankah dia masih punya ibu? Gunakan itu. Paksa dia selesaikan tugasnya."Suaranya dingin, nyaris tak beremosi. Jauh berbeda dengan caranya bicara jika sedang menyebut nama Nayara."Baik, Tuan."Bima menunduk. Ia tahu, tak ada ruang untuk keraguan jika Rei sudah bersuara seperti itu. Meski di dalam hati, ia akui—Rei bisa menjadi sosok yang kejam saat menginginkan sesuatu."Lalu, hasil penyelidikanmu soal kesehatan Nayara sepuluh tahun lalu?"Rei menatap lurus ke matan